Presiden Tiongkok Xi Jinping punya ambisi besar merekonstruksi jalur perdagangan laut legendaris Jalur Sutra atau The New Maritime Silk Road. Berbagai upaya dilakukan Tiongkok agar Indonesia terlibat aktif. Salah satunya menyebarkan informasi tentang kemajuan kedua negara lewat stasiun radio CRI.
BAYU PUTRA, Beijing
GEDUNG 14 lantai menyambut kedatangan delegasi Jawa Pos ke kantor China Radio International (CRI) 3 September lalu. Terletak di salah satu kawasan sibuk di pusat Kota Beijing, yakni 16A Shijingshan Road, jalanan di sekitar kantor radio tersebut dipenuhi jejeran mobil yang terparkir. Di sekitar gedung terdapat kawasan pertokoan dan transaksi jual beli seolah tanpa henti.
CRI menjadi salah satu destinasi muhibah delegasi Jawa Pos Group ke Tiongkok pada 1″10 September. Kedatangan delegasi yang terdiri atas Wapemred Jawa Pos Abdul Rokhim, Direktur Pemberitaan JTV Imam Syafii, Pemred Pontianak Post Salman Busrah, Pemred Kaltim Post Muhammad Rizal Juraid, Wapemred Sumatera Ekspres Nurseri Marwah, dan Pemred Riau TV Bambang Suwarno itu langsung disambut Wakil Direktur Departemen Indonesia CRI Liu Li.
Ya, bahasa Indonesia merupakan satu di antara 65 bahasa yang digunakan CRI. Kalau di Indonesia, CRI memiliki banyak kesamaan dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Perbedaannya, RRI berstatus lembaga penyiaran publik. CRI yang sepenuhnya dibiayai negara berfungsi sebagai corong pemerintah Tiongkok dalam menginformasikan kondisi negara ke dunia internasional. Karena itu, radio yang beroperasi sejak 1948 tersebut melakukan siaran dalam 65 bahasa internasional dan Mandarin lokal.
Liu yang memiliki nama Indonesia Yulianto menerima delegasi Jawa Pos Group dengan didampingi Zhu Funning alias Heru di ruang rapat berupa meja bundar. Dalam diskusi tersebut, terungkap ada dua WNI yang bekerja di CRI Departemen Indonesia. “Seorang bernama Christine Eng, namun sedang cuti dan satu lagi Pierre Baskoro. Keduanya cukup terkenal di antara pendengar kami orang Indonesia,” ujar Liu saat memimpin diskusi.
Departemen Indonesia terletak di lantai 4, satu ruangan dengan Departemen Filipina. Luas ruangan untuk Departemen Indonesia tampak lebih besar daripada Filipina dan di antara dua departemen tersebut terdapat penyekat pendek yang sekelilingnya diisi tumpukan barang dan buku.
Ruang kerja para karyawan maupun ruang siaran dibuat simpel. Meski masing-masing ruangan tidak terlalu luas, kesan nyaman dengan mudah didapat di ruangan-ruangan kerja karena penataan yang baik. Meja kerja para karyawan dibuat saling berhadapan dengan sekat yang rendah. Komputer-komputer dengan monitor lebar menghiasi setiap meja karyawan. Tentu saja didukung akses internet berkecepatan tinggi.
Delegasi Jawa Pos Group sempat diajak berkeliling kantor CRI. Salah satunya ruang pamer cenderamata. Di dalam ruangan itu terdapat sejumlah lemari kaca yang dipisah-pisah sesuai dengan asal negara yang delegasinya pernah mengunjungi CRI. Entah dalam rangka studi banding atau kunjungan biasa. Juga ada kenang-kenangan dari pendengar setia. Selain Indonesia dan negara-negara Asia, tampak hadiah-hadiah dari Australia, Amerika Serikat, Jerman, hingga beberapa negara Balkan.
Di dalam lemari kaca bertulisan Indonesia, tampak beberapa radio di Indonesia pernah mengunjungi CRI. Ada pula hadiah dari para pendengar berupa kaset album lagu-lagu lawas Indonesia seperti album milik penyanyi Hetty Koes Endang, Mus Mulyadi, dan penyanyi-penyanyi kondang era 1970-80-an lainnya. Penataan ruangan dibuat simpel dan rapi untuk memudahkan pengunjung menikmati hasil kerja sama CRI dengan berbagai radio di sejumlah negara.
Ada 21 karyawan, reporter, maupun penyiar radio di Departemen Indonesia dan mereka mendapatkan suasana kerja yang nyaman. Semua fasilitas yang bisa memudahkan pekerjaan diberikan CRI. Dalam hal pakaian kerja, misalnya, CRI tidak memberikan batasan asalkan tetap sopan. Salah seorang penyiar asal Indonesia Pierre Baskoro, misalnya, saat ditemui hanya mengenakan atasan kaus hitam dan celana pendek selutut.
Pemuda asal Bogor itu tampak santai mengutak-atik keyboard komputernya. Dia terlihat gembira saat disapa anggota delegasi Jawa Pos. Pierre tidak butuh waktu lama untuk mengakrabkan diri. Dia tampak gembira bertemu sesama orang Indonesia selain Christine. Berbagai cerita pun mengalir dari pemuda kelahiran 5 Maret 1989 itu.
