26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis

Oleh: Yusuf Asyari, Sebatik

PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. //Yusuf Asyari/Jawa Pos/jpnn
PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. //Yusuf Asyari/Jawa Pos/jpnn

Menjadi guru di daerah terpencil membutuhkan perjuangan tersendiri. Itu pula yang dirasakan Siti Dwi Arini Putrianti, guru bantu di SDN 006 Sebatik Tengah, dan Reni Sartika, guru SDN 002 Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara.

Siang itu jarum jam menunjuk pukul 11.00 Wita (Waktu Indonesia Tengah). Murid kelas 3 SDN 006 Sebatik Tengah bersiap mengikuti mata pelajaran terakhir. Lelah dan bosan terbaca pada tingkah mereka.

Bocah-bocah itu tampak bersenda gurau dan berlarian di dalam kelas. Teriakan kecil dan canda khas anak-anak saling bersahutan. Hanya beberapa di antara mereka yang duduk manis di kursi berbahan plastik yang dilengkapi meja kayu itu.

Tingkah mereka tidak berhenti meski guru masuk kelas.

Para siswa baru tertib setelah salah seorang di antara mereka memimpin salam pembuka. ’’Hari ini kita belajar keterampilan. Kita bikin bunga dengan kertas origami,’’ kata Wiwi, panggilan akrab Siti Dwi Arini Putrianti.

Pelajaran keterampilan tersebut masuk dalam pelajaran seni budaya keterampilan (SBK). Murid pun berteriak girang. Mereka mulai antusias. Tidak lama, sejumlah instruksi diberikan. Para siswa dibagi menjadi empat kelompok. Kertas origami, gunting, dan lem mulai dibagikan.

Setiap kelompok yang terdiri atas enam murid harus saling bantu membuat karya bunga. Tentu, sang guru di depan kelas mencontohkan cara membuatnya. Mulai melipat, menggunting, sampai mengelem kertas tersebut.

’’Ini salah satu mata pelajaran yang diminati. Banyak hal yang bisa dipelajari murid. Kekompakan, ketelitian, dan semangat berkreasi,’’ ujar Wiwi kepada Jawa Pos yang berkunjung ke SDN 006 Sebatik Tengah pekan lalu.

Wiwi merupakan guru bantu dari Sekolah Guru Indonesia (SGI). SGI merupakan program pendidikan di bawah naungan lembaga sosial Dompet Dhuafa. Wiwi juga dituntut menjadi motor penggerak pemberdayaan masyarakat di lingkungan tempatnya mengajar. Dia menjadi guru honorer selama setahun, sejak November 2013 sampai November 2014.

SDN 006 sebenarnya sama dengan sekolah pada umumnya di Indonesia. Secara fisik gedung kelasnya memadai. Semua bangunan sudah berdinding tembok. Ada ruang guru dan perpustakaan. Jumlah guru yang mengajar pun cukup. Meski, di antara total sembilan guru, hanya dua yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil). Sisanya masih tenaga honorer. Bedanya, mereka tinggal di daerah perbatasan.

Tidak banyak sarjana yang mau menjadi guru di sana. Guru honorer umumnya hanya lulusan SMA. Di sisi lain, jauhnya jarak dari Kabupaten Nunukan membuat mereka jarang mendapat pelatihan mengajar. Imbasnya pada metode pengajaran yang terbilang monoton.

’’Yang saya rasakan saat pertama mengajar, anak-anak kurang ada motivasi belajar,’’ ungkap Wiwi.

Motivasi itulah yang berusaha ditanamkan perempuan kelahiran Sungguminasa, 31 Januari 1990, tersebut kepada para siswa. Salah satunya dengan penguatan karakter yang diselipkan dalam metode pembelajaran.

Untuk memotivasi murid, Wiwi membuat beberapa permainan. Salah satunya membikin papan motivasi berbahan kardus. Sebelum memulai pelajaran saat pagi, murid-murid kelas 3–6 harus menyebutkan kalimat motivasi. Kalimat tersebut lantas ditulis di kertas dan ditempelkan di papan motivasi.

