29 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Mogok Makan, 6 Imigran Sri Lanka Tumbang

MEDAN-Sebanyak 6 dari 89 imigran asal Sri Lanka yang menggelar aksi mogok makan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan akhirnya tumbang. Keenam imigran yang menuntut dipindahkan tersebut jatuh sakit setelah 3  hari berturut-turut tidak makan.

MOGOK: Pengungsi asal Sri Lanka  melakukan aksi mogok makan agar dipindahkan dari Rudenim Belawan tampak tidur-tiduran, kemarin. Sebanyak 6 pengungsi dikabarkan tumbang setelah mogok makan selama tiga hari.//Fakhrul Rozi/SUMUT POS
MOGOK: Pengungsi asal Sri Lanka yang melakukan aksi mogok makan agar dipindahkan dari Rudenim Belawan tampak tidur-tiduran, kemarin. Sebanyak 6 pengungsi dikabarkan tumbang setelah mogok makan selama tiga hari.//Fakhrul Rozi/SUMUT POS

Aksi mogok makan tersebut merupakan bentuk protes imigran asal Sri Lanka karena tuntutan mereka supaya dipindahkan dari Rudenim Belawan tak kunjung dipenuhi. Tubuh keenam WN asal Sri Lanka yakni Kaurana Karen, Navaneethan, Saddis Kumar, Mayouran, Vijayakanth Carboas Joseph, dan Suthet lemas serta mengalami gejala pusing. Namun, para korban aksi mogok makan ini tetap tidak mau dirawat ke rumah sakit, mereka tetap bersikeras menuntut dipindahkan.

Kajen (20) seorang imigran Sri Lanka menceritakan, peristiwa pembantaian 8 nelayan illegal fishing asal Myanmar pada Jumat lalu membuat mereka trauma. Kejadian itu terjadi di hadapan mereka yang ditempatkan dalam satu sel tahanan. Ceceran darah dan kondisi rumah detensi yang masih berserakan dan di police line (garis polisi) membuat para imigran ini teringat pada peristiwa dimaksud.

“Sebelum dipindahkan dari tempat ini, kita orang tetap tidak akan mau makan. Karena kejadian itu membuat kami trauma,” ujar pria yang sudah 10 bulan tinggal di Rudenim Belawan.

Menurut dia, aksi mogok makan tersebut akan terus berlanjut. Para imigran baru menghentikan aksi setelah permintaan mereka dipenuhi. “Kami akan tetap melakukan aksi mogok makan, sampai adanya pemindahan,” katanya.

Pantauan Sumut Pos di Rudenim Belawan, masih tampak imigran  yang melakukan aksi mogok makan tegetak dan berkumpul di depan pintu ruang sel tahanan. Para imigran yang mogok makan itu tidak terpengaruh, meski ada enam rekan mereka yang kondisi kesehatannya menurun.

R Pohan, seorang petugas di Rudenim Belawan mengatakan, meski puluhan imigran asal Sri Lanka mogok makan, namun pihak rumah detensi tetap memasok makan satu hari tiga kali untuk para penghuni, termasuk ke 89 orang WN Sri Lanka. “Tadi pagi tetap kita antarkan makanan untuk mereka, meskipun mereka mogok makan. Dan tak mungkin kita paksakan mereka supaya mau makan,” kata Pohan.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Registrasi dan Pelaporan Rudenim Belawan, Rida Agustian SE tidak menampik ada puluhan imigran asal Sri Lanka yang melakukan aksi mogok makan.”Benar mereka melakukan aksi mogok makan dan kita belum bisa memenuhi tuntutan mereka, karena fasilitas untuk itu tidak ada,” ucapnya.

Kondisi pascatragedi berdarah telah membuat petugas di rudenim kerepotan. Ditambah lagi dengan para pengungsi Sri Lanka tersebut. “Lagian mau ke mana kita pindahkan mereka, apalagi untuk ruangan khusus bagi imigran Sri Lanka itu sepertinya sulit untuk dipenuhi,” tegasnya.