Pierre tinggal di Beijing sejak 2011. Tujuan awal kedatangannya ke Tiongkok adalah kuliah. Dia memilih jurusan jurnalistik di Communication University of China, Beijing. Sebelumnya dia menamatkan SD dan SMP di Bogor, lalu melanjutkan studi ke SMA di Malaysia.
Sulung dua bersaudara tersebut mengungkapkan, orang tuanya telah membiasakan dirinya untuk merantau. Karena itu, ketika dia mengutarakan keinginan untuk kuliah di Tiongkok, kedua orang tuanya langsung mengiyakan.
Selepas kuliah, Pierre pun memasuki dunia kerja. Dari situ dia merasakan betapa sulitnya memperoleh pekerjaan di Beijing. “Saya menyebarkan CV dan lamaran kerja tidak cuma lima atau sepuluh. Ratusan perusahaan saya kirimi lamaran. Meskipun sebagian di antaranya tidak sesuai dengan bidang saya,” kenangnya seraya tertawa.
Sembari menunggu respons perusahaan, termasuk CRI, Pierre memutuskan untuk magang selama lima bulan di salah satu televisi swasta nasional di Indonesia. Dia baru keluar dari stasiun televisi tersebut setelah mendapatkan panggilan kerja dari CRI akhir tahun lalu. “Saya memang sengaja memilih kerja di Tiongkok karena telanjur nyaman tinggal di kota ini,” ucap putra pasangan Stephanus dan Lanny itu.
Gaji yang diterima Pierre diakuinya cukup besar dibanding jika dirinya bekerja di Indonesia. Apalagi, dengan sertifikat ekspatriat, pendapatannya diberi lebih oleh pemerintah. Meski begitu, gaji bukan alasan Pierre bekerja di CRI. Dia melihat tantangan yang besar dengan bekerja di CRI, yakni harus menguasai tiga bahasa: Indonesia, Mandarin, dan Inggris.
Pierre mengatakan tidak ingin selamanya berada di Tiongkok. “Suatu saat saya ingin pulang juga. Tidak seperti sekarang, yang hanya bisa pulang setahun sekali,” ucapnya. Namun, saat ditanya kapan ingin pulang dan berkarya di Indonesia, pemuda berkacamata itu hanya mengangkat bahu.
Saat ini CRI tidak mengudara secara live. Namun mengandalkan siaran lewat streaming di internet, terutama melalui media sosial macam Twitter, YouTube, Facebook, atau media sosial bikinan Tiongkok Weibo. Beberapa tahun belakangan CRI bekerja sama dengan salah satu radio swasta di Jakarta yang memiliki jaringan ke sejumlah kota di Indonesia.
Salah satu program unggulannya adalah Lensa Interaktif atau Lentera. Program tersebut mengudara pada jam prime time. Lentera cukup diminati para pendengar muda. Tidak jarang mereka curhat lewat program Lentera. “Sayang, kerja sama itu terpaksa putus awal 2014 karena radio di Jakarta tersebut sedang fokus menggarap isu pemilu,” ungkap Liu.
Program lain yang cukup diminati pendengar di Indonesia adalah Blitz Asia. Program itu disiarkan lewat streaming di akun Facebook Lentera dan Indo CRI. Para netizen biasa mendengarkan lagu-lagu Asia dalam program tersebut. “Ketika proses pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia, kami juga update beritanya dengan mengontak pihak KBRI langsung,” ucap Liu.
Program siaran berbahasa Indonesia mengudara sejak 1951. Meski hubungan Indonesia dengan Tiongkok sempat putus pada 1965 akibat peristiwa G 30 S/PKI, program siaran berbahasa Indonesia tidak terhenti. Saat ini CRI menempatkan dua koresponden di ASEAN. Seorang berada di Jakarta bernama Indrawan dan seorang lagi menjadi koresponden di Singapura, Sarah Chow.
Lewat program-program macam Lentera dan Blitz Asia, CRI mempromosikan Tiongkok kepada pendengar di Indonesia. Ada pula program yang dinamakan Beijing Banget. Program berbahasa Indonesia mengudara lima jam dalam sehari. Harapannya, pendengar di Indonesia semakin mengenal Tiongkok dan tidak ragu untuk datang ke Negeri Tirai Bambu tersebut.
Program-program serupa dibuat dalam berbagai bahasa dengan konten yang disesuaikan dengan selera pendengar di tiap negara. Lewat siaran tersebut, perlahan tapi pasti informasi seputar Tiongkok mengudara di seluruh penjuru dunia.
Liu menambahkan, CRI tidak khawatir tersaingi media-media yang berkembang saat ini, terutama online. Bagaimanapun, radio memiliki segmentasi tersendiri yang tidak mungkin disamakan dengan koran, televisi, dan media online. “Penggunaan media sosial hanya untuk membantu kami berimprovisasi melayani para pendengar,” ucapnya. (*/c9/kim)