25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ada Asa di Pantai Barat Sumatera

Gerak Aktif Haji Anif di Madina (1)

Perjalanan ini sepertinya begitu lengkap. Bagaimana tidak, perjalanan ini harus dilalui dengan penerbangan selama lima puluh lima menit, menaiki kapal motor selama dua jam serta ditambah total perjalanan darat satu jam lebih. Menariknya, setelah terbang dan mengarungi laut terbentang serta melaju di jalan berdebu, kami tetap saja di Sumatera Utara.

Ya, wartawan Sumut Pos, Ramadhan Batubara, mendapat kesempatan mengikuti rombongan Haji Anif n
ke beberapa kawasan di Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal itu, 29 Juli hingga 7 Agustus. Berangkat dari Bandara Polonia, pukul 10.00 pagi Jumat (29/7) Merpati pun terbang tinggi melewati gugusan Bukit Barisan. Lepas lima puluh lima menit, pesawat mendarat di Bandara Ferdinand Lumbantobing, Pinang Sori, Tapanuli Tengah. Jalur darat pun setelah itu ditempuh agar tiba di Sibolga. Dari kota ini rombongan istirahat sejenak sembari makan siang di Rumah Makan Pak Nas di Jalan Brigjen Katamso Sibolga.

Saat makan, pandangan Haji Anif berulang kali mengarah ke semua rombongan yang terdiri dua belas orang dari Medan plus beberapa orang yang menjemput di Pinang Sori. Dua belas orang dari Medan tak lain adalah tim dari Haji Anif yang akan membagi sedekah dan zakat di Kecamatan Muara Batang Gadis jelang Ramadan. “Ayo makan yang banyak, perjalanan kita masih jauh,” ucapnya sembari mengoyak ikan bakar di hadapannya, mencelupkannya ke sambal merah, dan langsung menyantap. Mantap.

Benar saja, setelah itu rombongan menaiki kapal cepat KM Anugerah menuju Madina. Menurut keterangan sang kapten kapal, perjalanan akan ditempuh kurang lebih dua jam. Jika pakai boat, bisa sampai lima jam.

Dan, Sibolga ditinggalkan. Semakin lama semakin jauh. Lalu, hilang. Pemandangan kini hanya terpaku pada laut luas dan pulau-pulau kecil. Sesekali terlihat perahu nelayan melaju pelan. Mereka melambaikan tangan sambil tertawa lebar. KM Anugerah terus melaju dengan cepat. Sial, telepon genggam mulai rawan sinyal.

Selang dua jam, Desa Tabuyung yang dituju terlihat. Kubah masjid berwarna hijau langsung mengucapkan selamat datang. Barisan kapal nelayan tertata di pinggir dermaga. KM Anugerah mulai mengurangi kecepatan, perlahan memasuki muara, menuju dermaga. Kapal merapat. Haji Anif mendarat. Warga dan pejabat kecamatan sudah menunggu, terlihat juga anggota dari Polsek Muara Batang Gadis, Koramil, tokoh masyarakat setempat, dan sebagainya.

Usai mendapat ramah tamah penyambutan, Haji Anif langsung masuk mobil jemputan yang sudah menunggu. Tiga mobil langsung meluncur membelah barisan kelapa sawit milik PT Anugerah Langkat Makmur (PT ALAM), lintasan bergelombang dan belum diaspal. Debu berkeliaran kemana suka. Rombongan tiba di rumah milik Haji Anif; sebuah rumah panggung di antara pantai dan Jalan Lintas Pantai Barat Sumatera, tepatnya di Desa Salasiak. Sebuah rumah yang oleh warga sekitar disebut sebagai Rumah Gadang.

Selang sehari, satu karung beras seberat 10 kilogram, dua kilo minyak goreng, dua kilo gula, satu kotak mie instan, dan satu botol sirup dibagikan. Tua-muda di lima desa di Muara Batang Gadis memegang kupon, mengantre giliran menerima sedekah sembako dari Haji Anif.