Imigrasi Cuek

Dari Jakarta, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM memberikan sinyal tidak akan memenuhi tuntutan 89 imigran Sri Lanka yang masih ditahan di Rudenim Belawan.

Juru Bicara Ditjen Imigrasi, Heriyanto, menjelaskan, langkah sudah dipandang cukup dengan memisahkan penghuni Rudenim anak-anak dan perempuan, dengan penghuni laki-laki.

“Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kita pisahkan yang anak-anak dan perempuan. Itu dulu langkah yang kita lakukan,” ujar Heriyanto kepada koran ini di Jakarta, kemarin (7/4).

Saat ditanya bahwa mereka melakukan aksi mogok makan hingga tuntutannya agar dipindah dari Rudenim Belawan dituruti, Heriyanto tidak menjawab tegas. Dia hanya mengatakan bahwa rudenim hanyalah tempat tinggal sementara sembari menunggu proses administrasi.Lantas, langkah selanjutnya diapakan? Apakah akan dideportasi dikembalikan ke negara asalnya? Heriyanto menjawab, bisa saja seperti itu. “Yang jelas kita masih menunggu koordinasi dengan pihak Kedubes,” kata dia.

Bagaimana jika mereka tak mau dideportasi, tapi malah minta suaka? Heriyanto mengatakan, pihak Imigrasi hanya mengurus mengenai tinggal sementara mereka. Masalah suaka, kata dia, menjadi urusan Kemenlu.

Kemenkumham Belum Mau Pindahkan

Di sisi lain,  pihak Kementerian Hukum dan HAM) Sumut tampaknya belum mau memenuhi tuntutan pengungsi Sri Lanka.

“Saat ini tetap kita menenangkan situasi dan kondisi. Kita juga dibantu petugas dari Polres Belawan. Tentu ada langkah-langkah apakah nanti mereka ini akan dipindahkan ke Rudenim lain. Tapi untuk upaya sementara kami menenangkan mereka supaya kondusif,” ujar Kasubbag Bagian Humas dan Laporan Kanwil Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM) Sumut, Hasran Sapawi, Minggu (7/4).

Hasran berpendapat permintaan 89 warga Sri Lanka itu bukanlah hal yang gampang dilakukan. Tentu harus melalui pengkajian terlebih dahulu. “Bisa saja nanti kita pindahkan mereka, tapi tidak serta merta hari ini atau dalam seketika. Harus ada pengkajian mendalam. Mereka dipindahkan ke mana dan kapan, ini hanya tinggal menunggu waktu. Tapi yang jelas saat ini keamanan mereka kita jamin terlindungi,” ujarnya.

Saat disinggung bagaimana tentang delapan jenazah warga Myanmar yang tewas dalam bentrokan Jumat (5/4) dini hari lalu, apakah di kembalikan ke negara asalnya? Hasran mengaku belum ada kepastian mengenai itu meski pihaknya telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta.
“Bisa saja di pulangkan ke negara asalnya ataupun di kebumikan di Indonesia. Tapi semuanya tergantung hasil koordinasi itu. Belum ada kepastian untuk itu. Saya juga belum ada mendapatkan informasi apakah mereka sudah turun ke Medan atau belum,” terangnya.

Lantas, apakah nanti pihaknya akan memberlakukan pengklasifikasian warga negara yang bermukim di Rudenim pasca peristiwa berdarah itu? “Tetap akan melihat kondisi ke depan di lapangan. Sampai saat ini saja Rudenim sudah sangat over kapasitas. Petugas kita juga minim, hanya lima orang. Bisa saja dilakukan pemisahan, tapi itu nanti dulu,” urainya.

Sementara itu, Polres Pelabuhan Belawan terus melakukan penyelidikkan secara marathon untuk tragedi Jumat lalu. Polisi sudah memeriksa sekitar 24 saksi dengan menetapkan 19 tersangka, tidak tutup pelaku akan bertambah. Setidaknya hal ini diungkapkan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Heru Prakoso, kemarin sore.