Tentu, model kalimatnya bermacam-macam, bergantung kreativitas anak. Jika belum menemukan kalimat motivasi, murid tidak boleh belajar. Murid pun dipaksa berpikir dengan cepat dan kreatif. Salah satu contoh kalimat itu: ’’Saya hari ini belajar untuk mencapai cita-cita.’’

Wiwi juga melakukan pendekatan kepada orang tua siswa. Setiap memberikan les tambahan sore, dia mengajak berdialog beberapa orang tua murid untuk mendorong anak mereka giat belajar. Jika ada waktu luang, Wiwi menyambangi rumah warga untuk sekadar bercengkerama.

’’Anak-anak di sini kalau ditanya cita-cita pasti enggak jauh dari Tawau. Bahkan, ada yang ingin menjadi TKI di Tawau seperti orang tuanya,’’ kata sarjana pendidikan bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Makassar itu.

Jawa Pos sempat menanyakan hal serupa kepada beberapa murid. Putri Natasya, salah seorang siswi, mengaku ingin menjadi polwan. Namun, polwan yang dia maksud ternyata bukan polisi wanita anggota Polri, melainkan polis di Malaysia. Mengapa bukan Indonesia? ’’Tahunya polis seperti di Tawau,’’ ujar siswi kelas 3 itu.

Wiwi merasa para orang tua murid kurang mementingkan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, secara ekonomi, warga di sana bisa dibilang tidak kekurangan. Sekitar 40 persen orang tua siswa merupakan TKI yang bekerja di Tawau, Malaysia. Sisanya adalah petani kelapa sawit atau petani kakao. Karena itu, wajar jika pengaruh Malaysia begitu kental.

Ketergantungan ekonomi terhadap Kota Tawau sangat terasa. Hampir 90 persen pasokan kebutuhan warga didatangkan dari Tawau, sedangkan hasil bumi mereka dikirim ke Tawau. Tidak ada pilihan lain bagi warga di sana. Apalagi akses ke Nunukan lebih jauh daripada ke Tawau. Karena itu, dalam transaksi ekonomi, berlaku mata uang ganda, yakni rupiah dan ringgit.

Sayangnya, kesadaran terhadap pendidikan masih kurang. Padahal, kata Wiwi, mereka punya semangat belajar yang tinggi. ’’Nasionalisme anak di sini baik. Mereka Indonesia sekali. Tetapi, perhatian pemerintah terhadap mereka kurang. Justru kehidupan mereka hampir semua bergantung pada Tawau,’’ ucapnya.

Beberapa murid bahkan memanggil guru perempuan di sana dengan sebutan cikgu, panggilan guru di Malaysia. Bukan soal panggilannya, tetapi budaya Malaysia yang tidak terbendung. Siaran televisi atau radio Malaysia lebih mudah didapatkan warga di sana. Nasionalisme bisa saja tinggal nama jika dibiarkan tanpa langkah memajukan daerah Sebatik agar warga di sana tidak ’’dijajah’’ lagi oleh Malaysia.

Kisah tidak jauh berbeda diungkapkan Reni Sartika yang mengajar di SDN 002 Sebatik. Letaknya sekitar 20 kilometer ke arah barat di Desa Balansiku, Kecamatan Sebatik Induk. Seperti halnya Wiwi, Resa –panggilan Reni Sartika– menjadi bagian dari program Dompet Dhuafa. Dia bertugas di perbatasan Indonesia-Malaysia itu selama setahun hingga November tahun ini.

Menurut dia, mayoritas siswanya adalah anak petani dan TKI. Karena itu, penanaman karakter terhadap anak sangat kurang. Bukan hanya itu. Kendati masih warga Indonesia, kemampuan berbahasa Indonesia mereka sangat minim. Warga setempat terbiasa berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing. Di tempat Resa mengajar, kebanyakan warga bersuku Bugis. Sisanya adalah suku Tidung, Banjar, dan Dayak.

Menurut perempuan kelahiran Batu Sangkar, 9 November 1989, tersebut, SDN 002 Sebatik memiliki perpustakaan. Namun, sangat jarang siswa yang datang ke ruang baca tersebut. Karena itu, ketika pertama tiba di sana, Resa berinisiatif menghidupkan perpustakaan tersebut. Namun, upaya itu terhambat minimnya bacaan berkualitas.

