MEDAN-Radiyasto menangis saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di hadapan majelis hakim yang diketuai Erwin Mangatas Malau. Pimpinan Sentra Kredit Menengah (SKM) BNI Pemuda Medan yang didudukkan sebagai terdakwa dalam perkara kredit tidak terpasang di BNI SKM Medan ini, mencucurkan airmata saat meminta keringanan hukuman dari hakim.
“Saya bersyukur Tuhan mmberikan pencerahan pada saya soal keadilan. Saya akhirnya paham, saya banyak belajar dari hakim yang menangani banyak perkara. Namun, saya tidak mengerti di mana letak perbuatan melawan hukum. Karena kami tidak menerima apapun dari peristiwa ini. Kami mohon agar majelis memberikan pertimbangan dan keringanan hukuman,” ujar Radiyasto tak henti menyeka air matanya.
Tak berbeda dari Radiyasto, Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan terisak berurai air mata meminta keadilan yang seadil-adilnya atas ditetapkannya ia sebagai terdakwa apalagi dengan tuntutan fantastis jaksa hingga 8 tahun penjara. Bahkan terlihat beberapa orang pengunjung persidangan yang hadir ikut larut dalam kesedihan dan beberapa ikut meneteskan air mata.
Titin memaparkan saat ini statusnya yang dianggap sebagai koruptor tidak hanya menjadi beban paling berat dalam hidupnya namun juga dirasakan oleh keluarga dan terutama anak-anaknya. “Ini menjadi beban yang semakin berat bagi saya manakala perkara ini telah membuat anak-anak seperti kehilangan kebebasan karena tidak berani bergaul dengan temannya hanya karena takut dicap sebagai anak koruptor. Saya tidak bersalah Majelis Hakim yang mulia, saya dizalimi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan atas perkara ini,” jelas Titin dengan air mata yang masih menetes.
Sementara, Darul Azli selaku Pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan menyakini mereka tidak bersalah dalam pemberian kucuran kredit itu. “Saya yakin tidak ada yang salah dengan kerja saya di BNI. Ini menjadi kenangan buruk bagi hidup saya. Saya mohon semoga Yang Mulia yang menentukan nasib kami nanti, memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi kami. Hanya itu yang saya minta,” ungkapnya.
Setelah memberi kesempatan kepada tiga terdakwa untuk membacakan pleidoinya, majelis hakim pun memberikan kesempatan kepada penasehat hukum terdakwa untuk membacakan nota pembelaan mereka secara keseluruhan. Imran Nating SH MH dan Baso Fakhruddin SH MKn membacakan nota pembelaan itu secara bergantian.
Di ruang utama Pengadilan Tipikor Medan itu, penasehat hukum terdakwa mengatakan jaksa penuntut umum (JPU) tidak fair dalam menyampaikan tuntutannya, karena tidak menerangkan fakta-fakta persidangan sebagaimana diungkapkan saksi-saksi, terdakwa, dan alat bukti sehingga kebenaran materiil tidak terungkap dalam tuntutan. “Jaksa menyembunyikan atau memenggal fakta yang sebenarnya, demi untuk mendapatkan pembenaran atas pernyataan jaksa yang dengan sadar dan sengaja dibuat tidak sesuai dengan fakta sebenarnya,” jelasnya.
Ditambahkannya, jual beli SHGU 102 telah terjadi di mana pembayaran SHGU 102 telah dilakukan oleh PT BDKL kepada para pesaham PT Atakana Company, dan membayar hutang PT Atakana Company di BNI SKM Medan. Hal ini juga sesuai dengan permintaan PT Atakana sebagaimana tertuang dalam RUPS PT Atakana Company.
Berdasarkan fakta di persidangan, terkait pencairan kredit kepada PT BDKL, menurut penasihat hukum terdakwa, telah sesuai dengan ketentuan internal BNI sehingga tidak ada perbuatan melawan hukum dalam pemberian kredit itu. Dari Rp117 miliar kredit yang diterima PT BDKL, terbukti jaminan yang telah dikuasai oleh BNI ternyata jauh lebih besar dari kredit yang diterima PT BDKL.
“Fakta yang sangat penting dan prioritas dalam perkara ini bahwa, terungkap di persidangan ternyata kredit yang diberikan BNI kepada PT BDKL hingga kini pembayarannya terus berjalan lancar. Prosedur pencairan kredit telah sesuai dengan check list kepatuhan BNI. Maka menjadi tanda tanya kita semua, di mana letak perbuatan melawan hukum dalam perkara ini?” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, berdasarkan fatwa Mahkamah Agung RI nomor: WKMA/U/20/VIII/2006 pada pokoknya menyatakan modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN. Dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN, melainkan pada prinsip perusahaan yang sehat, piutang BUMN bukanlah piutang negara.
“Seharusnya jaksa tidak perlu malu mengakui fakta di persidangan ini dan melaksanakan tugasnya sesuai fakta yang ada. Bahkan kesalahanpenanganan perkara ini sudah mulai sejak penyidikan di Kejaksaan Tinggi Sumut. Kami memohon perhatian dari Yang Mulia Majelis Hakim untuk melihat dengan peka proses hukum terhadap terdakwa. Ada apa di balik semua ini? Tentu majelis dapat menilainya,” katanya.
Ditambahkannya, perkara ini awalnya adalah ulah pribadi Muhammad Aka selaku Dirut PT Atakana Company. Padahal dari putusan Pengadilan Tinggi Aceh tertanggal 25 Januari 2012 dalam perkara perlawanan yang diajukan BNI SKM Medan memutuskan menyatakan BNI sebagai pihak yang berhak atas pemenuhan piutang dengan jaminan berupa tanah kebun sawit seluar 3.455 hektar sebagaimana dalam SHGU.
Begitu pula dengan putusan Pengadilan Tinggi Aceh tertanggal 4 Juni 2012 dalam perkara gugatan yang diajukan Boy Hermansyah selaku Dirut PT BDKL kepada M.Aka telah memutuskan menyatakan jual beli antara penggugat (Boy Hermansyah) dengan tergugat (M.Aka) atas tanah seluas 3455 hektar adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi penggugat dan tergugat, menyatakan tergugat telah melawan hukum dan menghukum tergugat untuk mengosongkan tanah SHGU 102.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum Yuni Hariaman, Hendri dan Rehulina Purba menjatuhkan tuntutan tinggi kepada masing-masing terdakwa dengan tuntutan delapan tahun penjara, denda Rp500 juta serta subsider lima bulan kurungan. Jaksa menyatakan terdakwa meyakinkan bersalah melanggar pasal 2 ayat 1 pasal 18 UU no 31 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHPidana. (far)