Menurut Heru, dalam penyelidikan polisi mendapatkan kendala. Mereka tidak bisa memeriksa karena da perbedaan bahasa. “Iya, mereka (tersangka, Red) tidak bisa berbahasa Inggris dan bahasa Indonesai, tapi pihak imigrasi telah mengirim orang yang bisa berbahasa Myanmar,”ujarnya.
Terkait dengan itu, 19 tersangka mulai menempati ruang sel tahanan umum kepolisian. Para pelaku tersebut ditempatkan satu sel dengan para tahanan lainnya di Mapolres Pelabuhan Belawan, Minggu (7/4) kemarin.

Para pelaku berinisial, NM (37), RH (29), ZH (23), MJ (35), MT (25), MY (15), SA (25), AT (45), MM (16), SA (33), N (16), AB (22), U (18), I (16), AH (22), MSA (23), AH (25), MS (18) dan MZ (35), yang merupakan imigran asal luar negeri itu membaur dengan para pelaku tindak kejahatan lainnya.
Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan, AKP Yudi Friyanto mengatakan, ke-19 tersangka dikenakan pasal berlapis 170 jo 340 subsider 338 KUHPidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun atau maksimal hukuman seumur hidup. “Proses di sini, tapi kita tetap menunggu hasil keputusan dari polda. Kita bukan melarang media untuk mengambil gambar atau mewawancarai tersangka, tapi mesti ada izin dari Poldasu,” katanya.
Sebelumnya, dalam prarekonstruksi yang digelar di halaman Mapolres Pelabuhan Belawan, ke-19 tersangka yang tak bisa bahasa Indonesia itu dipandu oleh penerjemah. Adegan demi adegan pembantaian 8 etnis penganut Buddha digelar. Masing-masing pelaku bergantian memperagakan seperti apa pembantaian tersebut terjadi. (rul/sam/far/gus)

MEDAN-Sebanyak 6 dari 89 imigran asal Sri Lanka yang menggelar aksi mogok makan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan akhirnya tumbang. Keenam imigran yang menuntut dipindahkan tersebut jatuh sakit setelah 3  hari berturut-turut tidak makan.

MOGOK: Pengungsi asal Sri Lanka  melakukan aksi mogok makan agar dipindahkan dari Rudenim Belawan tampak tidur-tiduran, kemarin. Sebanyak 6 pengungsi dikabarkan tumbang setelah mogok makan selama tiga hari.//Fakhrul Rozi/SUMUT POS
MOGOK: Pengungsi asal Sri Lanka yang melakukan aksi mogok makan agar dipindahkan dari Rudenim Belawan tampak tidur-tiduran, kemarin. Sebanyak 6 pengungsi dikabarkan tumbang setelah mogok makan selama tiga hari.//Fakhrul Rozi/SUMUT POS

Aksi mogok makan tersebut merupakan bentuk protes imigran asal Sri Lanka karena tuntutan mereka supaya dipindahkan dari Rudenim Belawan tak kunjung dipenuhi. Tubuh keenam WN asal Sri Lanka yakni Kaurana Karen, Navaneethan, Saddis Kumar, Mayouran, Vijayakanth Carboas Joseph, dan Suthet lemas serta mengalami gejala pusing. Namun, para korban aksi mogok makan ini tetap tidak mau dirawat ke rumah sakit, mereka tetap bersikeras menuntut dipindahkan.

Kajen (20) seorang imigran Sri Lanka menceritakan, peristiwa pembantaian 8 nelayan illegal fishing asal Myanmar pada Jumat lalu membuat mereka trauma. Kejadian itu terjadi di hadapan mereka yang ditempatkan dalam satu sel tahanan. Ceceran darah dan kondisi rumah detensi yang masih berserakan dan di police line (garis polisi) membuat para imigran ini teringat pada peristiwa dimaksud.