Setelah ditelusuri, sebenarnya perpustakaan tersebut memiliki koleksi buku yang lumayan bagus. Misalnya, kumpulan cerpen dan buku-buku lain yang mencapai 300-an buku. Sayangnya, buku-buku itu dibiarkan ditumpuk dan diikat sejak awal 2013. ’’Saat akan saya buka ikatannya, tidak boleh,’’ katanya.

Ternyata, buku-buku itu adalah barang bukti kasus korupsi pengadaan buku yang melibatkan pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan. Selama putusan pengadilan belum turun, tidak seorang pun boleh membuka ikatan buku itu.

’’Sayang sekali. Padahal, buku-buku itu bagus untuk anak-anak,’’ tegas sarjana pendidikan bahasa Inggris STAIN Batu Sangkar tersebut.

Di luar jam mengajar, Resa membangun taman di sekolah. Tidak mudah membuat taman di Pulau Sebatik yang jarang disinggahi hujan itu. Tidak ada mata air. Untuk memenuhi kebutuhan air, warga mengandalkan tadah hujan. ’’Tapi, saya bilang, jika ada kemauan, pasti bisa,’’ ucapnya.

Resa lantas meminta siswa membawa air dari rumah. Bisa air bekas mencuci beras atau air sisa rumah tangga lainnya. Air itulah yang dipakai menyiram taman sekolah setiap hari. Hasilnya, taman sekolah menjadi asri.

Resa juga menularkan hal baru kepada guru-guru di sana. Misalnya, membuat RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran), manajemen kelas, sampai metode pembelajaran. Konsep itu sebenarnya memudahkan guru untuk menjalankan tugas. Dalam beberapa kesempatan, rekan guru lainnya bertanya kepada Resa tentang banyak hal. Resa selalu menjawab tanpa berusaha terlihat menggurui.

’’Mudah-mudahan kehadiran saya di sini ada manfaatnya. Itu saja,’’ ungkapnya. (c5/oni/ari/jpnn)

Oleh: Yusuf Asyari, Sebatik

PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. //Yusuf Asyari/Jawa Pos/jpnn
PENGORBANAN: Resa (kiri) dan Wiwi bersama para murid SDN 006 di Pulau Sebatik. //Yusuf Asyari/Jawa Pos/jpnn

Menjadi guru di daerah terpencil membutuhkan perjuangan tersendiri. Itu pula yang dirasakan Siti Dwi Arini Putrianti, guru bantu di SDN 006 Sebatik Tengah, dan Reni Sartika, guru SDN 002 Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara.

Siang itu jarum jam menunjuk pukul 11.00 Wita (Waktu Indonesia Tengah). Murid kelas 3 SDN 006 Sebatik Tengah bersiap mengikuti mata pelajaran terakhir. Lelah dan bosan terbaca pada tingkah mereka.

Bocah-bocah itu tampak bersenda gurau dan berlarian di dalam kelas. Teriakan kecil dan canda khas anak-anak saling bersahutan. Hanya beberapa di antara mereka yang duduk manis di kursi berbahan plastik yang dilengkapi meja kayu itu.

Tingkah mereka tidak berhenti meski guru masuk kelas.

Para siswa baru tertib setelah salah seorang di antara mereka memimpin salam pembuka. ’’Hari ini kita belajar keterampilan. Kita bikin bunga dengan kertas origami,’’ kata Wiwi, panggilan akrab Siti Dwi Arini Putrianti.

Pelajaran keterampilan tersebut masuk dalam pelajaran seni budaya keterampilan (SBK). Murid pun berteriak girang. Mereka mulai antusias. Tidak lama, sejumlah instruksi diberikan. Para siswa dibagi menjadi empat kelompok. Kertas origami, gunting, dan lem mulai dibagikan.

Setiap kelompok yang terdiri atas enam murid harus saling bantu membuat karya bunga. Tentu, sang guru di depan kelas mencontohkan cara membuatnya. Mulai melipat, menggunting, sampai mengelem kertas tersebut.

