Pulau Berhala, Keindahan Titik Terluar Indonesia (3/Habis)
Sambungan dari: Jadi Penangkaran Penyu, Dijaga Puluhan Marinir
Saat mengunjungi pulau yang telah menjadi objek wisata ini, saya memilih jalur dari Serang Bedagai, dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dari kota Medan. Sampai di Kecamatan Tanjung Beringin, tepatnya di Kampung Dungu atau kampung nelayannya Serdang Bedagai, aroma laut dan amisnya ikan sudah terasa di indra penciuman.
Maklum, selain ada dermaga, kampung ini juga berfungsi sebagai TPI (Tempat Penjualanan Ikan) segar. Sampai di dermaga, mata tertuju kepada sebuah kapal kayu dan terbuka yang akan membawa saya ke laut lepas. Rasa enggan sempat menghinggap, mengingat kapal yang akan menyeberang tersebut seperti kapal nelayan pada umumnya. Tetapi, rasa khawatir langsung menghilang saat melihat sesuatu yang berwarna oranye diberikan Anak Buah Kapal (ABK). “Kita selalu menyediakan pelampung untuk penumpang kita. Itu fasilitas kita karena sewa kitakan mahal,” ujar ABK Surya.
Saat kapal sudah melaju pelan, sang ABK yang masih berusia 19 tahun bercerita pada saya, bahwa sebagian marinir yang akan kembali ke pos mereka sedikit kesal karena telah menunggu kedatangan saya. Ya, pada saat itu, saya terlambat sekitar 2 jam. Sesuai janji, kapal harus mulai bergerak saat pukul 10.00 WIB, saat air masih pasang.
Terbersit rasa penyesalan, mengingat, marinir ini telah terbiasa dengan kedisiplinan dan saya malah ngaret. Rasa sesal tersebut, sempat membuat saya kehilangan gairah. Ditambah dengan pemandangan air di dermaga yang berwarna cokelat, saya merasa perjalanan ini tidak akan begitu menarik.
Tetapi, perasaan itu langsung berubah. Saat indra penglihatan saya melihat rumah terapung yang terbuat dari kayu berjejer. Para nelayan yang memperbaiki jala mereka, menjadi sebuah pemandangan yang menarik untuk saya sendiri. Dan ketakjuban kembali menyeruak saat melihat kumpulan burung bangau di sekitar rumah. “Ini karena surut, mereka (bangau, Red) berada di tanah. Nanti, kalau sudah pasang mereka berada di pohon-pohon bakau itu, Kak,” jelas Surya.
Kapal terus melaju, setelah kumpulan bangau, pemandangan terpaku pada pohon bakau dengan air berwarna cokelat. Saya sudah mulai kepanasan. Matahari sudah sejajar di atas kepala saya. Saya berniat untuk masuk ke dalam kabin ABK, tetapi saya ragu, mengingat para penumpang lain yang masih bersantai duduk di luar kapal dengan pelampung.
Akhirnya jawaban itu datang, saat kapal memasuki kawasan Selat Malaka. Angin laut mengelus kulit. Segar.
Pukul 15.30 WIB daratan yang dituju mulai terlihat. Sebuah daratan yang sangat mencolok mata. Perpaduan warna hijau dan biru membuat mata tidak akan terpejam. Rasa nasionalis saya bangkit, terlihat lambang Burung Garuda berwarna keemasan berdiri dengan tegak di antara rerimbunan daun. Inilah dia, pulau terluar NKRI dengan kisah yang disimpannya.
Menginjakkan kaki pertama kali di dermaga pulau ini. Yang pertama sekali saya lakukan adalah membasuh kaki saya dengan pasir. Rasa hangat dan dingin datang bersamaan. Kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Karena pihak marinir (yang bertugas menjaga pulau) memanggil untuk mengabsen dan memberikan pengetahuan sekadarnya tentang salah satu pulau terluar Indonesia dari 12 pulau, di pos penjagaan.
Di pos ini bisa dikatakan lengkap. Selain ada dapur umum, di pos ini juga tersedia musala dan warung kecil-kecilan yang biasanya beroperasi bila pengunjung ramai.
Pemberitauan tersebut hanya berlangsung sekitar 15 menit, setelah itu para pengunjung di antar ke tempat persinggahannya. Sekadar catatan, bagi pengunjung yang ikut bersama travel, biasanya akan menginap di Mes Marinir. Sedangkan yang datang secara personal, bila ada izin bisa menginap di Mes Dinas Perikanan atau Mes Dinas Perhubungan. Dan bila memiliki jiwa pertualangan akut, silahkan mendirikan tenda di bibir pantai.
Karena air sudah pasang, para marinir yang baik hati itu mengantarkan saya dan rekan dengan boat ke lokasi yang telah ditentukan. Mes Dinas Perikanan, yang menghadap ke pantai. Dan senyum pun kembali mengembang di wajah saya.
