JALANNYA sigap. Lengannya berotot. Perutnya pun tetap rata, tidak buncit. Tak terlihat timbunan lemak di tubuh pria 57 tahun tersebut. Ya, semua masih sama seperti saat Sutarman menjadi Kapolri. Hanya, kulit jenderal polisi bintang empat itu terlihat agak lebih legam.
”Ini bukti saya kembali bertani mencangkul sawah,” katanya dengan nada berkelakar ketika menemui Jawa Pos di kediamannya di Bintaro, Jakarta, Selasa (10/2).
Sejak diberhentikan dengan hormat dari jabatan Kapolri pertengahan bulan lalu, Sutarman memang bertekad untuk hidup ”merdeka”. Dia pun menolak ketika ditawari menduduki jabatan baru sebagai duta besar. Alasan resmi yang dia sampaikan, dirinya ingin kembali bertani di desa. Sebuah jawaban kiasan, tentu saja.
Meski Sutarman tak pernah terbuka mengungkapkan kenyataan yang dihadapi, sebagian masyarakat Indonesia paham bahwa dia adalah korban pertarungan politik di awal pemerintahan Presiden Jokowi. Yakni intrik politik yang ingin menjadikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. ”Sudah, sudah, saya tak ingin menambah polemik yang ada,” elak Sutarman ketika ditanya tentang hal itu.
Ditemani sang istri Elly Surtiati Sukandi, pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 5 Oktober 1958, tersebut mengaku ikhlas meninggalkan jabatan Kapolri lebih awal. Sebagai seorang prajurit sejati, dia akan terus loyal kepada presiden.
Meski begitu, banyak masyarakat luas yang terkaget-kaget atas keputusan presiden yang melengserkan Sutarman secara mendadak tersebut. Pasalnya, sebenarnya periode kepemimpinan Sutarman masih sembilan bulan lagi. Dia baru akan pensiun pada Oktober 2015.
Salah seorang yang kaget atas ”pensiun dini” Sutarman itu adalah Pawiro Miharjo, sang ayah kandung. Karena itu, begitu mendengar anaknya dicopot dari jabatannya, Pawiro yang tinggal di sebuah desa di Sukoharjo langsung bertolak ke Jakarta. ”Padahal,” ungkap Sutarman, ”Waktu itu saya sudah bersiap pulang kampung. Tapi, bapak malah ke sini duluan.”
Dan, ketika bapak dan anak itu bertemu, sang bapak langsung memeluk erat anaknya itu. Pria 80 tahun tersebut mendukung sepenuhnya sikap Sutarman yang menolak tawaran menjadi duta besar.
Setelah menolak tawaran presiden itu, sampai sekarang Sutarman belum memikirkan rencana ke depan. Dia masih ingin menikmati hari-hari ”merdeka”-nya dengan menghabiskan waktu bersama keluarga serta menjalankan hobinya yang selama ini sulit tersalurkan.
”Saya sekarang bisa momong cucu di rumah,” ujarnya. ”Juga bisa fitness sepuasnya. Bisa empat-lima jam sehari. Fitness-nya ya di sini,” lanjutnya sambil menunjuk ruang sebelah pendapa kayu yang menjadi ruang tamu rumahnya yang asri.
Soal fitness Sutarman mengaku sudah hobi sejak masih muda. Baik kardio maupun angkat beban. Namun, karena ada masalah dengan punggungnya, angkat beban kini dia lakukan dengan posisi telentang.
Sesekali Sutarman juga pergi ke luar kota untuk menjalankan hobi lainnya, yakni main golf. Hobi itulah yang membuat kulit Sutarman kini agak gosong dibanding saat masih menjadi Kapolri. ”Barusan saya dari Bali, main golf,” ungkapnya.