’’Ini salah satu mata pelajaran yang diminati. Banyak hal yang bisa dipelajari murid. Kekompakan, ketelitian, dan semangat berkreasi,’’ ujar Wiwi kepada Jawa Pos yang berkunjung ke SDN 006 Sebatik Tengah pekan lalu.

Wiwi merupakan guru bantu dari Sekolah Guru Indonesia (SGI). SGI merupakan program pendidikan di bawah naungan lembaga sosial Dompet Dhuafa. Wiwi juga dituntut menjadi motor penggerak pemberdayaan masyarakat di lingkungan tempatnya mengajar. Dia menjadi guru honorer selama setahun, sejak November 2013 sampai November 2014.

SDN 006 sebenarnya sama dengan sekolah pada umumnya di Indonesia. Secara fisik gedung kelasnya memadai. Semua bangunan sudah berdinding tembok. Ada ruang guru dan perpustakaan. Jumlah guru yang mengajar pun cukup. Meski, di antara total sembilan guru, hanya dua yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil). Sisanya masih tenaga honorer. Bedanya, mereka tinggal di daerah perbatasan.

Tidak banyak sarjana yang mau menjadi guru di sana. Guru honorer umumnya hanya lulusan SMA. Di sisi lain, jauhnya jarak dari Kabupaten Nunukan membuat mereka jarang mendapat pelatihan mengajar. Imbasnya pada metode pengajaran yang terbilang monoton.

’’Yang saya rasakan saat pertama mengajar, anak-anak kurang ada motivasi belajar,’’ ungkap Wiwi.

Motivasi itulah yang berusaha ditanamkan perempuan kelahiran Sungguminasa, 31 Januari 1990, tersebut kepada para siswa. Salah satunya dengan penguatan karakter yang diselipkan dalam metode pembelajaran.

Untuk memotivasi murid, Wiwi membuat beberapa permainan. Salah satunya membikin papan motivasi berbahan kardus. Sebelum memulai pelajaran saat pagi, murid-murid kelas 3–6 harus menyebutkan kalimat motivasi. Kalimat tersebut lantas ditulis di kertas dan ditempelkan di papan motivasi.

Tentu, model kalimatnya bermacam-macam, bergantung kreativitas anak. Jika belum menemukan kalimat motivasi, murid tidak boleh belajar. Murid pun dipaksa berpikir dengan cepat dan kreatif. Salah satu contoh kalimat itu: ’’Saya hari ini belajar untuk mencapai cita-cita.’’

Wiwi juga melakukan pendekatan kepada orang tua siswa. Setiap memberikan les tambahan sore, dia mengajak berdialog beberapa orang tua murid untuk mendorong anak mereka giat belajar. Jika ada waktu luang, Wiwi menyambangi rumah warga untuk sekadar bercengkerama.

’’Anak-anak di sini kalau ditanya cita-cita pasti enggak jauh dari Tawau. Bahkan, ada yang ingin menjadi TKI di Tawau seperti orang tuanya,’’ kata sarjana pendidikan bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Makassar itu.

Jawa Pos sempat menanyakan hal serupa kepada beberapa murid. Putri Natasya, salah seorang siswi, mengaku ingin menjadi polwan. Namun, polwan yang dia maksud ternyata bukan polisi wanita anggota Polri, melainkan polis di Malaysia. Mengapa bukan Indonesia? ’’Tahunya polis seperti di Tawau,’’ ujar siswi kelas 3 itu.

Wiwi merasa para orang tua murid kurang mementingkan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, secara ekonomi, warga di sana bisa dibilang tidak kekurangan. Sekitar 40 persen orang tua siswa merupakan TKI yang bekerja di Tawau, Malaysia. Sisanya adalah petani kelapa sawit atau petani kakao. Karena itu, wajar jika pengaruh Malaysia begitu kental.

Ketergantungan ekonomi terhadap Kota Tawau sangat terasa. Hampir 90 persen pasokan kebutuhan warga didatangkan dari Tawau, sedangkan hasil bumi mereka dikirim ke Tawau. Tidak ada pilihan lain bagi warga di sana. Apalagi akses ke Nunukan lebih jauh daripada ke Tawau. Karena itu, dalam transaksi ekonomi, berlaku mata uang ganda, yakni rupiah dan ringgit.

