25.6 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Gajah Dibantai, Nadya Turun Tangan

Nadya Hutagalung
Nadya Hutagalung

Selama beberapa tahun belakangan ini, model internasional Nadya Hutagalung punya aktivitas baru. Selain masih eksis sebagai aktris dan model, dia kini terlibat aktif sebagai aktivis lingkungan. Seperti apa ceritanya?

 

Ahmad Sukarno Hamid, Jakarta

 

Sebagai aktivis lingkungan, Nadya menaruh perhatian serius pada upaya penyelamatan gajah. Dia mengaku tergerak untuk turun tangan langsung menyelamatkan gajah dari pembantaian keji para pemburu liar dia kawasan Asia.

Nadya pun secara simultan terlibat aktif sebagai pembicara dalam progam WWF Hentikan Permintaan Akan Gading Gajah atau Let Elephants be Elephants di sejumlah negara. Perempuan berdarah Batak-Australia itu mendukung kampanye WWF Elephant Warrior untuk Indonesia.

Untuk mengetahui lebih dekat kondisi gajah, perempuan kelahiran, Sydney, Australia, 28 Juli 1974 itu pun meluangkan waktu satu bulan untuk datang ke Afrika. ’’Awalnya sih hanya sekedar diskusi dengan Tammie Matson. Dia itu pelestari kehidupan liar asal Australia,’’ cerita Nadya dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Dari hasil diskusi ringan tersebut, mantan VJ MTV itu mendapat kabar tentang kematian gajah di Afrika yang sangat misterius. Hewan-hewan berukuran besar itu mati bukan karena alam, melainkan diburu oleh pemburu liar.

Gadingnya diambil untuk diperjualbelikan secara ilegal dan dagingnya dimakan. ’’Dia cerita situasi di sana. Berapa jumlah gajah yang mati karena diambil gadingnya,’’ katanya.

Tentunya Nadya pun terkejut. Apalagi dia merupakan aktivis lingkungan.

Proyek pertamanya adalah Green Kampong, yakni upaya membangun rumah hijau di Singapura. Selama terlibat dalam kegiatan tersebut dirinya belum pernah mendengar lagi adanya pembantaian gajah.

’’Saya nggak percaya karena setahu saya sudah nggak masalah,’’ jelasnya. Saking penasaranya, Nadya pun berkoordinasi dengan manajernya untuk sementara waktu tidak menerima aktivitas di dunia modeling.

Bersama teman-temannya sesama aktivis di WWF, Nadya berangkat ke Afrika. Ironisnya, saat pertama kali menapakkan kakinya di daratan Afrika tersebut dirinya menemukan beberapa gajah yang tewas dengan cara mengerikan.

’’Ternyata, its really bad. Tahun 2012 itu tahun terparah,’’ paparnya.

Bersama salah satu kameramen yang terlibat dalam program Asia’s Next Top Model, Nadya merekam semuanya. Dia pun membangun komunikasi dengan warga setempat untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya.

Layaknya sebuah biografi, rekaman tersebut dijadikan sebagai bukti bahwa masih ada pembantaian gajah. ’’Kami disana beberapa bulan. Pas turun di Nairobi, lalu ke Oldanyo itu keren. Disana ada pemandangan seperti Kilimanjaro. Tapi yang ada di hadapan aku kemudian, membuat aku nangis,’’ akunya.

Kehidupan gajah, sejatinya sama dengan manusia. Mereka berkumpul dan berkelompok.

Dalam komunitas tersebut, ada yang dituakan. Mereka lah yang mengarahkan rombongan untuk mencari tempat untuk menyambung hidup di musim yang berubah. Sayangnya, komunitas itu sudah tidak ada lagi.

Satu demi satu, kehidupan gajah dibantai layaknya manusia tidak bersalah. Nadya mengibaratkan pembantaian itu seperti aksi teroris.

’’Situasinya memang  sangat buruk. Sejak 2006 jumlah gajah yang mati karena diambil daging dan gadingnya terus bertambah,’’ jelasnya panjang lebar.

Lebih jauh dia mengungkapkan, bahwa saat ini hanya tinggal 500 ribu gajah saja di dunia. Sementara permintaan gading juga tinggi.

Awalnya, permintaan terbesar datang dari Barat, mereka sangat menyukai daging gajah. Gadingnya pun bisa dijual dengan harga yang tinggi.

Untuk mendapatkan pasokan tersebut, para distributor berburu ke negara-negara besar seperti negara-negara di Afrika dan Asia. Setelah diedukasi, banyak negara Barat yang kemudian tidak lagi mengizinkan perburuan gajah secara liar.

