30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Berawal Dari Sakit Cacar

Rusman Dian Syahputra, Sekretaris DPD Pertuni Sumut

Tujuh belas tahun sudah, Rusman Dian Syahputra, mengabdi di Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumatera Utara. Pria kelahiran Padang Kabupaten Pesisir Selatan Kota Painan 42 tahun silam ini tidak pernah surut dalam memperjuangkan hak-hak penyandang cacat tunanetra.

Farida Noris Ritonga, Medan

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, Rusman yang tidak dapat melihat sejak usia 2 tahun ini, rela menjadi tukang pijat keliling. Saat ditemui di Sekretariat DPD Pertuni Sumut Jalan Sampul No 30, Rusman tak ragu menceritakan perjalanan hidupnya.

Tak ada kata menyerah dan berputus asa menjalani hidup. Kekurangan bukan menjadi penghalang dalam mendapatkan pendidikan dan terus berkarya. Meski banyak penghalang yang dihadapi, Rusman tidak malu dalam menyandang status sebagai tunanetra.

Penyakit cacar air, yang dideritanya sejak usia dua tahun, mengakibatkan penglihatannya tidak dapat berfungsi selayaknya manusia normal.

“Saya tidak dapat melihat bukan karena dari lahir memang begini.

Tapi saya menderita sakit cacar air. Saat itu, cacar air adalah penyakit yang menakutkan karena bisa menyebabkan kematian.

Selain belum ditemukannya obat untuk penyakit cacar air, di kampung saya juga sangat susah mencari medis yang dapat mengobati penyakit itu. Entah bagaimana, setelah sakit cacar air itu, saya jadi tidak dapat melihat lagi,” kata Rusman.

Meskipun tidak dapat melihat, Rusman tetap mengenyam pendidikan selayaknya anak seusianya. Huruf Braile pun dipelajari dengan tekun hingga dirinya menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Namun, keterbatasan dana untuk melanjutkan sekolah sempat membuatnya berhenti ditengah jalan. Lalu, Rusman memilih untuk bekerja dengan cara menjadi tukang pijat keliling. Dirinya pun memulai perjalanan ke Kota Tebing Tinggi seorang diri untuk mengadu nasib. Rusman sempat mengikuti pendidikan SRPCN (Sesana Rehabilitasi Pembinaan Cacat Netra) Bina Guna.

“Selama bersekolah, perasaan sedih dan rendah diri pernah terbersit. Kenapa oranglain bisa melihat dan memandang ciptaan Tuhan, tapi saya tidak berkesempatan memandang dunia ini. Tapi mau bagaimana lagi, saya harus bangkit meskipun menjadi tukang pijat. Orangtua terutama ibu sempat nggak ngijinkan saya pergi karena itu tadi, saya ini kan cacat nggak bisa lihat. Tapi karena saya bisa menyakinkan orangtua, akhirnya mereka luluh juga.

Saya berpindah-pindah kota seorang diri, dengan modal dan dapat bertahan hidup dari penghasilah tukang pijat. Setelah mendapat sertifikat dari SRPCN, saya pindah ke Siantar. Saya tinggal ditempat tukang pijat keliling juga, dan kalau bepergian, saya bawa tongkat dan bertanya sana-sini,” urai Rusman.

Pada 1992, Rusman mencoba mengadu nasib ke Jakarta dengan menaiki bus, namun persaingan hidup dan kejamnya Ibukota membuatnya merantau ke Kota Medan. Pada 1994, merupakan awal mula dirinya bergabung di DPD Pertuni Sumut yang merupakan wadah untuk menangani penderita tunanetra. Lalu, pada 2002, Rusman menikahi seorang Darma Yulis yang setia mendampinginya hingga kini. Untuk menikahi Darma Yulis, bukan semudah membalikkan telapak tangan.

Kekurangan yang dimilikinya, sempat menjadi alasan pihak orangtua dari perempuan untuk menerimanya dengan mudah. Namun, akhirnya orangtua istrinya sadar, kebahagiaan dalam rumah tangga bukan dinilai dari fisik dan apa yang dimilikinya saat itu. “Istri saya menyayangi dan mendampingi saya. Bahkan kami sudah dikaruniai seorang anak yang berusia 10 tahun. Setelah menikah, saya tetap bekerja sebagai tukang pijat. Meski penghasilan pas-pasan, tapi anak saya tetap harus bersekolah dan uang hasil kerja saya simpan untuk biaya pendidikan anak saya,” jelasnya.