Sayangnya, kesadaran terhadap pendidikan masih kurang. Padahal, kata Wiwi, mereka punya semangat belajar yang tinggi. ’’Nasionalisme anak di sini baik. Mereka Indonesia sekali. Tetapi, perhatian pemerintah terhadap mereka kurang. Justru kehidupan mereka hampir semua bergantung pada Tawau,’’ ucapnya.

Beberapa murid bahkan memanggil guru perempuan di sana dengan sebutan cikgu, panggilan guru di Malaysia. Bukan soal panggilannya, tetapi budaya Malaysia yang tidak terbendung. Siaran televisi atau radio Malaysia lebih mudah didapatkan warga di sana. Nasionalisme bisa saja tinggal nama jika dibiarkan tanpa langkah memajukan daerah Sebatik agar warga di sana tidak ’’dijajah’’ lagi oleh Malaysia.

Kisah tidak jauh berbeda diungkapkan Reni Sartika yang mengajar di SDN 002 Sebatik. Letaknya sekitar 20 kilometer ke arah barat di Desa Balansiku, Kecamatan Sebatik Induk. Seperti halnya Wiwi, Resa –panggilan Reni Sartika– menjadi bagian dari program Dompet Dhuafa. Dia bertugas di perbatasan Indonesia-Malaysia itu selama setahun hingga November tahun ini.

Menurut dia, mayoritas siswanya adalah anak petani dan TKI. Karena itu, penanaman karakter terhadap anak sangat kurang. Bukan hanya itu. Kendati masih warga Indonesia, kemampuan berbahasa Indonesia mereka sangat minim. Warga setempat terbiasa berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing. Di tempat Resa mengajar, kebanyakan warga bersuku Bugis. Sisanya adalah suku Tidung, Banjar, dan Dayak.

Menurut perempuan kelahiran Batu Sangkar, 9 November 1989, tersebut, SDN 002 Sebatik memiliki perpustakaan. Namun, sangat jarang siswa yang datang ke ruang baca tersebut. Karena itu, ketika pertama tiba di sana, Resa berinisiatif menghidupkan perpustakaan tersebut. Namun, upaya itu terhambat minimnya bacaan berkualitas.

Setelah ditelusuri, sebenarnya perpustakaan tersebut memiliki koleksi buku yang lumayan bagus. Misalnya, kumpulan cerpen dan buku-buku lain yang mencapai 300-an buku. Sayangnya, buku-buku itu dibiarkan ditumpuk dan diikat sejak awal 2013. ’’Saat akan saya buka ikatannya, tidak boleh,’’ katanya.

Ternyata, buku-buku itu adalah barang bukti kasus korupsi pengadaan buku yang melibatkan pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan. Selama putusan pengadilan belum turun, tidak seorang pun boleh membuka ikatan buku itu.

’’Sayang sekali. Padahal, buku-buku itu bagus untuk anak-anak,’’ tegas sarjana pendidikan bahasa Inggris STAIN Batu Sangkar tersebut.

Di luar jam mengajar, Resa membangun taman di sekolah. Tidak mudah membuat taman di Pulau Sebatik yang jarang disinggahi hujan itu. Tidak ada mata air. Untuk memenuhi kebutuhan air, warga mengandalkan tadah hujan. ’’Tapi, saya bilang, jika ada kemauan, pasti bisa,’’ ucapnya.

Resa lantas meminta siswa membawa air dari rumah. Bisa air bekas mencuci beras atau air sisa rumah tangga lainnya. Air itulah yang dipakai menyiram taman sekolah setiap hari. Hasilnya, taman sekolah menjadi asri.

Resa juga menularkan hal baru kepada guru-guru di sana. Misalnya, membuat RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran), manajemen kelas, sampai metode pembelajaran. Konsep itu sebenarnya memudahkan guru untuk menjalankan tugas. Dalam beberapa kesempatan, rekan guru lainnya bertanya kepada Resa tentang banyak hal. Resa selalu menjawab tanpa berusaha terlihat menggurui.

’’Mudah-mudahan kehadiran saya di sini ada manfaatnya. Itu saja,’’ ungkapnya. (c5/oni/ari/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/