“Sebelum dipindahkan dari tempat ini, kita orang tetap tidak akan mau makan. Karena kejadian itu membuat kami trauma,” ujar pria yang sudah 10 bulan tinggal di Rudenim Belawan.

Menurut dia, aksi mogok makan tersebut akan terus berlanjut. Para imigran baru menghentikan aksi setelah permintaan mereka dipenuhi. “Kami akan tetap melakukan aksi mogok makan, sampai adanya pemindahan,” katanya.

Pantauan Sumut Pos di Rudenim Belawan, masih tampak imigran  yang melakukan aksi mogok makan tegetak dan berkumpul di depan pintu ruang sel tahanan. Para imigran yang mogok makan itu tidak terpengaruh, meski ada enam rekan mereka yang kondisi kesehatannya menurun.

R Pohan, seorang petugas di Rudenim Belawan mengatakan, meski puluhan imigran asal Sri Lanka mogok makan, namun pihak rumah detensi tetap memasok makan satu hari tiga kali untuk para penghuni, termasuk ke 89 orang WN Sri Lanka. “Tadi pagi tetap kita antarkan makanan untuk mereka, meskipun mereka mogok makan. Dan tak mungkin kita paksakan mereka supaya mau makan,” kata Pohan.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Registrasi dan Pelaporan Rudenim Belawan, Rida Agustian SE tidak menampik ada puluhan imigran asal Sri Lanka yang melakukan aksi mogok makan.”Benar mereka melakukan aksi mogok makan dan kita belum bisa memenuhi tuntutan mereka, karena fasilitas untuk itu tidak ada,” ucapnya.

Kondisi pascatragedi berdarah telah membuat petugas di rudenim kerepotan. Ditambah lagi dengan para pengungsi Sri Lanka tersebut. “Lagian mau ke mana kita pindahkan mereka, apalagi untuk ruangan khusus bagi imigran Sri Lanka itu sepertinya sulit untuk dipenuhi,” tegasnya.

Imigrasi Cuek

Dari Jakarta, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM memberikan sinyal tidak akan memenuhi tuntutan 89 imigran Sri Lanka yang masih ditahan di Rudenim Belawan.

Juru Bicara Ditjen Imigrasi, Heriyanto, menjelaskan, langkah sudah dipandang cukup dengan memisahkan penghuni Rudenim anak-anak dan perempuan, dengan penghuni laki-laki.

“Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kita pisahkan yang anak-anak dan perempuan. Itu dulu langkah yang kita lakukan,” ujar Heriyanto kepada koran ini di Jakarta, kemarin (7/4).

Saat ditanya bahwa mereka melakukan aksi mogok makan hingga tuntutannya agar dipindah dari Rudenim Belawan dituruti, Heriyanto tidak menjawab tegas. Dia hanya mengatakan bahwa rudenim hanyalah tempat tinggal sementara sembari menunggu proses administrasi.Lantas, langkah selanjutnya diapakan? Apakah akan dideportasi dikembalikan ke negara asalnya? Heriyanto menjawab, bisa saja seperti itu. “Yang jelas kita masih menunggu koordinasi dengan pihak Kedubes,” kata dia.

Bagaimana jika mereka tak mau dideportasi, tapi malah minta suaka? Heriyanto mengatakan, pihak Imigrasi hanya mengurus mengenai tinggal sementara mereka. Masalah suaka, kata dia, menjadi urusan Kemenlu.

Kemenkumham Belum Mau Pindahkan

Di sisi lain,  pihak Kementerian Hukum dan HAM) Sumut tampaknya belum mau memenuhi tuntutan pengungsi Sri Lanka.

“Saat ini tetap kita menenangkan situasi dan kondisi. Kita juga dibantu petugas dari Polres Belawan. Tentu ada langkah-langkah apakah nanti mereka ini akan dipindahkan ke Rudenim lain. Tapi untuk upaya sementara kami menenangkan mereka supaya kondusif,” ujar Kasubbag Bagian Humas dan Laporan Kanwil Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM) Sumut, Hasran Sapawi, Minggu (7/4).

