32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Sudah Bodong, Tunggak Pajak Lagi

Tim Olah TKP meninjau kondisi Alfamart pasca dimaling.
Salahsatu Alfamart di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Selain banyak yang tak memiliki izin, ternyata minimarket yang menjamur di Kota Medan juga menunggak pajak bumi bangunan (PBB). Hal ini diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Bagi Hasil Pendapatan (BHP) Dispenda Kota Medan, Zakaria S.Kom, Senin (9/11).

“Umumnya Alfamart dan Alfamidi menunggak PBB dalam lima tahun terakhir,” ujarnya. Menurut Zakaria lagi, dari 181 yang terdaftar dari pajak plang di Dispenda, tidak semua gerai toko modern ini memiliki wajib pajak. Bahkan, hanya sedikit saja yang terdaftar WP PBB.

“Sangat sedikitlah. Dari 181 terdaftar plang, 143 Alfamart hanya 29 WP PBB atas nama Hartono Kurniawan, BA, 29 Alfamidi hanya 8 WP atas nama Aris terdaftar PBB dan 9 Indomaret tidak ada satu pun WP atas nama Bintang Hamongan SP yang membayar PBB,” tuturnya.

Ditemui di lokasi terpisah, Plt Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan, Qamarul Fatah terkesan ‘membela’ pengusaha gerai toko modern yang dapat mematikan ekonomi kerakyatan itu. Qamarul berdalih selama ini ada survei atau penelitian mengenai dampak keberadaan toko modern terhadap kehidupan ekonomi toko tradisional. Sehingga ia berpendapat, matinya usaha toko tradisional seperti kelontong atau kedai sampah bukan semata-mata dikarenakan keberadaan toko modern.

“Ada juga toko modern yang baru beroperasi dua tahun, tiba-tiba udah tutup. Itu ada di daerah Amaliun sana. Harus ada survei atau penelitian untuk membenarkan pernyataan itu. Harus diketahui penyebabnya apa. Apakah karena kelesuan perekonomian, daya beli masyarakat, atau karena lokasinya. Kalau susah tahu jawabannya, tentu akan kita atur. Apakah lokasinya, atau memang tren masyarakat saat ini suka belanjanya di tempat uang nyaman seperti toko modern,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (9/11).

Jika bicara harga, perbandingannya terlihat jelas. Toko modern jelas menjual barang dengan harga yang lebih mahal dibanding toko tradisional. Sehingga, bidikan pasarnya sudah sangat terlihat jelas. Masing-masing sudah memiliki pangsa pasar sendiri. Lalu, Qamarul juga menjelaskan adanya seni berbelanja di toko tradisional yang sampai saat ini belum sirna. Seni yang dimaksud adalah seni tawar-menawar. Sebagian orang masih begitu mengelu-elukan betapa nikmatnya mendapatkan barang dari hasil tawar-menawar.

“Apakah seni itu sudah hilang? Kan belum. Betapa gembiranya pembeli yang berhasil menawar barang sampai harga yang diinginkannya. Di toko tradisional lah tempatnya. Misal, wak sekilo gula kan harganya Rp15ribu, kasih aku Rp14 ribu ya wak. Sama juga kayak toko modern. Harganya mana bisa ditawar. Malah lebih mahal. Jadi enggak semua orang mau ke toko modern. Sampai sini jelas kan kalau masing-masing udah ada target pasarnya,” ujarnya.

Jika harus melakukan pembinaan kepada toko-toko tradisional agar berganti rupa layaknya toko modern, Qamarul mengatakan hal itu sulit. Sulit untuk pemilik toko, karena harus mengeluarkan biaya besar untuk perombakannya. Untuk itu, pemilik toko memerlukan waktu.

Tim Olah TKP meninjau kondisi Alfamart pasca dimaling.
Salahsatu Alfamart di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Selain banyak yang tak memiliki izin, ternyata minimarket yang menjamur di Kota Medan juga menunggak pajak bumi bangunan (PBB). Hal ini diungkapkan Kepala Bidang (Kabid) Bagi Hasil Pendapatan (BHP) Dispenda Kota Medan, Zakaria S.Kom, Senin (9/11).

“Umumnya Alfamart dan Alfamidi menunggak PBB dalam lima tahun terakhir,” ujarnya. Menurut Zakaria lagi, dari 181 yang terdaftar dari pajak plang di Dispenda, tidak semua gerai toko modern ini memiliki wajib pajak. Bahkan, hanya sedikit saja yang terdaftar WP PBB.

“Sangat sedikitlah. Dari 181 terdaftar plang, 143 Alfamart hanya 29 WP PBB atas nama Hartono Kurniawan, BA, 29 Alfamidi hanya 8 WP atas nama Aris terdaftar PBB dan 9 Indomaret tidak ada satu pun WP atas nama Bintang Hamongan SP yang membayar PBB,” tuturnya.

Ditemui di lokasi terpisah, Plt Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan, Qamarul Fatah terkesan ‘membela’ pengusaha gerai toko modern yang dapat mematikan ekonomi kerakyatan itu. Qamarul berdalih selama ini ada survei atau penelitian mengenai dampak keberadaan toko modern terhadap kehidupan ekonomi toko tradisional. Sehingga ia berpendapat, matinya usaha toko tradisional seperti kelontong atau kedai sampah bukan semata-mata dikarenakan keberadaan toko modern.

“Ada juga toko modern yang baru beroperasi dua tahun, tiba-tiba udah tutup. Itu ada di daerah Amaliun sana. Harus ada survei atau penelitian untuk membenarkan pernyataan itu. Harus diketahui penyebabnya apa. Apakah karena kelesuan perekonomian, daya beli masyarakat, atau karena lokasinya. Kalau susah tahu jawabannya, tentu akan kita atur. Apakah lokasinya, atau memang tren masyarakat saat ini suka belanjanya di tempat uang nyaman seperti toko modern,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (9/11).

Jika bicara harga, perbandingannya terlihat jelas. Toko modern jelas menjual barang dengan harga yang lebih mahal dibanding toko tradisional. Sehingga, bidikan pasarnya sudah sangat terlihat jelas. Masing-masing sudah memiliki pangsa pasar sendiri. Lalu, Qamarul juga menjelaskan adanya seni berbelanja di toko tradisional yang sampai saat ini belum sirna. Seni yang dimaksud adalah seni tawar-menawar. Sebagian orang masih begitu mengelu-elukan betapa nikmatnya mendapatkan barang dari hasil tawar-menawar.

“Apakah seni itu sudah hilang? Kan belum. Betapa gembiranya pembeli yang berhasil menawar barang sampai harga yang diinginkannya. Di toko tradisional lah tempatnya. Misal, wak sekilo gula kan harganya Rp15ribu, kasih aku Rp14 ribu ya wak. Sama juga kayak toko modern. Harganya mana bisa ditawar. Malah lebih mahal. Jadi enggak semua orang mau ke toko modern. Sampai sini jelas kan kalau masing-masing udah ada target pasarnya,” ujarnya.

Jika harus melakukan pembinaan kepada toko-toko tradisional agar berganti rupa layaknya toko modern, Qamarul mengatakan hal itu sulit. Sulit untuk pemilik toko, karena harus mengeluarkan biaya besar untuk perombakannya. Untuk itu, pemilik toko memerlukan waktu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/