25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Massa Pukuli Pengurus MUI Kota Medan

Sidang Perkara Perobohan Masjid At-Thoyibah

MEDAN- Sidang perkara perdata perobohan Masjid At- Thoyibah, Kelurahan Hamdan, Medan Maimun di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (06/09) berakhir ricuh. Usai persidangan ditutup oleh majelis hakim, tiba-tiba massa menyerang Pagar Hasibuan, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan.

Massa yang kontra dengan perobohan masjid tersebut adu mulut dengan pihak tergugat. Sejak awal persidangan dimulai, massa meneriaki Pagar Hasibuan dengan mengatakan, ulama penjual ayat, ustadz munafik.

“Ustadz munafik kau,” teriak salah seorang masyarakat pengunjung sidang.

“Apa dasarnya kau keluarkan fatwa,” tambah masyarakat lainnya. “Udah ketemu kau dengan si Syawaluddin (orang yang disebut sebagai anak pewakaf). Makanya kau bilang itu bukan wakaf,” tambah ibu-ibu yang tak mau kalah diikuti teriakan dari massa lainnya.

Situasi semakin memanas, ketika pipi Pagar Hasibuan dicubit oleh salah seorang masyarakat dari pihak Masjid At-Thoyibah. Pagar sempat ingin membalas. Begitu juga dengan perwakilan tergugat membalas dengan kata-kata. Masyarakat pun mengejar dan memukul kepala Pagar Hasibuan. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, perwakilan MUI ini lari mencari perlindungan dari amukan massa. Kemudian, massa pun mencari keberadaan Pagar Hasibuan di sekitar Gedung PN Medan. Namun, tidak ketemu hingga massa membubarkan diri.

Kericuhan ini sendiri, diduga akibat salah satu pihak tergugat mengatakan, mesjid itu menurut ahli waris bukan wakaf. Padahal pihak ahli waris sendiri tidak pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan ini.

Dalam persidangan itu sendiri, menghadirkan seorang saksi ahli Hasyim Purba dari USU. Dihadapan Majelis Hakim, Hasyim mengatakan, berdasarkan aturan, wakaf tetap sah meski tidak bersertifikat. Selama di atas tanah itu dibangun masjid atau rumah ibadah, maka tidak ada alasan apapun melarang orang lain untuk beribadah di dalamnya.

“Tetap menjadi wakaf selama masjid itu dikelola dan dimakmurkan dengan kegiatan ibadah, meskipun belum bersertifikat,” kata Hasyim.
Saksi juga mengungkapkan bahwa membongkar masjid itu ada prosedurnya. Masjid bisa dibongkar, apabila untuk kepentingan umum atau kemaslahatan umat. Fatwa MUI sendiri tidak punya kekuatan atau menjadi dasar perobohan masjid. Dia menambahkan, masalah boleh atau tidaknya satu fatwa dikeluarkan, harus dilihat dulu dasar pemikiran dan alasan kenapa fatwa itu dikeluarkan. Alasan itu harus dijelaskan kepada masyarakat apa subtansinya. Apabila diterima, maka baru bisa dipatuhi.

“Ada prosedur dilalui. Argumentasi yang kuat, dasar pemikirannya jelas. Baru bisa memindahkan maupun merubuhkan mesjid,” jelas saksi di hadapan majelis hakim yang diketuai Wahidin.

Ditambahkan saksi, perobohan wakaf juga harus melalui persetujuan dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia. Tidak cukup hanya rekomendasi MUI Kota Medan.  Perubahan wakaf juga sangat selektif. Setelah disetujui beberapa pihak, dibentuk lagi tim untuk menghitung layak tidak dipindahkan dan masjid penggantinya. Bahkan, MUI Kota Medan tidak masalah digugat dalam hal ini karena berkaitan dengan perkara pokok.

“Jadi, kalau hanya alasan tidak ada lagi pemukiman warga di sekitar. Tidak cukup. Di Jakarta, hampir tidak ada pemukiman warga di sekitar Masjid Istiqlal, tapi mesjid itu tetap berdiri, tidak dibongkar atau dipindahkan,” tegasnya.