Hasran berpendapat permintaan 89 warga Sri Lanka itu bukanlah hal yang gampang dilakukan. Tentu harus melalui pengkajian terlebih dahulu. “Bisa saja nanti kita pindahkan mereka, tapi tidak serta merta hari ini atau dalam seketika. Harus ada pengkajian mendalam. Mereka dipindahkan ke mana dan kapan, ini hanya tinggal menunggu waktu. Tapi yang jelas saat ini keamanan mereka kita jamin terlindungi,” ujarnya.

Saat disinggung bagaimana tentang delapan jenazah warga Myanmar yang tewas dalam bentrokan Jumat (5/4) dini hari lalu, apakah di kembalikan ke negara asalnya? Hasran mengaku belum ada kepastian mengenai itu meski pihaknya telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta.
“Bisa saja di pulangkan ke negara asalnya ataupun di kebumikan di Indonesia. Tapi semuanya tergantung hasil koordinasi itu. Belum ada kepastian untuk itu. Saya juga belum ada mendapatkan informasi apakah mereka sudah turun ke Medan atau belum,” terangnya.

Lantas, apakah nanti pihaknya akan memberlakukan pengklasifikasian warga negara yang bermukim di Rudenim pasca peristiwa berdarah itu? “Tetap akan melihat kondisi ke depan di lapangan. Sampai saat ini saja Rudenim sudah sangat over kapasitas. Petugas kita juga minim, hanya lima orang. Bisa saja dilakukan pemisahan, tapi itu nanti dulu,” urainya.

Sementara itu, Polres Pelabuhan Belawan terus melakukan penyelidikkan secara marathon untuk tragedi Jumat lalu. Polisi sudah memeriksa sekitar 24 saksi dengan menetapkan 19 tersangka, tidak tutup pelaku akan bertambah. Setidaknya hal ini diungkapkan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Heru Prakoso, kemarin sore.

Menurut Heru, dalam penyelidikan polisi mendapatkan kendala. Mereka tidak bisa memeriksa karena da perbedaan bahasa. “Iya, mereka (tersangka, Red) tidak bisa berbahasa Inggris dan bahasa Indonesai, tapi pihak imigrasi telah mengirim orang yang bisa berbahasa Myanmar,”ujarnya.
Terkait dengan itu, 19 tersangka mulai menempati ruang sel tahanan umum kepolisian. Para pelaku tersebut ditempatkan satu sel dengan para tahanan lainnya di Mapolres Pelabuhan Belawan, Minggu (7/4) kemarin.

Para pelaku berinisial, NM (37), RH (29), ZH (23), MJ (35), MT (25), MY (15), SA (25), AT (45), MM (16), SA (33), N (16), AB (22), U (18), I (16), AH (22), MSA (23), AH (25), MS (18) dan MZ (35), yang merupakan imigran asal luar negeri itu membaur dengan para pelaku tindak kejahatan lainnya.
Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan, AKP Yudi Friyanto mengatakan, ke-19 tersangka dikenakan pasal berlapis 170 jo 340 subsider 338 KUHPidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun atau maksimal hukuman seumur hidup. “Proses di sini, tapi kita tetap menunggu hasil keputusan dari polda. Kita bukan melarang media untuk mengambil gambar atau mewawancarai tersangka, tapi mesti ada izin dari Poldasu,” katanya.
Sebelumnya, dalam prarekonstruksi yang digelar di halaman Mapolres Pelabuhan Belawan, ke-19 tersangka yang tak bisa bahasa Indonesia itu dipandu oleh penerjemah. Adegan demi adegan pembantaian 8 etnis penganut Buddha digelar. Masing-masing pelaku bergantian memperagakan seperti apa pembantaian tersebut terjadi. (rul/sam/far/gus)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru