MEDAN, SUMUTPOS.CO – Stok obat Antiretroviral (ARV) untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di beberapa pusat kesehatan Sumatera Utara, sempat kosong beberapa bulan terakhir, persisnya Januari hingga Februari 2020. Kelangkaan itu menyebabkan sejumlah aktivis sosial HIV/AIDS dari berbagai komunitas di Medan maupun Sumut, bergerak dan mendatangi kantor Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sumut, Sabtu (7/3).
Setelah berdiskusi dengan KPA, dan dikoordinasikan ke Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan, terungkap bahwa stok dua jenis obat, yakni Tenofovir dan Dufiral, ternyata sudah diterima oleh Dinkes Sumut dan kini sudah tersedia di gudang. Terkecuali, Evapirenz belum sampai di Sumut.
“Saat ini stok obat untuk Sumut akan aman sampai dengan 3 bulan ke depan,” ungkap Koordinator JIP, Samara Yudha Afrianto, kepada wartawan, Minggu (8/3).
Komunitas yang mendatangi KPA antara lain Jaringan Indonesia Positif (JIP), Medan Plus, KDS Wilayah I, P3M, ACS IAC, dan Yayasan Fajar Sejahtera Indonesia (YAFSI).
Menurut Samara, ARV adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. Beberapa waktu lalu, stok ARV jenis tertentu kosong di Medan, yaitu Tenofovir, Dufiral, dan Evapirenz. Selain Medan, kekosongan Tenofovir juga terjadi Kabupaten Deliserdang sejak Januari hingga Februari lalu. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi komunitas ODHA.
Meski stok obat kini sudah tersedia di gudang, namun agar tidak terjadi lagi kekosongan obat, aktivis dan pemerintah sepakat ada Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pengusulan obat. “SOP yang ditetapkan, usulan dibuat per 3 bulan dan laporan diterima setiap bulan dari layanan,” jelasnya.
Diutarakan dia, permasalahan kekosongan obat ARV ini sering terjadi lantaran layanan tidak tepat waktu dalam mengirimkan laporan. Akibatnya, proses obat menjadi terdampak sehingga terjadi kekosongan obat di layanan.
Selain itu, tidak ada anggaran pengiriman obat ke daerah dan sebaliknya. Kemudian, tidak adanya anggaran dari daerah untuk menjemput obat ke gudang farmasi Dinkes Sumut yang ada di Medan.
“Karenanya, akan di bentuk sebuah unit informasi yang terpusat untuk Program HIV yakni Dinkes Sumut, KPA Sumut, dan Civil Society Organization (CSO) atau aktivis sosial. Kita sendiri siap mendukung dan berkoodinasi dalam pengadaan ARV ini,” tukasnya.
Siap Awasi Distribusi
Pembina YAFSI, Bambang Febriandi Wibowo mengaku siap berkolaborasi membantu mengawasi pendistribusian obat ARV. Ia menyatakan, sebagai salahsatu CSO, YAFSI turut mengawasi dan mengawal pengadaan obat ARV ini untuk penyandang HIV/AIDS atau ODHA. “Apalagi sekarang Indonesia sedang menghadapi krisis kelangkaan obat ARV. Krisis kelangkaan obat ARV sangat membahayakan nyawa ODHA dan saat ini sedang terjadi di banyak kota di Indonesia,” cetusnya.
Di Medan misalnya, sebut Bambang, berdasarkan laporan relawan dari Medan Plus, ada sekitar 7 layanan HIV/AIDS mengalami kekosongan obat pada minggu lalu (akhir bulan Februari). Kondisi ini, menurutnya cukup memprihatinkan karena penyandang HIV/AIDS sangat ketergantungan dengan obat tersebut. “Hanya satu obat yang tidak ada. Hanya saja, obatnya paling maksimal bisa memenuhi kebutuhan selama sebulan,” imbuhnya.
Untuk itu, dia berharap pemerintah dapat mematangkan koordinasi dengan layanan penanggulangan HIV. Hal ini agar bisa memaksimalkan layanan kepada ODHA. “Karena HIV/AIDS itu tidak bisa sembuh dan sehat. Dan mereka harus hidup dengan stigma, diskriminasi, dan revitalisasi yang harus dihadapi. Harapannya, agar Kemnkes lebih sigap lagi dalam hal stok obat ARV dan pendistribusiannya ke provinsi, kabupaten/kota maupun layanan,” pungkasnya.
Terpisah, Direktur dari LSM Rumah Cemara, Aditia Taslim mengatakan, gabungan lebih dari 70 LSM dari seluruh Indonesia berteriak dan mengirimkan surat kepada Menteri Kesehatan Terawan untuk segera mengambil langkah emergensi, guna memastikan ODHA tidak putus pengobatan. Ini adalah kejadian kesekian kalinya di mana stok obat ARV di layanan terputus dan memaksa ODHA berganti obat bahkan putus pengobatan.
“Kesehatan adalah hak dan kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia. ODHA juga merupakan warga negara yang haknya wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Dan ketika isu kesehatan serta obat dijadikan komoditas, maka hak dan kebutuhan ODHA akan menjadi terancam. Kejadian stock-out ini bukan yang pertama kali terjadi. Ini bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi warganya,” ungkap Aditia melalui keterangan tertulisnya.
Berdasarkan catatan dari LSM Indonesia AIDS Coalition, kejadian krisis stok obat ini sudah terjadi beberapa kali dalam dua tahun terakhir tanpa ada solusi kongkrit dari Kementerian Kesehatan. Dana APBN yang sudah dialokasikan guna pembelian obat ARV ini tidak bisa dieksekusi dikarenakan sistem dan mekanisme pengadaan obat ini tidak efisien.
“ARV adalah nyawa bagi saya. Dengan krisis stok saat ini, nyawa saya terancam. Kondisi ini tidak seperti yang selalu dijanjikan pemerintah terkait stok, jujur situasi ini membuat saya takut! Ketakutan saya adalah siapa yang akan menjamin kehidupan anak saya jika saya mati. ARV buat saya adalah harga mati,” tanda Baby Rivona, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia.
Situasi kosongnya stok obat ARV kali ini bahkan terjadi juga di beberapa rumah sakit di Jakarta. Wahyu Khresna dari Yayasan Kharisma menegaskan, ODHA bukan hanya sekedar angka yang harus dikejar. ODHA adalah warga negara yang harus dipenuhi kebutuhan dasarnya oleh negara, dan kebutuhan yang sangat mendasar bagi ODHA adalah obat ARV, di mana saat ini terjadi banyak kekosongan di beberapa wilayah.
Khresna pun menambahkan ketika negara lalai dengan warganya, maka perlu adanya sikap revolusioner untuk membantu negara dalam memenuhi kebutuhan warganya. (ris)