Pada 27 April 2010, berdasarkan hasil Musyawarah Daerah, Rusman diangkat sebagai Sekretaris DPD Pertuni Sumut. Namun, perhatian pemerintah pada organisasi penyandang cacat tunanetra ini masih sangat minim. Organisasi yang beranggotakan 685 orang penderita tunanetra se-Sumut itu, baru mendapat bantuan sebesar Rp. 50 juta pertahunnya untuk biaya operasional DPD hingga DPC dari APBD pada dua tahun belakangan ini. Pihaknya bersama pengurus Pertuni yang lain, kerap mengadakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas para anggota tunanetra.

“Bantuan itu kita salurkan DPC Pertuni yang ada di 21 Kabupaten/Kota di Sumut. Kita mengadakan pelatihan membaca Al-Quran Braile pada penyandang tunanetra, pelatihan komputer, dan banyak lagi. Meskipun, bantuannya sangat minim, tapi kita berusaha mencari donatur untuk mengadakan pelatihan ini. Saya bersama pengurus Pertuni yang lain berusaha memberikan yang terbaik bagi penyandang cacat tunanetra agar mereka bisa berkarya tanpa meminta-minta,” katanya.

Setelah menjadi pengurus di Pertuni, pekerjaan sebagai tukang pijat keliling tetap digelutinya. Namun besar harapan, para penderita cacat tunanetra dapat memperoleh hak nya untuk bersekolah dan hidup yang layak sebagaimana manusia normal.

“Masih banyak penyandang tunanetra yang belum bergabung di Pertuni. Padahal, disini mereka dibimbing supaya memiliki keterampilan tanpa meminta-minta. Harapan saya, jangan jadikan kekurangan sebagai penghalang untuk berkreatifitas. Saya harap pemerintah memperhatikan para penyandang tunanetra karena banyak dari mereka yang juga memiliki kemampuan yang bisa dibanggakan,” ucap Rusman. (mag-11)

Rusman Dian Syahputra, Sekretaris DPD Pertuni Sumut

Tujuh belas tahun sudah, Rusman Dian Syahputra, mengabdi di Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumatera Utara. Pria kelahiran Padang Kabupaten Pesisir Selatan Kota Painan 42 tahun silam ini tidak pernah surut dalam memperjuangkan hak-hak penyandang cacat tunanetra.

Farida Noris Ritonga, Medan

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, Rusman yang tidak dapat melihat sejak usia 2 tahun ini, rela menjadi tukang pijat keliling. Saat ditemui di Sekretariat DPD Pertuni Sumut Jalan Sampul No 30, Rusman tak ragu menceritakan perjalanan hidupnya.

Tak ada kata menyerah dan berputus asa menjalani hidup. Kekurangan bukan menjadi penghalang dalam mendapatkan pendidikan dan terus berkarya. Meski banyak penghalang yang dihadapi, Rusman tidak malu dalam menyandang status sebagai tunanetra.

Penyakit cacar air, yang dideritanya sejak usia dua tahun, mengakibatkan penglihatannya tidak dapat berfungsi selayaknya manusia normal.

“Saya tidak dapat melihat bukan karena dari lahir memang begini.

Tapi saya menderita sakit cacar air. Saat itu, cacar air adalah penyakit yang menakutkan karena bisa menyebabkan kematian.

Selain belum ditemukannya obat untuk penyakit cacar air, di kampung saya juga sangat susah mencari medis yang dapat mengobati penyakit itu. Entah bagaimana, setelah sakit cacar air itu, saya jadi tidak dapat melihat lagi,” kata Rusman.

Meskipun tidak dapat melihat, Rusman tetap mengenyam pendidikan selayaknya anak seusianya. Huruf Braile pun dipelajari dengan tekun hingga dirinya menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Namun, keterbatasan dana untuk melanjutkan sekolah sempat membuatnya berhenti ditengah jalan. Lalu, Rusman memilih untuk bekerja dengan cara menjadi tukang pijat keliling. Dirinya pun memulai perjalanan ke Kota Tebing Tinggi seorang diri untuk mengadu nasib. Rusman sempat mengikuti pendidikan SRPCN (Sesana Rehabilitasi Pembinaan Cacat Netra) Bina Guna.

