Pukat Harimau Masih Hantui Nelayan Tanjungbalai dan Batubara
MEDAN- Para nelayan di Kabupaten Batubara, Kota Lima Puluh dan Tanjungbalai, masih dihantui dengan keberadaan nelayan-nelayan yang menggunakan pukat harimau atau jaring trawl. Dampaknya, pendapatan para nelayan dari melaut kian hari kian menurun.
Itu dikatakan anggota DPRD Sumut dari Daerah Pemilihan (Dapil) VI, Syamsul Hilal, kepada wartawan, Senin (8/10) Karena itu, pada akhirnya mengakibatkan pendapatan para nelayan. Dan kenyataan itu juga, membuat para istri nelayan di daerah tersebut harus turun tangan mencari tambahan lebih, sebagai pencari kerang dan kepah yang harus bekerja sejak pukul 02.00 WIB dini hari.
โItu terpaksa mereka lakukan, untuk membantu para suami mereka untuk menutupi kebutuhan sehari-hari,โ ungkap Syamsul Hilal. Informasi yang diterima politisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) DPRD Sumut ini, keberadaan pukat harimau dibacking oknum aparat yang bekerja di Polair (Polisi Air) dan dari pihak TNI. โOknum-oknum TNI dan oknum yang bertugas di kelautan, juga membackingi pukat harimau,โ ujarnya. Dikatakan Syamsul, pembackingan yang dilakukan oknum aparat tersebut, juga dikarenakan minimnya pendapatan dari aparat tersebut. Untuk itu, lanjutnya, pihaknya akan membawa temuan hasil reses ini dan akan disampaikan di rapat paripurna.
โIni bertujuan agar Pemprovsu dapat menindaklanjuti temuan dari dapil VI. Temuan kami jangan hanya jadi kertas yang dimasukkan ke tong sampah,โ ujarnya.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Serikat Nelayan Sumut, Safrizal yang dimintai tanggapannya oleh wartawan, mengatakan pihaknya sudah melakukan beberapa aksi ke Bupati, DPRD dan pihak terkait lainnya. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada realisasi yang diterima oleh para nelayan. โSaat melakukan aksi, mereka hanya meng-iyakan saja,โ katanya Safrizal, tidak meyakini Pemkab Batubara bersedia menindaklanjuti masalah Pukat Harimau itu.
Diceritakannya, persoalan pukat harimau ini sempat mengakibatkan pertumpahan darah pada sekira tahun 2001 lalu, dimana sembilan orang meninggal dunia karena konflik yang terjadi. Dijelaskannya, Keputusan Presiden (Kepres) No.39 Tahun 1980, tentang pelaksanaan pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar dan dalam rangka mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh para nelayan tradisional serta untuk menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial.
Maka perlu dilakukan penghapusan kegiatan penangkapan ikan, yang menggunakan jaring trawl atau pukat harimau.
โPeraturan ini masih berlaku, namun peraturan tersebut tidak pernah dibelakukan,โ terangnya. Untuk itu, ucapnya, diharapkan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) bisa mengambil tindakan guna merealisasikan keputusan presiden (Keppres) No 39 Tahun 1980 tersebut. โKalau tidak, masyarakat nelayan tradisional tidak akan percaya lagi sama Gubsu,โ ujarnya.
Ditambahkannya, kalaupun pukat harimau dan pukat-pukat yang lain tidak bisa dihapuskan, paling tidak harus ada pembagian sesuai zona yang terdapat dalam peraturan yang ada, yang menyatakan, dua mil dari pinggir pantai itu dikelola atau untuk wilayah kabupaten dan empat mil untuk provinsi. โDua mil itu harus benar-benar diupayakan oleh pihak kabupaten dan empat mil dari pesisir pantai harus benar-benar dikelola provinsi,โ harapnya. Ditegaskannya, diperlukan penetapan zona bagi para nelayan. Dengan begitu, bisa meminimalisir persengketaan antara nelayan tradisional dengan nelayan yang menggunakan Pukat Harimau. Safrizal, selaku Koordinator Kelompok nelayan Tradisional Batubara, membenarkan para istri nelayan ikut membantu suami mereka, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. โIstri-istri nelayan itu harus rela bangun antara pukul 02.00 WIB dan pukul 03.00 WIB untuk mencari kerang dan kepah. Dari situ, dapatlah sekitar Rp25 ribu per hari. Meski kecil, tapi lumayan untuk membantu perekonomian keluarga mereka,โ ujarnya.(ari)