28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Dokter Spesialis Kini Tak Ditugaskan ke Pelosok

BERSAMA ANAK-ANAK DESA:  dr Widy Astuti Nur Husain,  sebagai salah satu Dokter Teladan Tingkat Nasional 2018 lalu. Ia bertugas di salah satu pelosok desa di Indonesia.
BERSAMA ANAK-ANAK DESA: dr Widy Astuti Nur Husain, sebagai salah satu Dokter Teladan Tingkat Nasional 2018 lalu. Ia bertugas di salah satu pelosok desa di Indonesia.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Mahkamah Agung (MA) telah mencoret kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebar para dokter spesialis hingga ke penjuru nusantara. Karenanya, saat ini tidak lagi mewajibkan bagi dokter spesialis untuk berdinas hingga ke pelosok Papua, tetapi hanya sukarela.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Medan, dr Wijaya Juwarna SpTHT-KL mengatakan, menjadi dokter merupakan pilihan yang sadar dari seorang calon dokter. Hal ini karena kewenangan untuk melakukan pelayanan kedokteran berdasarkan kompetensi yang telah ditetapkan oleh kolegium menjadi tugas utamanya kepada masyarakat.

“Lantaran dimulai dari pilihan sadar, maka kewajiban melakukan pelayanan kedokteran baik dari wilayah kota sampai daerah terpencil haruslah didasarkan pada pilihan yang sadar juga. Atau pun juga kesukarelaan tanpa ada paksaan oleh pihak manapun,” ujarnya kepada wartawan, kemarin.

Pun begitu, Wijaya mengakui di sisi lain memang harus disadari pula bahwasanya terjadi kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM) dokter, terutama untuk di daerah terpencil. Makanya, paling tidak ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi kelangkaan SDM dokter ini.

“Pertama adalah dengan melakukan program jangka pendek berupa Pegawai Tidak Tetap (PTT) ataupun sejenisnya. Para dokter yang mendaftar sukarela ditugaskan di daerah untuk jangka waktu tertentu,” sebutnya.

Kedua, sambung Wijaya, untuk jangka panjang, dapat dilakukan melalui pemerintah daerah dengan mengirim calon dokter yang berkualitas ke Fakultas Kedokteran (FK) yang ditunjuk pemerintah. Dengan begitu, ada kewajiban untuk mengabdi di daerah asalnya.

“Ketiga, dengan membuka program Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) khusus dokter dengan kepastian jaminan. Misalnya, jaminan insentif, tempat tinggal, kendaraan, sekolah anak dan keamanan,” tutur Wijaya.

Keempat, tambahnya, pemerintah menunjuk IDI sebagai regulator pendamping. Sehingga, nantinya ada tenaga dokter yang siap dirotasi untuk bertugas di daerah tertentu.

Diketahui, Keputusan MA mencoret kebijakan Presiden Jokowi seiring dengan diketoknya putusan Judicial Review Nomor 62 P/HUM/2018. MA menganulir Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis, alasannya wajib kerja merupakan bagian dari kerja paksa dan dilarang oleh UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa.

Atas putusan MA itu, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis. (ris/ila)

BERSAMA ANAK-ANAK DESA:  dr Widy Astuti Nur Husain,  sebagai salah satu Dokter Teladan Tingkat Nasional 2018 lalu. Ia bertugas di salah satu pelosok desa di Indonesia.
BERSAMA ANAK-ANAK DESA: dr Widy Astuti Nur Husain, sebagai salah satu Dokter Teladan Tingkat Nasional 2018 lalu. Ia bertugas di salah satu pelosok desa di Indonesia.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Mahkamah Agung (MA) telah mencoret kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebar para dokter spesialis hingga ke penjuru nusantara. Karenanya, saat ini tidak lagi mewajibkan bagi dokter spesialis untuk berdinas hingga ke pelosok Papua, tetapi hanya sukarela.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Medan, dr Wijaya Juwarna SpTHT-KL mengatakan, menjadi dokter merupakan pilihan yang sadar dari seorang calon dokter. Hal ini karena kewenangan untuk melakukan pelayanan kedokteran berdasarkan kompetensi yang telah ditetapkan oleh kolegium menjadi tugas utamanya kepada masyarakat.

“Lantaran dimulai dari pilihan sadar, maka kewajiban melakukan pelayanan kedokteran baik dari wilayah kota sampai daerah terpencil haruslah didasarkan pada pilihan yang sadar juga. Atau pun juga kesukarelaan tanpa ada paksaan oleh pihak manapun,” ujarnya kepada wartawan, kemarin.

Pun begitu, Wijaya mengakui di sisi lain memang harus disadari pula bahwasanya terjadi kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM) dokter, terutama untuk di daerah terpencil. Makanya, paling tidak ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi kelangkaan SDM dokter ini.

“Pertama adalah dengan melakukan program jangka pendek berupa Pegawai Tidak Tetap (PTT) ataupun sejenisnya. Para dokter yang mendaftar sukarela ditugaskan di daerah untuk jangka waktu tertentu,” sebutnya.

Kedua, sambung Wijaya, untuk jangka panjang, dapat dilakukan melalui pemerintah daerah dengan mengirim calon dokter yang berkualitas ke Fakultas Kedokteran (FK) yang ditunjuk pemerintah. Dengan begitu, ada kewajiban untuk mengabdi di daerah asalnya.

“Ketiga, dengan membuka program Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) khusus dokter dengan kepastian jaminan. Misalnya, jaminan insentif, tempat tinggal, kendaraan, sekolah anak dan keamanan,” tutur Wijaya.

Keempat, tambahnya, pemerintah menunjuk IDI sebagai regulator pendamping. Sehingga, nantinya ada tenaga dokter yang siap dirotasi untuk bertugas di daerah tertentu.

Diketahui, Keputusan MA mencoret kebijakan Presiden Jokowi seiring dengan diketoknya putusan Judicial Review Nomor 62 P/HUM/2018. MA menganulir Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis, alasannya wajib kerja merupakan bagian dari kerja paksa dan dilarang oleh UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa.

Atas putusan MA itu, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/