Begitulah suasana yang tergambar pada hari pertama pembagian sembako. Sejak pagi tim pembagi serta Sumut Pos berkonsentrasi di sebuah madrasah yang ada di Desa Tabuyung. Desa ini sebelumnya sempat diluluhlantakan oleh dua tsunami. Kali pertama saat tsunami Aceh 2004 lalu, kejadian ini merenggut satu nyawa warga dan membuat arah sekian ratus rumah berubah arah. Yang terdahsyat adalah pada tsunami Nias 2005 lalu, selain menewaskan satu orang warga juga, rumah-rumah di bibir pantai hancur. Tercatat ratusan rumah tidak bisa dihuni lagi.

“Ya, saat tsunami itu kami lari ke bukit, rumah hancur. Saat (tsunami) Nias, kami sampai dua minggu bertahan di bukit,” terang Budi Chaniago (40) sembari mengatakan bantuan pertama kali datang ke lokasi pengungsi adalah dari Haji Anif. “Bapak (Haji Anif, Red) cukup perhatian pada kami. Lihat saja sekarang,” sambungnya.
Menariknya, lokasi tempat pembagian sembako adalah sekolah milik Haji Anif. Madrasah ini diresmikan oleh wakil presiden saat itu, Hamzah Haz. “Terus terang, kami bangga ketika Pak Anif peduli pada kami,” timpal H Sitompul warga yang lain.

Di Tabuyung, sembako yang disedekahkan berjumlah 699 paket. Selain Tabuyung, di Singkuang diberikan 497 paket, di Rantau Panjang 300 paket, Batu Mundom 82 paket, dan Sikapas 40 paket. “Saya bahagia jika apa yang saya lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita hidup dan berusaha di sini bersama masyarakat, jadi selagi mampu saya akan berbuat maksimal untuk khalayak,” ungkap Haji Anif.

Selain sedekah, kakek 25 cucu ini juga memberikan zakat kepada setiap kepala keluar (KK) di kawasan tersebut. Namun, ketika ditanya soal jumlah angka yang digelontorkannya, ayah dari sembilan anak ini menghindar. “Sudahlah, hal itu bukan untuk digemborkan,” elaknya.

Ternyata, pembagian sembako tidak bisa diselesaikan dalam sehari. Tercatat, sejak Sabtu (30/7) hingga Rabu (3/8), tim pembagi harus bolak-balik ke lokasi pembagian. Meski tidak mengikuti semua kegiatan pembagian, Haji Anif yang kini telah berusia tujuh puluh tahun lebih itu juga diperas keringat dan konsentrasinya. Bagaimana tidak, setiap hari, tamu yang berkunjung ke kediamannya di Salasiak nyaris tak berhenti. Di beberapa hari, Haji Anif malah harus menerima tamu hingga pukul dua belas malam. Tamu yang hadir pun beragam, terlihat pejabat kecamatan, tokoh masyarakat, hingga warga biasa seakan tak henti mengisi ruang tamu di rumah tersebut. “Banyak hal yang bisa dibicarakan dengan Bapak. Karena itu, warga selalu mengambil kesempatan ketika Bapak datang,” ungkap Haji Ishak Buyung, tokoh masyarakat Tabuyung.

Haji Ishak pun bercerita kalau kehadiran Haji Anif patut disyukuri. Pasalnya, sebagai pengusaha yang lahan usahanya ada di kawasan mereka, Haji Anif cenderung sangat peduli dengan warga sekitar. “Tidak seperti pengusaha sebelumnya. Tabuyung sama sekali tak tersentuh. Lihat Bapak, setiap tahun dia melakukan ini (sedekah dan zakat),” tambah Haji Ishak.

Kehadiran Haji Anif, tambah Haji Ishak, cukup membantu perkembangan kualitas warga Tabuyung. Pasalnya, selain mendirikan beberapa sekolah (dari madrasah hingga Sekolah Menengah Kejuruan), pembangunan rumah sakit (sedang proses), masjid raya (sedang proses), Haji Anif pun tidak segan memberikan beasiswa bagi warga  kurang mampu dan berprestasi untuk sekolah ke luar daerah seperti ke Medan.

