Lumpuh dan kemiskinan bukan kendala bagi Fuad Ritonga untuk menuntut ilmu. Bocah 9 tahun yang menurut orangtuanya menderita osteoporosis atau kerapuhan tulang ini bahkan disayang guru karena prestasinya.
Joko Gunawan, Labuhanbatu
Fuad Ritonga adalah anak kelima dari enam bersaudara buah pernikahan Makmur Ritanga dan Atcom Rambe. Mereka tinggal di Dusun Binanga Tolang, Desa Tanjung Medan, Kecamatan Bilah Barat, Labuhanbatu.
Saat ini Fuad tercatat sebagai murid kelas 1 di SD Negeri Nomor 118431 Binanga Tolang. Setiap pagi, Fuad digendong kakaknya Sri Bintang boru Ritonga yang menuntut ilmu di sekolah yang sama.
Pulang sekolah, dia menuggu kakanya keluar kelas untuk bersama-sama pulang ke rumah.
“Kakaknya kebetulan kelas V di sana, makanya dialah yang menggendongnya setiap hari,” kata Atcom Rambe saat ditemui di rumahnya, Selasa (6/5).
Sejumlah guru pengajar dimana Fuad Ritonga menimba ilmu membeberkan bahwa anak didik mereka tersebut tergolong murid yang pintar.
“Tulisannya cantik, sudah pandai membaca dan menghitung dia,” aku Suheni Dara Yusnita selaku wali kelas Fuad di I saat ditemui di ruang guru.
Nilai yang diperoleh Fuad Ritonga pada semester pertama menjadikan dirinya diposisi peringkat V di kelasnya. “Kalau tidak sakit dia tidak mau libur, cara berpikirnyapun bagus. Saya lihat perkembangannya, mungkin di semester kedua nanti jadi peringkat III.,” tambahnya.
“Senangnya kami lagi, dia tidak bandal,” tambah Arta Marsaulina Silitonga saat ditemui diruang kerjanya.
Melihat semangat belajar Fuad, para guru berharap ada perhatian serius kepadanya. “Terlebih dia tidak mau ribut diruangan dan selalu nurut. Kami juga berharap ada donatur atau siapapun yang mau membantunya dengan harapan kakinya bisa sembuh dan bergaul dengan teman-temannya bermain, baik disekolah maupun dirumah,” harap mereka.
Menurut Atcom Rambe, kaki kiri anak mereka patah setelah ditarik temannya saat menonton televisi di kediamannya. Kaki kanannyapun mengalami hal sama hingga tidak dapat berfungsi normal.
“Setelah patah itu, dia gak bisa jalan. Pernah dicobanya malah kaki kanannya ikut patah. Sejak itulah kakinya seperti sekarang ini,” terang Atcom.
Berbagai upaya sudah dicoba, tetapi kondisi ekonomi dan keterbatasan biaya membuat orangtuanya pasrah melihat kondisi Fuad. “Dari umur dua tahun sampai sekarang, ya seringlah kami kusukkan kalau kakinya patah dan memang cuma itu yang bisa kami buat,” akunya.
Bekerja sebagai buruh deres di kebun karet milik orang, penghasilan suaminya tidak mampu menutupi biaya operasi. Pernah mereka berobat ke RSUD Rantauprapat, oleh dokter di sana disarankan agar kaki anaknya ditambal dan dipasang alat bantu penyangga. Waktu itu saran tersebut tidak dapat dilakukan karena usia Fuad masih belia.
Setelah cukup umur, niat membawa Fuad berobat kembali tak terkabul. “Dulu pernah dibawa berobat ke Rantauprapat, perginya bisa naik bus, pas pulangnya kami menumpang truklah, itupun bolak-balik ganti,” papar Otcam.
Sekarang, meski biaya pengobatan gratis, Atcom merasa tak akan mampu menyediakan biaya untuk mengurus berkas persyaratan. “Bapaknya cuma buruh deres, seminggu paling pun dapat Rp375 ribu. Jangankan untuk berobat, terkadang kebutuhan sehari-hari saja masih kurang.
Saat ini, Makmur Ritonga dan Atcom Rambe berharap ada pihak yang terketuk hatinya untuk membantu pengobatan anak mereka. Sebagai orangtua, keduanya berharap, Fuad Ritonga bias menjalani hidup normal dan mampu membanggakan orangtua dengan menggapai cita-cita. (far/tom)