33.6 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

30 Ribu Massa Siap Bergerak

Konflik Tanah di Sumut Diprediksi Memuncak

MEDAN-Konflik lahan di Sumut sudah pada level berbahaya. Jika Ketua Komisi A DPRD Sumut, Ahmad Ikhyar Hasibuan menyebut konflik terbuka bakal pecah Maret 2012, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Rahmat Shah malah memprediksi, ledakan bisa lebih cepat lagi, bisa dalam bulan-bulan inin
Pernyataan Rahmat tidaklah sembarangan. Dia mengatakan, sudah ada 30 ribuan massa yang setiap saat siap bergerak anarkis. Rahmat mengaku, selama ini dirinya senantiasa meminta agar massa jangan bergerak.

“Kalau ada yang mengatakan Maret, saya percaya. Bahkan bisa lebih cepat, kapan saja bisa meledak. Saya sudah tahan-tahan 30 ribuan massa. Saya katakan jangan, karena saya berkomitmen untuk mencarikan solusi. Tapi sampai kapan saya bisa menahan?” ujar Rahmat Shah kepada koran ini di Jakarta, kemarin (6/2).

Dari mana saja massa yang berjumlah 30 ribuan itu? Rahmat tidak mau menyebut secara spesifik. Tapi dia katakan, ini menyangkut konflik tanah eks HGU PTPN II dan tanah Sari Rejo, Medan Polonia. “Mereka tidak mendapatkan keadilan. Mereka mau menduduki, saya katakan saya tak mau anarkis. Kalau sampai anarkis, saya mundur. Kalau bulan ini saja tidak selesai, saya mundur saja,” tegas Ketua Pansus Agraria DPD itu.

Dia menyarankan Pemprovsu dan pemko/pemkab yang wilayahnya terdapat konflik lahan, bisa cepat bergerak. “Termasuk juga tokoh-tokoh masyarakat, harus ikut membantu memfasilitasi penyelesaiannya,” imbuhnya.

Dia juga menyatakan, masalah tanah ini merupakan tantangan Plt Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho. “Berhasil tidaknya gubernur, cukup dilihat berhasil tidaknya dia menyelesaikan konflik tanah,” cetus Rahmat.

Rahmat juga menyebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai biang persoalan. BPN dinilai tidak mampu melakukan pemetaan tanah secara benar dan berkeadilan. “BPN hanya memberikan izin kepada pengusaha besar, tapi tidak mau peduli kepada warga. Kalau kepala BPN tidak diganti pada bulan-bulan ini, akan muncul gejolak. Saya berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menggunakan hati nurani dalam melihat persoalan ini,” kata Rahmat.
Dia mengaku sangat heran, tatkala sudah ada putusan hukum yang memenangkan warga, tapi tetap saja hukum diabaikan. Ini terkait kasus tanah Sari Rejo, yang sebenarnya secara hukum sudah jelas karena sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 18 Mei 1995, yang menyatakan tanah-tanah sengketa adalah tanah garapan penggugat. Karena sudah ada putusan MA, warga berharap BPN menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah mereka. Nyatanya, tak ada sertifikat itu.

“Putusan hukum saja tak dihormati, ya sudah BPN saja yang mengurus negeri ini. Mengapa rakyat harus ribut dulu untuk memperoleh haknya? Pemerintah harus sadar!” cetusnya dengan nada tinggi.

Kecewa Terhadap Gatot

Sejauh ini konflik tanah di Sumut belum terselesaikan. Dari 700 konflik lahan sebagaimana data DPRD Sumut, tak satupun yang terselesaikan. Mulai kasus penggarapan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Langkat, Kebun Limau Mungkur di Deliserdang hingga Sarirejo.
Anggota Komisi A DPRD Sumut, Akhmad Ikhyar Hasibuan, potensi rusuh terkait persoalan tanah di Sumut pada Maret ini masih berpeluang terjadi. Pasalnya, belum ada hasil konkret dari upaya yang dilakukan Plt Gubsu, Gatot Pudjonugroho. Diketahui Gatot hanya bertemu dengan Forum Rakyat Bersatu dan anggota DPD RI asal Sumut.

“Latar belakangnya tidak lain dan tidak bukan adalah memuncaknya kekecewaan masyarakat terhadap Plt Gubsu, Gatot Pujo Nugroho, yang tidak mampu menyelesaikan persoalan tanah di Sumut,” katanya.

Di tempat terpisah, Kapoldasu Irjen Pol Drs H Wisjnu Amat Sastro melalui Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Raden Heru Prakso meminta seluruh kepala daerah dan instansi terkait bertindak cepat mengantisipasi potensi kerusuhan tersebut.
Menurutnya, dalam permasalahan tanah, polisi hanya sebagai pelayan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. “Kita tidak ada berpihak, bila ada gangguan kamtibmas yang diakibatkan atas persoalan ini kita harus turun. Begitu juga saat eksekusi. Pengadilan minta untuk melakukan pengamanan atas keputusan eksekusi, kita wajib melakukan pengamanan,” ujarnya.

Ratusan Warga Tanam Pohon Pisang

Di Binjai, ratusan warga Jalan Samanhudi, Kelurahan Bhakti Karya, Kecamatan Binjai Selatan, yang tergabung dalam bebarapa kelompok tani kembali turun ke lahan eks hak guna usaha (HGU) PTPN II Sei Semayang, Senin (6/2). Mereka menanam ratusan pohon pisang di areal tersebut.
Aksi tanam pohon pisang itu dilakukan di areal kebun tebu yang baru saja dipanen PTPN II. Warga langsung menggarap lahan karena merasa PTPN II tak berhak lagi beraktivitas di areal tersebut.

Aktivitas yang dilakukan warga terhenti saat Kapolres Binjai, AKBP Musa Tampubolon dan anak buahnya mendatangi lokasi. Sempat terjadi ketegangan antara warga dan Kapolres. Pasalnya, Kapolres meminta warga menghentikan aktivitas tersebut dan mengimbau warga tak menggarap lahan tebu itu.
“Saya hanya sarankan agar masyarakat dapat berjuang melalui jalur hukum. Sebab, apapun ceritanya tanah ini akan kembali ke negara. Kalau bapak ibu sudah memegang putusan dari Pengadilan Negeri (PN). Maka, ada harapan lahan ini akan kembali ke pangkuan bapak ibu sesuai hak yang dimiliki masing-masing,” katanya.

Musa Tampubolon juga mengatakan, masyarakat harus mematuhi hukum yang berlaku. “Kalau memang HGU ini masih ada, maka masyarakat harus patuh dengan hal itu. Kalau HGU tidak ada, maka berjuanglah. Tapi berjuang sesuai aturan hukum yang ada,” katanya lagi. Kepada warga, Musa memastikan, dia tidak akan tergiur dengan tawaran ‘kerjasama’ dari pihak manapun.

Tak lama kemudian Kapolres meninggalkan lokasi. Warga kemudian membubarkan diri. Menanggapi ucapan Kapolres Binjai, Paino, salah seoroang warga yang tergabung dalam kelompok tani Sei Bingai mengatakan, polisi adalah anak negara yang digaji oleh rakyat. “Jadi dalam masalah lahan ini, polsi jangan terlalu ikut campur. Sebab, tidak ada wewenang polisi dalam hal ini. Kalau polisi terlalu ikut campur, masalah ini semakin rancu dan rumit,” ujarnya.

Menurutnya, tugas polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. “Jadi dalam hal konflk lahan ini, polisi hanya menanggapi tindakan pidananya saja. Kalau polisi sudah terlalu jauh ikut campur, tentunya itu menjadi tanda tanya besar. Jangan-jangan, sejumlah oknum polisi sudah mendapat upeti dari PTPN II,” tambahnya.

Selain itu, Paino juga meminta kepada pemerintah khususnya Pemerintah Kota (Pemko) Binjai, untuk membela masyarakat dengan memberikan lahan ini . “Tanah ini tentunya milik negara. Tapi, diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, jika sudah ada penyelesaian, segera berikan lahan ini kepada rakyat, bukan kepada pengusaha dan konglomerat,” harapnya.