Untuk air bersih atau air tawar, di pulau ini bisa dikatakan cukup. Tetapi, tidak halnya dengan listrik, yang hanya tersedia pada pukul 18.00 WIB hingga 24.00 WIB. Dan bagi pecinta gadget dan senang pamer di media sosial, harus bersabar untuk menggunggah berbagai kabar atau foto yang ingin disampaikan. Karena di pulau ini, tidak ada sinyal provider sama sekali.
Malam pertama saya habiskan waktu dengan bersantai di tepi pantai. Ditemani dengan bulan yang saat itu cerah, bibir mengembang, kala memandang ke arah laut. Lampu-lampu kapal nelayan di tengah laut menghiasi lautan yang berwarna hitam.
Malam semakin larut, keberuntungan ternyata masih bersama saya. Saat teman-teman yang lain memutuskan untuk memancing, datang 2 orang marinir ke arah saya. Dengan santai, 2 pemuda yang berbadan tegap ini berkata. “Mau ikut Mbak, ada penyu yang mendarat, mau bertelur,” ujarnya.
Tanpa berpikir ulang, saya pun menjerit: mau! Dan, 2 pemuda itu menuntun ke arah lubang pasir yang telah digali oleh sang penyu. Malam itu, ada 2 lubang yang berdekatan. Ternyata, untuk mengelabui lawan, saat akan bertelur, penyu akan menggali dua lubang. Yang satu sebagai manipulasi dan yang lainnya untuk menyimpan telur. Saya terkejut saat melihat penyu tersebut, ukurannya benar-benar besar. Kalau bisa dibandingkan, ukuran panjangnya mencapai lengan orang dewasa. “Penyu ini akan ke darat saat tengah malam di akhir atau awal bulan. Kalau saya tidak salah, usia penyu ini mencapai puluhan tahun,” ujar sang marinir yang saat itu sedang bertugas bernama Rido.
Ada sekitar 20 menit saya menganggumi kuasa Allah itu. Layaknya seperti wanita yang akan melahirkan (ngeden), begitu pula dengan penyu. Hal ini terlihat dari napasnya yang sudah tidak beraturan. “Menjelang subuh atau fajar penyu akan kembali ke laut. Sebelumnya, mereka akan menanam telurnya terlebih dahulu,” ungkap Rido.
Paginya, rasa lapar menyergap. Karena tidak ikut travel, untuk urusan perut, kami lakukan sendiri. Dengan kata lain, kami memasak sendiri, dengan perbekalan yang telah dibawa dari Medan. Tetapi, bagi yang malas masak, para marinir di sini menyediakan fasilitas untuk makan dengan harga Rp15 ribu per porsi.
Awal yang ingin saya lakukan adalah, mengunjungi menara suar. Menara yang menggelitik rasa nasionalis saya. Cukup mudah ternyata untuk menemukan jalan ke menara ini. Dari tepi pantai, silahkan cari anak tangga yang menuju ke atas, ikutin terus hingga terlihat sebuah bangunan tinggi menjulang ke atas.
Untuk mendapatkan menara suar yang baru diresmikan pada September 2012 yang lalu, setidaknya harus melewati lebih dari 700 anak tangga. Bagi yang sakit jantung atau kurang enak badan, jangan mencoba menaiki tangga ini. Menara suar ini menghadap ke selatan, tepatnya ke Pulau Jarak, yang merupakan wilayah otonomi Malaysia. Jaraknya sekitar 60 mil atau 5 jam dari Pulau Berhala.
Selain menara suar, di puncak ini ada bekas bangunan berwarna putih yang telah di runtuhkan. Selain itu, berbagai jenis tanaman juga ada seperti pohon jambu biji, jeruk, ubi, dan lainnya.
Keramahan para marinir di pulau ini, patut diancungi jempol. Dengan senang hati mereka akan membantu untuk membuat pengunjung betah. Salah satunya dengan menyediakan penyewaan peralatan snorkling. Ya, di pulau ini pengunjung bisa melakukan kegiatan untuk melihat bawah laut. Pulau Sokong Nenek merupakan areal yang paling cocok untuk kegiatan itu. Pantainya menyatu dengan pulau induk bila mana permukaan laut surut, tetapi bila pasang, maka kedua pulau ini terlihat jelas bedanya. Jaraknya lebih dekat dengan pulau induk dan kawasan pulau ini menjadi arena snorkeling yang paling menarik.
Bagi yang senang melihat gua, Pulau Sokong Siembang jawabannya. Pulau ini berbatu dengan sedikit pepohonan. Di sini terdapat gua-gua yang dulunya dihuni walet. Di bagian kakinya yang terendam, ikan-ikan berkembang dan berlindung. Dinding pulau ini curam hingga ke bawah laut.
Nah, bagi yang ingin mengelilingi pulau ini tanpa harus mengeluarkan tenaga. Marinir juga menyediakan boat untuk mengajak para pengunjung menyaksikan keindahan pulau. Cukup membayar Rp10 ribu per orang. Begitulah tiga hari di Pulau Berhala terasa tak cukup. Pulau itu bagi saya masih menjadi misteri. Tidak lagi soal tahayul dan bajak laut, tapi soal keindahan yang masih belum terjamah. (*)