SUMUTPOS.CO – Corat-coret seragam sekolah setelah melaksanakan Ujian Nasional (UN) masih melekat dan bahkan membudaya pada diri pelajar SMK di Kota Medan. Terbukti, usai melaksanakan UN hari terakhir, ratusan pelajar SMK melakukan perbuatan yang tak ada manfaatnya itu, di Lapangan Merdeka Medan, Kamis (6/4).
Dari pantauan di lapangan, para pelajar tersebut merupakan siswa SMKN 10, SMKN 8, SMK Muhammadiyah 9, SMK Markus 1 dan SMK Panca Budi. Setelah mengikuti ujian terakhir, mereka berangkat dari sekolahnya masing-masing dan menuju Lapangan Merdeka sekira pukul 15.30 WIB.
Di sana, pelajar yang jumlahnya mencapai ratusan itu berkumpul dan meluapkan kegembiraannya dengan mencoret dan membuat tanda tangan di seragamnya menggunakan cat piloks maupun spidol. Salah seorang siswa yang enggan dikorankan namanya menuturkan, aksi corat-coret tersebut merupakan ekspresi kegembiraannya setelah menempuh bangku sekolah selama 3 tahun.
“Sudah siap UN, coret-coretlah. Ini bagian mengungkapkan rasa gembira kami,” ucapnya.
Siswa lainnya juga demikian. Diutarakannya, setelah coret-coret berkonvoi dengan teman-temannya keliling kota. Setelah itu, akan pergi ke tempat rekreasi.
“Keliling-keliling dululah, habis itu ke tempat lain. Entah mandi-mandi kek, yang penting hari ini kami senang-senang,” tuturnya.?
Kepala SMKN 1 Medan, Asli Sembiring menyebutkan, pihak sekolah sebenarnya telah melarang siswa melakukan aksi coret seragam. Apalagi, saat pengumuman kelulusan nanti yakni tanggal 2 Mei siswa harus menggunakan seragam sekolahnya.
“Sudah diingatkan agar tidak mencoret seragam, karena hal itu tindakan kurang terpuji. Untuk itu, tahun sebelumnya sekolah memberi ruang khusus untuk siswa mencoret kanvas. Namun tahun ini tidak bisa lagi, karena jadwal dan kelas peserta yang berbeda,” ujar Asli.
Sementara, menanggapi aksi para pelajar tersebut, praktisi pendidikan dari Universitas Negeri Medan, M Rizal Hasibuan menilai, budaya tersebut seharusnya tidak terjadi lagi. Aksi itu bisa dicegah dari kreativitas pihak sekolah.
“Ini kembali lagi kepada sekolah dan dituntut kreativitasnya untuk menyalurkan budaya itu. Misalnya, sekolah menyediakan spanduk kosong untuk digunakan coret-coret kepada seluruh siswanya yang telah melaksanakan UN,” ungkap Rizal.
Menurut Rizal, para pelajar yang melakukan aksi itu pada dasarnya mengikuti tradisi terdahulu. Karena itu, sekolah yang harus berperan menghilangkan budaya tersebut dengan berbagai kegiatan positif.
“Saya pernah melihat di salah satu sekolah di Medan, dimana setelah ujian para siswanya memberikan seragamnnya untuk disumbangkan. Ini tentunya suatu bentuk kegiatan positif dan patut ditiru,” cetusnya. (ris/adz)