Sementara itu Ketua Kelompok Tani Mekar Jaya, Zaini Sembiring mengatakan, di Kota Binjai sudah tidak ada lagi yang namanya lahan perkebunan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996. “Untuk itu saya minta ketegasan dari wakil rakyat dan Pemko Binjai, agar segera memberikan lahan ini kepada rakyat. Sebab berdasarkan undang-undang, tanah ini milik negara, yang diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat,” ujar Zaini. (sam/ari/mag-5/dan)

Konflik Tanah di Sumut Diprediksi Memuncak

MEDAN-Konflik lahan di Sumut sudah pada level berbahaya. Jika Ketua Komisi A DPRD Sumut, Ahmad Ikhyar Hasibuan menyebut konflik terbuka bakal pecah Maret 2012, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Rahmat Shah malah memprediksi, ledakan bisa lebih cepat lagi, bisa dalam bulan-bulan inin
Pernyataan Rahmat tidaklah sembarangan. Dia mengatakan, sudah ada 30 ribuan massa yang setiap saat siap bergerak anarkis. Rahmat mengaku, selama ini dirinya senantiasa meminta agar massa jangan bergerak.

“Kalau ada yang mengatakan Maret, saya percaya. Bahkan bisa lebih cepat, kapan saja bisa meledak. Saya sudah tahan-tahan 30 ribuan massa. Saya katakan jangan, karena saya berkomitmen untuk mencarikan solusi. Tapi sampai kapan saya bisa menahan?” ujar Rahmat Shah kepada koran ini di Jakarta, kemarin (6/2).

Dari mana saja massa yang berjumlah 30 ribuan itu? Rahmat tidak mau menyebut secara spesifik. Tapi dia katakan, ini menyangkut konflik tanah eks HGU PTPN II dan tanah Sari Rejo, Medan Polonia. “Mereka tidak mendapatkan keadilan. Mereka mau menduduki, saya katakan saya tak mau anarkis. Kalau sampai anarkis, saya mundur. Kalau bulan ini saja tidak selesai, saya mundur saja,” tegas Ketua Pansus Agraria DPD itu.

Dia menyarankan Pemprovsu dan pemko/pemkab yang wilayahnya terdapat konflik lahan, bisa cepat bergerak. “Termasuk juga tokoh-tokoh masyarakat, harus ikut membantu memfasilitasi penyelesaiannya,” imbuhnya.

Dia juga menyatakan, masalah tanah ini merupakan tantangan Plt Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho. “Berhasil tidaknya gubernur, cukup dilihat berhasil tidaknya dia menyelesaikan konflik tanah,” cetus Rahmat.

Rahmat juga menyebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai biang persoalan. BPN dinilai tidak mampu melakukan pemetaan tanah secara benar dan berkeadilan. “BPN hanya memberikan izin kepada pengusaha besar, tapi tidak mau peduli kepada warga. Kalau kepala BPN tidak diganti pada bulan-bulan ini, akan muncul gejolak. Saya berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menggunakan hati nurani dalam melihat persoalan ini,” kata Rahmat.
Dia mengaku sangat heran, tatkala sudah ada putusan hukum yang memenangkan warga, tapi tetap saja hukum diabaikan. Ini terkait kasus tanah Sari Rejo, yang sebenarnya secara hukum sudah jelas karena sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 18 Mei 1995, yang menyatakan tanah-tanah sengketa adalah tanah garapan penggugat. Karena sudah ada putusan MA, warga berharap BPN menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah mereka. Nyatanya, tak ada sertifikat itu.

“Putusan hukum saja tak dihormati, ya sudah BPN saja yang mengurus negeri ini. Mengapa rakyat harus ribut dulu untuk memperoleh haknya? Pemerintah harus sadar!” cetusnya dengan nada tinggi.

Kecewa Terhadap Gatot

Sejauh ini konflik tanah di Sumut belum terselesaikan. Dari 700 konflik lahan sebagaimana data DPRD Sumut, tak satupun yang terselesaikan. Mulai kasus penggarapan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Langkat, Kebun Limau Mungkur di Deliserdang hingga Sarirejo.
Anggota Komisi A DPRD Sumut, Akhmad Ikhyar Hasibuan, potensi rusuh terkait persoalan tanah di Sumut pada Maret ini masih berpeluang terjadi. Pasalnya, belum ada hasil konkret dari upaya yang dilakukan Plt Gubsu, Gatot Pudjonugroho. Diketahui Gatot hanya bertemu dengan Forum Rakyat Bersatu dan anggota DPD RI asal Sumut.

“Latar belakangnya tidak lain dan tidak bukan adalah memuncaknya kekecewaan masyarakat terhadap Plt Gubsu, Gatot Pujo Nugroho, yang tidak mampu menyelesaikan persoalan tanah di Sumut,” katanya.