“Selama bersekolah, perasaan sedih dan rendah diri pernah terbersit. Kenapa oranglain bisa melihat dan memandang ciptaan Tuhan, tapi saya tidak berkesempatan memandang dunia ini. Tapi mau bagaimana lagi, saya harus bangkit meskipun menjadi tukang pijat. Orangtua terutama ibu sempat nggak ngijinkan saya pergi karena itu tadi, saya ini kan cacat nggak bisa lihat. Tapi karena saya bisa menyakinkan orangtua, akhirnya mereka luluh juga.

Saya berpindah-pindah kota seorang diri, dengan modal dan dapat bertahan hidup dari penghasilah tukang pijat. Setelah mendapat sertifikat dari SRPCN, saya pindah ke Siantar. Saya tinggal ditempat tukang pijat keliling juga, dan kalau bepergian, saya bawa tongkat dan bertanya sana-sini,” urai Rusman.

Pada 1992, Rusman mencoba mengadu nasib ke Jakarta dengan menaiki bus, namun persaingan hidup dan kejamnya Ibukota membuatnya merantau ke Kota Medan. Pada 1994, merupakan awal mula dirinya bergabung di DPD Pertuni Sumut yang merupakan wadah untuk menangani penderita tunanetra. Lalu, pada 2002, Rusman menikahi seorang Darma Yulis yang setia mendampinginya hingga kini. Untuk menikahi Darma Yulis, bukan semudah membalikkan telapak tangan.

Kekurangan yang dimilikinya, sempat menjadi alasan pihak orangtua dari perempuan untuk menerimanya dengan mudah. Namun, akhirnya orangtua istrinya sadar, kebahagiaan dalam rumah tangga bukan dinilai dari fisik dan apa yang dimilikinya saat itu. “Istri saya menyayangi dan mendampingi saya. Bahkan kami sudah dikaruniai seorang anak yang berusia 10 tahun. Setelah menikah, saya tetap bekerja sebagai tukang pijat. Meski penghasilan pas-pasan, tapi anak saya tetap harus bersekolah dan uang hasil kerja saya simpan untuk biaya pendidikan anak saya,” jelasnya.

Pada 27 April 2010, berdasarkan hasil Musyawarah Daerah, Rusman diangkat sebagai Sekretaris DPD Pertuni Sumut. Namun, perhatian pemerintah pada organisasi penyandang cacat tunanetra ini masih sangat minim. Organisasi yang beranggotakan 685 orang penderita tunanetra se-Sumut itu, baru mendapat bantuan sebesar Rp. 50 juta pertahunnya untuk biaya operasional DPD hingga DPC dari APBD pada dua tahun belakangan ini. Pihaknya bersama pengurus Pertuni yang lain, kerap mengadakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas para anggota tunanetra.

“Bantuan itu kita salurkan DPC Pertuni yang ada di 21 Kabupaten/Kota di Sumut. Kita mengadakan pelatihan membaca Al-Quran Braile pada penyandang tunanetra, pelatihan komputer, dan banyak lagi. Meskipun, bantuannya sangat minim, tapi kita berusaha mencari donatur untuk mengadakan pelatihan ini. Saya bersama pengurus Pertuni yang lain berusaha memberikan yang terbaik bagi penyandang cacat tunanetra agar mereka bisa berkarya tanpa meminta-minta,” katanya.

Setelah menjadi pengurus di Pertuni, pekerjaan sebagai tukang pijat keliling tetap digelutinya. Namun besar harapan, para penderita cacat tunanetra dapat memperoleh hak nya untuk bersekolah dan hidup yang layak sebagaimana manusia normal.

“Masih banyak penyandang tunanetra yang belum bergabung di Pertuni. Padahal, disini mereka dibimbing supaya memiliki keterampilan tanpa meminta-minta. Harapan saya, jangan jadikan kekurangan sebagai penghalang untuk berkreatifitas. Saya harap pemerintah memperhatikan para penyandang tunanetra karena banyak dari mereka yang juga memiliki kemampuan yang bisa dibanggakan,” ucap Rusman. (mag-11)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/