Rambut cepak, badan atletis dan berotot. Belasan anak muda itu berbaris rapi. Sang “komandan” memberikan aba-aba dengan bahasa Jepang. Bubar, menghormat seniornya dengan membungkukkan badan. Setelah itu, mereka satu per satu nyemplung ke kolam renang.
————–
Soetomo Samsu-Jakarta
————–
Mereka baru tamat SMK tahun lalu. Fisiknya digembleng, termasuk harus jago berenang. Tak kalah penting, bahasa Jepang harus fasih.
“Pelatihan lima hingga enam bulan. Materinya fisik, bahasa Jepang termasuk budayanya, dan kedisiplinan ala Jepang,” ujar Yunus Sukmono, 23, saat bertemu JPNN di sebuah kolam renang di Kota Tangerang, Minggu (8/2).
Yunus “mengurus” kematangan anak-anak tamatan SMK pelayaran dan SMK perikanan dari berbagai kota di Indonesia, sebelum dikirim ke sebuah perusahaan perikanan yang berkantor di Yamagata Keng, Kota Sakata Machi, Jepang.
Rutin, setiap tahun perusahaan Jepang itu merekrut para lulusan SMK dari berbagai kota, seperti Medan, Lombok, Tegal, jember, Probolinggo, Tuban, Purworejo, juga dari Kalimantan dan Sulawesi.
Kebetulan, saat ini Yunus sedang menyiapkan tenaga-tenaga terampil itu dari SMK-SMK wilayah Jawa. Pihak Jepang sudah bekerjasama dengan SMK-SMK itu, sejak tes masuk siswa baru di sekolah itu.
“Dari pihak perusahaan Jepang itu bersama agennya di sini ikut ngetes masuk SMK. Setelah lulus, mereka rekrut,” ujar Yunus yang sudah tiga tahun kerja di perusahaan itu dan karena dianggap mumpuni, dia disuruh balik ke tanah air dengan tugas khusus menyiapkan adik-adik kelasnya sebelum ditarik ke Jepang.
Yunus bekerja sebagai supervisor di PT Pudji Utami, Tangerang-perusahaan yang digandeng pihak perekrut. Di Tangerang, para tamatan SMK itu menjalani masa persiapan.
“Perusahaan Jepang itu mintanya orang yang disiplin dan nurut. Nurut dalam artian profesional, menjalankan perintah atasan,” ujar Yunus saat ditanya kriteria tenaga kerja yang dikehendaki Jepang.
“Lihat saja itu sandal-sandal mereka, naruhnya berjejer rapi, menghadap searah depan pintu. Itu kebiasaan di Jepang. Meskipun kelihatan sepele, hal-hal seperti itu juga kami ajarkan,” ujar pria bujang yang fasih berbahasa Jepang itu.
Yang digembleng saat ini merupakan angkatan ketujuh, terdiri dari 11 tamatan SMK dari sejumlah kota di Jawa. Enam angkatan sebelumnya sudah bekerja di Jepang.
Nantinya, bujang-bujang tamatan SMK itu akan bekerja di kapal, mencari ikan di wilayah perairan Jepang. Sebulan sekali lego jangkar untuk bongkar muatan dan mengisi amunisi. Setelah itu, melaut lagi. Enam bulan sekali baru di darat agak lama, dua bulan. Itu pun, mereka tetap harus kerja, misal mengecat kapal.
“Dari perusahaan gaji 100 ribu yen atau sekitar 10 juta rupiah. Tapi dipotong untuk kos, biaya listrik, dan lain-lain, bersih sekitar tujuh juta. Tahun kedua bersih delapan juta. Mereka dikontrak tiga tahun,” ujar alumni SMKN 1 Gelaga Banyuwangi, Jatim, itu.
Adakah keluhan para bujang lulusan SMK itu saat kerja di sana? “Ada, soal gaji. Mereka merasa sama-sama kerja di satu kapal, tapi orang Jepang digaji 30 juta. Mungkin karena standar kebutuhan di Jepang lebih mahal,” kata dia.
“Ada juga kasus berkelahi di kapal dengan pekerja asal Jepang. Diadili secara internal, pekerja asal Jepang diberhentikan karena dia yang salah. Maklum, anak-anak muda,” ujar Yunus sembari mesem.
Komandan grup, Kasmunat, 18, mengaku sudah siap berangkat ke Jepang. Tamatan SMK Muhammadiyah Tuban, Jatim itu, merasa fisik sudah mumpuni, bahasa Jepang juga sudah fasih.
Masih muda, gaji bersih Rp 7 juta nantinya untuk apa? “Siap, sebagian untuk membantu orang tua,” ujar Kasmunat, dengan posisi tegap, saat ditanya koran ini.
Yunus menambahkan, memang pihak perusahaan mewajibkan para tenaga asal Indonesia itu untuk secara rutin mengirimkan uang ke keluarganya. Enam bulan sekali harus ngirim minimal 10 juta.
“Itu wajib,” ucap Yunus, seraya menambahkan, selama menjalani masa penggemblengan di Tangerang, mereka sudah diberi uang saku Rp 1,4 juta per bulan.
Mengapa tidak tertarik menyalurkan tenaga-tenaga terampil bidang kelautan itu ke perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negeri?
“Di sini gaji dua juta. Itu pun bukan gaji pertama. Kerja lama baru bisa mendapatkan dua juta,” kata Yunus, sembari sesekali matanya menatap para anak didiknya yang sedang olah fisik di kolam renang. ***