Di tempat terpisah, Kapoldasu Irjen Pol Drs H Wisjnu Amat Sastro melalui Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Raden Heru Prakso meminta seluruh kepala daerah dan instansi terkait bertindak cepat mengantisipasi potensi kerusuhan tersebut.
Menurutnya, dalam permasalahan tanah, polisi hanya sebagai pelayan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. “Kita tidak ada berpihak, bila ada gangguan kamtibmas yang diakibatkan atas persoalan ini kita harus turun. Begitu juga saat eksekusi. Pengadilan minta untuk melakukan pengamanan atas keputusan eksekusi, kita wajib melakukan pengamanan,” ujarnya.

Ratusan Warga Tanam Pohon Pisang

Di Binjai, ratusan warga Jalan Samanhudi, Kelurahan Bhakti Karya, Kecamatan Binjai Selatan, yang tergabung dalam bebarapa kelompok tani kembali turun ke lahan eks hak guna usaha (HGU) PTPN II Sei Semayang, Senin (6/2). Mereka menanam ratusan pohon pisang di areal tersebut.
Aksi tanam pohon pisang itu dilakukan di areal kebun tebu yang baru saja dipanen PTPN II. Warga langsung menggarap lahan karena merasa PTPN II tak berhak lagi beraktivitas di areal tersebut.

Aktivitas yang dilakukan warga terhenti saat Kapolres Binjai, AKBP Musa Tampubolon dan anak buahnya mendatangi lokasi. Sempat terjadi ketegangan antara warga dan Kapolres. Pasalnya, Kapolres meminta warga menghentikan aktivitas tersebut dan mengimbau warga tak menggarap lahan tebu itu.
“Saya hanya sarankan agar masyarakat dapat berjuang melalui jalur hukum. Sebab, apapun ceritanya tanah ini akan kembali ke negara. Kalau bapak ibu sudah memegang putusan dari Pengadilan Negeri (PN). Maka, ada harapan lahan ini akan kembali ke pangkuan bapak ibu sesuai hak yang dimiliki masing-masing,” katanya.

Musa Tampubolon juga mengatakan, masyarakat harus mematuhi hukum yang berlaku. “Kalau memang HGU ini masih ada, maka masyarakat harus patuh dengan hal itu. Kalau HGU tidak ada, maka berjuanglah. Tapi berjuang sesuai aturan hukum yang ada,” katanya lagi. Kepada warga, Musa memastikan, dia tidak akan tergiur dengan tawaran ‘kerjasama’ dari pihak manapun.

Tak lama kemudian Kapolres meninggalkan lokasi. Warga kemudian membubarkan diri. Menanggapi ucapan Kapolres Binjai, Paino, salah seoroang warga yang tergabung dalam kelompok tani Sei Bingai mengatakan, polisi adalah anak negara yang digaji oleh rakyat. “Jadi dalam masalah lahan ini, polsi jangan terlalu ikut campur. Sebab, tidak ada wewenang polisi dalam hal ini. Kalau polisi terlalu ikut campur, masalah ini semakin rancu dan rumit,” ujarnya.

Menurutnya, tugas polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. “Jadi dalam hal konflk lahan ini, polisi hanya menanggapi tindakan pidananya saja. Kalau polisi sudah terlalu jauh ikut campur, tentunya itu menjadi tanda tanya besar. Jangan-jangan, sejumlah oknum polisi sudah mendapat upeti dari PTPN II,” tambahnya.

Selain itu, Paino juga meminta kepada pemerintah khususnya Pemerintah Kota (Pemko) Binjai, untuk membela masyarakat dengan memberikan lahan ini . “Tanah ini tentunya milik negara. Tapi, diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, jika sudah ada penyelesaian, segera berikan lahan ini kepada rakyat, bukan kepada pengusaha dan konglomerat,” harapnya.

Sementara itu Ketua Kelompok Tani Mekar Jaya, Zaini Sembiring mengatakan, di Kota Binjai sudah tidak ada lagi yang namanya lahan perkebunan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996. “Untuk itu saya minta ketegasan dari wakil rakyat dan Pemko Binjai, agar segera memberikan lahan ini kepada rakyat. Sebab berdasarkan undang-undang, tanah ini milik negara, yang diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat,” ujar Zaini. (sam/ari/mag-5/dan)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/