DS menjadi kasus nyata bagaimana lingkungan berperan dalam membentuk pengantin-pengantin usia anak. Baik secara sadar maupun tak sadar. Di wilayah Kabupaten Bandung, banyak perempuan yang justru jadi tulang punggung keluarga karena industri tekstil yang lebih banyak mempekerjakan mereka. Alasannya, pekerja perempuan lebih telaten dan tidak gampang mengeluh.
Sedangkan, pria di wilayah tersebut lebih memilih tinggal di wilayah itu dan bekerja serabutan. Mulai proyek bangunan, supir, atau jaga toko. Namun, status suami sebagai raja di keluarga tak berubah sehingga membuat beban istri lebih berat.
Annisa pun tak menampik bahwa hal tersebut bisa menjadi salah satu factor pendukung. Namun, dia mengaku banyak juga faktor penyebab lainnya yang perlu diperhatikan agar norma-norma masyarakat Indonesia berubah. Mulai dari akses pendidikan, pengawasan administrasi perkawinan, hingga kampanye dari tokoh masyarakat.
’’Masa remaja ini adalah masa dimana mereka sedang belajar empati sosial. Mereka pasti mencari role model (panutan, Red). Jika role model mereka adalah ibu atau kakak yang menikah muda, tentu mereka secara tak sadar menggambar jalur itu dan memanggilnya takdir,’’ terangnya.
Karena itu, remaja perlu diberikan pemahaman bahwa realitas tak harus berjalan seperti yang di sekitarnya. Hal tersebut bisa dilakukan jika ada kelompok masyarakat yang aktif dalam memberi edukasi dan sosialisi terhadap remaja. ’’Harusnya, ada juga pemahaman ke orang tua tentang manfaat yang bisa didapat jika mereka tidak menikahkan putri mereka terlalu muda,’’ ungkapnya.
Fasilitator SAPA Institut Nonok Farida mengatakan, pihaknya pun berusaha untuk mengubah norma masyarakat terkait pernikahan usia anak-anak. Salah satunya, dengan membuat komunitas balai istri di beberapa desa. ’’Kalau dari luar mungkin tidak akan efektif. Tapi, kalau masyarakat disana saling berbagi dan menguatkan, itu lebih baik,’’ ungkapnya.
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati pun menyatakan tegas bahwa praktek perkawinan anak termasuk bentuk kekerasan seksual. Hal tersebut dinyatakan sudah tertera jelas dalam undang-undang perlindungan anak. ’’Argumen perkawinan anak hanya karena khawatir anak melakukan hubungan seksual berarti orang tua menghindari tanggungjawab,’’ tegasnya. (bil/jpg)