“Dulu, desa ini memang sangat terpencil. Satu-satunya jalur kemari hanya lewat laut,” ungkap Sugeng (50).
Sugeng yang mantan pekerja Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Kayu Lapis Indonesia dan kini bergabung dengan PT Alam ini menceritakan kalau perubahan memang cukup nyata. “Jangankan sinyal handphone, listrik saja dulu belum masuk,” ketus lelaki asal Karang Anyar, Jawa Tengah, itu. (bersambung)

Gerak Aktif Haji Anif di Madina (1)

Perjalanan ini sepertinya begitu lengkap. Bagaimana tidak, perjalanan ini harus dilalui dengan penerbangan selama lima puluh lima menit, menaiki kapal motor selama dua jam serta ditambah total perjalanan darat satu jam lebih. Menariknya, setelah terbang dan mengarungi laut terbentang serta melaju di jalan berdebu, kami tetap saja di Sumatera Utara.

Ya, wartawan Sumut Pos, Ramadhan Batubara, mendapat kesempatan mengikuti rombongan Haji Anif n
ke beberapa kawasan di Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal itu, 29 Juli hingga 7 Agustus. Berangkat dari Bandara Polonia, pukul 10.00 pagi Jumat (29/7) Merpati pun terbang tinggi melewati gugusan Bukit Barisan. Lepas lima puluh lima menit, pesawat mendarat di Bandara Ferdinand Lumbantobing, Pinang Sori, Tapanuli Tengah. Jalur darat pun setelah itu ditempuh agar tiba di Sibolga. Dari kota ini rombongan istirahat sejenak sembari makan siang di Rumah Makan Pak Nas di Jalan Brigjen Katamso Sibolga.

Saat makan, pandangan Haji Anif berulang kali mengarah ke semua rombongan yang terdiri dua belas orang dari Medan plus beberapa orang yang menjemput di Pinang Sori. Dua belas orang dari Medan tak lain adalah tim dari Haji Anif yang akan membagi sedekah dan zakat di Kecamatan Muara Batang Gadis jelang Ramadan. “Ayo makan yang banyak, perjalanan kita masih jauh,” ucapnya sembari mengoyak ikan bakar di hadapannya, mencelupkannya ke sambal merah, dan langsung menyantap. Mantap.

Benar saja, setelah itu rombongan menaiki kapal cepat KM Anugerah menuju Madina. Menurut keterangan sang kapten kapal, perjalanan akan ditempuh kurang lebih dua jam. Jika pakai boat, bisa sampai lima jam.

Dan, Sibolga ditinggalkan. Semakin lama semakin jauh. Lalu, hilang. Pemandangan kini hanya terpaku pada laut luas dan pulau-pulau kecil. Sesekali terlihat perahu nelayan melaju pelan. Mereka melambaikan tangan sambil tertawa lebar. KM Anugerah terus melaju dengan cepat. Sial, telepon genggam mulai rawan sinyal.

Selang dua jam, Desa Tabuyung yang dituju terlihat. Kubah masjid berwarna hijau langsung mengucapkan selamat datang. Barisan kapal nelayan tertata di pinggir dermaga. KM Anugerah mulai mengurangi kecepatan, perlahan memasuki muara, menuju dermaga. Kapal merapat. Haji Anif mendarat. Warga dan pejabat kecamatan sudah menunggu, terlihat juga anggota dari Polsek Muara Batang Gadis, Koramil, tokoh masyarakat setempat, dan sebagainya.

Usai mendapat ramah tamah penyambutan, Haji Anif langsung masuk mobil jemputan yang sudah menunggu. Tiga mobil langsung meluncur membelah barisan kelapa sawit milik PT Anugerah Langkat Makmur (PT ALAM), lintasan bergelombang dan belum diaspal. Debu berkeliaran kemana suka. Rombongan tiba di rumah milik Haji Anif; sebuah rumah panggung di antara pantai dan Jalan Lintas Pantai Barat Sumatera, tepatnya di Desa Salasiak. Sebuah rumah yang oleh warga sekitar disebut sebagai Rumah Gadang.

Selang sehari, satu karung beras seberat 10 kilogram, dua kilo minyak goreng, dua kilo gula, satu kotak mie instan, dan satu botol sirup dibagikan. Tua-muda di lima desa di Muara Batang Gadis memegang kupon, mengantre giliran menerima sedekah sembako dari Haji Anif.