Sekadar mengingatkan, Mesjid At-Thoyibah dibongkar 10 Mei 2007, usai Salat Zuhur dan diganti dengan ruko oleh PT Multatuli Indah Lestari. Akibatnya masyarakat melakukan gugatan kepada PT Multatuli Indah Lestari, Pemko Medan, MUI Kota Medan, dan Poldasu. (far)

Sidang Perkara Perobohan Masjid At-Thoyibah

MEDAN- Sidang perkara perdata perobohan Masjid At- Thoyibah, Kelurahan Hamdan, Medan Maimun di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (06/09) berakhir ricuh. Usai persidangan ditutup oleh majelis hakim, tiba-tiba massa menyerang Pagar Hasibuan, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan.

Massa yang kontra dengan perobohan masjid tersebut adu mulut dengan pihak tergugat. Sejak awal persidangan dimulai, massa meneriaki Pagar Hasibuan dengan mengatakan, ulama penjual ayat, ustadz munafik.

“Ustadz munafik kau,” teriak salah seorang masyarakat pengunjung sidang.

“Apa dasarnya kau keluarkan fatwa,” tambah masyarakat lainnya. “Udah ketemu kau dengan si Syawaluddin (orang yang disebut sebagai anak pewakaf). Makanya kau bilang itu bukan wakaf,” tambah ibu-ibu yang tak mau kalah diikuti teriakan dari massa lainnya.

Situasi semakin memanas, ketika pipi Pagar Hasibuan dicubit oleh salah seorang masyarakat dari pihak Masjid At-Thoyibah. Pagar sempat ingin membalas. Begitu juga dengan perwakilan tergugat membalas dengan kata-kata. Masyarakat pun mengejar dan memukul kepala Pagar Hasibuan. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, perwakilan MUI ini lari mencari perlindungan dari amukan massa. Kemudian, massa pun mencari keberadaan Pagar Hasibuan di sekitar Gedung PN Medan. Namun, tidak ketemu hingga massa membubarkan diri.

Kericuhan ini sendiri, diduga akibat salah satu pihak tergugat mengatakan, mesjid itu menurut ahli waris bukan wakaf. Padahal pihak ahli waris sendiri tidak pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan ini.

Dalam persidangan itu sendiri, menghadirkan seorang saksi ahli Hasyim Purba dari USU. Dihadapan Majelis Hakim, Hasyim mengatakan, berdasarkan aturan, wakaf tetap sah meski tidak bersertifikat. Selama di atas tanah itu dibangun masjid atau rumah ibadah, maka tidak ada alasan apapun melarang orang lain untuk beribadah di dalamnya.

“Tetap menjadi wakaf selama masjid itu dikelola dan dimakmurkan dengan kegiatan ibadah, meskipun belum bersertifikat,” kata Hasyim.
Saksi juga mengungkapkan bahwa membongkar masjid itu ada prosedurnya. Masjid bisa dibongkar, apabila untuk kepentingan umum atau kemaslahatan umat. Fatwa MUI sendiri tidak punya kekuatan atau menjadi dasar perobohan masjid. Dia menambahkan, masalah boleh atau tidaknya satu fatwa dikeluarkan, harus dilihat dulu dasar pemikiran dan alasan kenapa fatwa itu dikeluarkan. Alasan itu harus dijelaskan kepada masyarakat apa subtansinya. Apabila diterima, maka baru bisa dipatuhi.

“Ada prosedur dilalui. Argumentasi yang kuat, dasar pemikirannya jelas. Baru bisa memindahkan maupun merubuhkan mesjid,” jelas saksi di hadapan majelis hakim yang diketuai Wahidin.

Ditambahkan saksi, perobohan wakaf juga harus melalui persetujuan dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia. Tidak cukup hanya rekomendasi MUI Kota Medan.  Perubahan wakaf juga sangat selektif. Setelah disetujui beberapa pihak, dibentuk lagi tim untuk menghitung layak tidak dipindahkan dan masjid penggantinya. Bahkan, MUI Kota Medan tidak masalah digugat dalam hal ini karena berkaitan dengan perkara pokok.

“Jadi, kalau hanya alasan tidak ada lagi pemukiman warga di sekitar. Tidak cukup. Di Jakarta, hampir tidak ada pemukiman warga di sekitar Masjid Istiqlal, tapi mesjid itu tetap berdiri, tidak dibongkar atau dipindahkan,” tegasnya.

Sekadar mengingatkan, Mesjid At-Thoyibah dibongkar 10 Mei 2007, usai Salat Zuhur dan diganti dengan ruko oleh PT Multatuli Indah Lestari. Akibatnya masyarakat melakukan gugatan kepada PT Multatuli Indah Lestari, Pemko Medan, MUI Kota Medan, dan Poldasu. (far)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/