Apakah masih ngantor? Meski baru akan pensiun Oktober, Sutarman memutuskan untuk tidak mengantor ke Trunojoyo, sebutan Mabes Polri. Dia menilai suasana Mabes Polri akan canggung bila dirinya masih ngantor. Sebab, dia adalah polisi berpangkat tertinggi saat ini. Satu-satunya perwira tinggi dengan bintang empat yang masih aktif! ”Saya sedang menjalani MPP (masa persiapan pensiun, Red),” tuturnya.
Lulus Akpol pada 1981, Sutarman bisa disebut memiliki karir yang penuh warna. Saat berpangkat komisaris besar polisi, dia merasakan langsung gesekan politik yang terjadi ketika menjadi ADC (aide de camp/ajudan) Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dia paham permainan politik yang terjadi sehingga membuat presiden yang diajudaninya terjungkal dari kekuasaannya. Konflik politik itu pula yang mengakhiri jabatannya sebagai Kapolri 14 tahun kemudian.
Meski harus melepaskan jabatan Kapolri secara tiba-tiba, Sutarman mengaku tetap bersyukur telah menjadi abdi negara yang baik. Banyak pengalaman unik yang jarang dialami koleganya. Misalnya, saat menjadi Kapolwiltabes Surabaya pada 2005–2006, dia dikenal punya hobi keluyuran keliling kota sembari memantau keamanan bersama teman-temannya. Dari situ dia bisa tahu situasi di lapangan, termasuk permainan kotor aparat, termasuk pula anggotanya.
Pernah suatu malam Sutarman dihentikan anggota Satlantas Polresta Surabaya Selatan. Rupanya, anggota itu hendak mencari-cari kesalahan pengendara dengan harapan mendapat uang damai. Celakanya, anggota tersebut tidak mengenalinya sebagai Kapolwiltabes (kini Kapolrestabes) Surabaya. Dan Sutarman mendiamkannya.
Besoknya Sutarman langsung datang ke Mapolresta Surabaya Selatan dan memanggil Kapolres beserta anggotanya yang nakal itu. Tentu saja si anggota langsung pucat pasi. Dia dimarahi habis-habisan. Begitu pula atasannya, Kapolres Surabaya Selatan. Tapi, Sutarman tidak langsung menghukum anggota tersebut. Dia hanya meminta perbaikan sistem patroli anggota.
Dari insiden itu, di jajaran Polwiltabes Surabaya kemudian lahir protap (prosedur tetap) baru. Yakni, anggota satlantas tidak boleh ”bersembunyi” untuk mengincar pengendara yang melanggar aturan lalu lintas. Polisi yang bertugas harus terlihat dan seharusnya mencegah dan mengingatkan pengendara yang salah.
Begitu pula yang terjadi saat Sutraman menjadi Kapolda Kepulauan Riau pada 2006. Saat itu dia harus mengambil tindakan tegas kepada hampir semua jajaran di ditlantas karena melakukan permainan pelat nomor.
Penyebabnya sederhana. Saat itu, ketika Sutarman parkir di sebuah kawasan pertokoan, pelat nomor mobil yang parkir di sampingnya sama dengan pelat nomor mobilnya. ”Saya kaget dan langsung mengusut serta menindaknya,” imbuh dia.
Berkat prestasi yang diraih Sutarman di tempat tugas, karirnya pun terus melaju. Hingga mencapai puncaknya, ditunjuk sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Timur Pradopo pada 27 September 2013. Yang unik, sebelum menjadi Kapolri, Sutarman juga menggantikan Timur Pradopo di tiga jabatan, yakni saat menjadi Kaselapa Lemdiklat Polri, Kapolda Jawa Barat, dan Kapolda Metro Jaya.
Sampai kapan akan meninggalkan medan pengabdian? Sutarman menggeleng. ”Belum tahu, melihat situasi terlebih dahulu,” jawabnya. ”Tapi, hikmahnya (dari pelengseran, Red) adalah saya bisa lebih menikmati hidup. Momong cucu, fitness, kembali ke kampung, sesekali golf,” tuturnya. (*/c9/ari)