Begitulah suasana yang tergambar pada hari pertama pembagian sembako. Sejak pagi tim pembagi serta Sumut Pos berkonsentrasi di sebuah madrasah yang ada di Desa Tabuyung. Desa ini sebelumnya sempat diluluhlantakan oleh dua tsunami. Kali pertama saat tsunami Aceh 2004 lalu, kejadian ini merenggut satu nyawa warga dan membuat arah sekian ratus rumah berubah arah. Yang terdahsyat adalah pada tsunami Nias 2005 lalu, selain menewaskan satu orang warga juga, rumah-rumah di bibir pantai hancur. Tercatat ratusan rumah tidak bisa dihuni lagi.

“Ya, saat tsunami itu kami lari ke bukit, rumah hancur. Saat (tsunami) Nias, kami sampai dua minggu bertahan di bukit,” terang Budi Chaniago (40) sembari mengatakan bantuan pertama kali datang ke lokasi pengungsi adalah dari Haji Anif. “Bapak (Haji Anif, Red) cukup perhatian pada kami. Lihat saja sekarang,” sambungnya.
Menariknya, lokasi tempat pembagian sembako adalah sekolah milik Haji Anif. Madrasah ini diresmikan oleh wakil presiden saat itu, Hamzah Haz. “Terus terang, kami bangga ketika Pak Anif peduli pada kami,” timpal H Sitompul warga yang lain.

Di Tabuyung, sembako yang disedekahkan berjumlah 699 paket. Selain Tabuyung, di Singkuang diberikan 497 paket, di Rantau Panjang 300 paket, Batu Mundom 82 paket, dan Sikapas 40 paket. “Saya bahagia jika apa yang saya lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita hidup dan berusaha di sini bersama masyarakat, jadi selagi mampu saya akan berbuat maksimal untuk khalayak,” ungkap Haji Anif.

Selain sedekah, kakek 25 cucu ini juga memberikan zakat kepada setiap kepala keluar (KK) di kawasan tersebut. Namun, ketika ditanya soal jumlah angka yang digelontorkannya, ayah dari sembilan anak ini menghindar. “Sudahlah, hal itu bukan untuk digemborkan,” elaknya.

Ternyata, pembagian sembako tidak bisa diselesaikan dalam sehari. Tercatat, sejak Sabtu (30/7) hingga Rabu (3/8), tim pembagi harus bolak-balik ke lokasi pembagian. Meski tidak mengikuti semua kegiatan pembagian, Haji Anif yang kini telah berusia tujuh puluh tahun lebih itu juga diperas keringat dan konsentrasinya. Bagaimana tidak, setiap hari, tamu yang berkunjung ke kediamannya di Salasiak nyaris tak berhenti. Di beberapa hari, Haji Anif malah harus menerima tamu hingga pukul dua belas malam. Tamu yang hadir pun beragam, terlihat pejabat kecamatan, tokoh masyarakat, hingga warga biasa seakan tak henti mengisi ruang tamu di rumah tersebut. “Banyak hal yang bisa dibicarakan dengan Bapak. Karena itu, warga selalu mengambil kesempatan ketika Bapak datang,” ungkap Haji Ishak Buyung, tokoh masyarakat Tabuyung.

Haji Ishak pun bercerita kalau kehadiran Haji Anif patut disyukuri. Pasalnya, sebagai pengusaha yang lahan usahanya ada di kawasan mereka, Haji Anif cenderung sangat peduli dengan warga sekitar. “Tidak seperti pengusaha sebelumnya. Tabuyung sama sekali tak tersentuh. Lihat Bapak, setiap tahun dia melakukan ini (sedekah dan zakat),” tambah Haji Ishak.

Kehadiran Haji Anif, tambah Haji Ishak, cukup membantu perkembangan kualitas warga Tabuyung. Pasalnya, selain mendirikan beberapa sekolah (dari madrasah hingga Sekolah Menengah Kejuruan), pembangunan rumah sakit (sedang proses), masjid raya (sedang proses), Haji Anif pun tidak segan memberikan beasiswa bagi warga  kurang mampu dan berprestasi untuk sekolah ke luar daerah seperti ke Medan.

“Dulu, desa ini memang sangat terpencil. Satu-satunya jalur kemari hanya lewat laut,” ungkap Sugeng (50).
Sugeng yang mantan pekerja Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Kayu Lapis Indonesia dan kini bergabung dengan PT Alam ini menceritakan kalau perubahan memang cukup nyata. “Jangankan sinyal handphone, listrik saja dulu belum masuk,” ketus lelaki asal Karang Anyar, Jawa Tengah, itu. (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/