Hanya saja, oknum nakal tidak kekurang ide, mereka pun beralih melakukan pemburuan di Asia. ’’Di Asia belum ada kampanye soal ini, sehingga permintaan gajah masih tinggi,” jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, Duta Earth Hour untuk WWF Singapura itu pun terpanggil untuk mengkampanyekan penolakan tersebut dan berusaha untuk menghilangkan pembantai gajah di tanah kelahirannya. ’’Kami ingin masuk ke situ. Biggest market itu di Tiongkok,’’ jelasnya.

Dari semua dokumentasi yang didapatkanya selama berada di Afrika dan beberapa negara lain tersebut, hal itu akan terus dipublikasikan kepada khalayak. Supaya mereka mengerti akan aksi pembantaian liar yang dilakukan pemburu.

’’Memang ada yang menjaga, tetapi yang menjaga terkadang dibunuh juga. Karena mereka tidak memegang senjata, padahal pemburu itu menggunakan alat-alat canggih dan senjata api,” tandasnya. (*)

Nadya Hutagalung
Nadya Hutagalung

Selama beberapa tahun belakangan ini, model internasional Nadya Hutagalung punya aktivitas baru. Selain masih eksis sebagai aktris dan model, dia kini terlibat aktif sebagai aktivis lingkungan. Seperti apa ceritanya?

 

Ahmad Sukarno Hamid, Jakarta

 

Sebagai aktivis lingkungan, Nadya menaruh perhatian serius pada upaya penyelamatan gajah. Dia mengaku tergerak untuk turun tangan langsung menyelamatkan gajah dari pembantaian keji para pemburu liar dia kawasan Asia.

Nadya pun secara simultan terlibat aktif sebagai pembicara dalam progam WWF Hentikan Permintaan Akan Gading Gajah atau Let Elephants be Elephants di sejumlah negara. Perempuan berdarah Batak-Australia itu mendukung kampanye WWF Elephant Warrior untuk Indonesia.

Untuk mengetahui lebih dekat kondisi gajah, perempuan kelahiran, Sydney, Australia, 28 Juli 1974 itu pun meluangkan waktu satu bulan untuk datang ke Afrika. ’’Awalnya sih hanya sekedar diskusi dengan Tammie Matson. Dia itu pelestari kehidupan liar asal Australia,’’ cerita Nadya dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Dari hasil diskusi ringan tersebut, mantan VJ MTV itu mendapat kabar tentang kematian gajah di Afrika yang sangat misterius. Hewan-hewan berukuran besar itu mati bukan karena alam, melainkan diburu oleh pemburu liar.

Gadingnya diambil untuk diperjualbelikan secara ilegal dan dagingnya dimakan. ’’Dia cerita situasi di sana. Berapa jumlah gajah yang mati karena diambil gadingnya,’’ katanya.

Tentunya Nadya pun terkejut. Apalagi dia merupakan aktivis lingkungan.

Proyek pertamanya adalah Green Kampong, yakni upaya membangun rumah hijau di Singapura. Selama terlibat dalam kegiatan tersebut dirinya belum pernah mendengar lagi adanya pembantaian gajah.

’’Saya nggak percaya karena setahu saya sudah nggak masalah,’’ jelasnya. Saking penasaranya, Nadya pun berkoordinasi dengan manajernya untuk sementara waktu tidak menerima aktivitas di dunia modeling.

Bersama teman-temannya sesama aktivis di WWF, Nadya berangkat ke Afrika. Ironisnya, saat pertama kali menapakkan kakinya di daratan Afrika tersebut dirinya menemukan beberapa gajah yang tewas dengan cara mengerikan.

’’Ternyata, its really bad. Tahun 2012 itu tahun terparah,’’ paparnya.

Bersama salah satu kameramen yang terlibat dalam program Asia’s Next Top Model, Nadya merekam semuanya. Dia pun membangun komunikasi dengan warga setempat untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya.

Layaknya sebuah biografi, rekaman tersebut dijadikan sebagai bukti bahwa masih ada pembantaian gajah. ’’Kami disana beberapa bulan. Pas turun di Nairobi, lalu ke Oldanyo itu keren. Disana ada pemandangan seperti Kilimanjaro. Tapi yang ada di hadapan aku kemudian, membuat aku nangis,’’ akunya.

Kehidupan gajah, sejatinya sama dengan manusia. Mereka berkumpul dan berkelompok.

Dalam komunitas tersebut, ada yang dituakan. Mereka lah yang mengarahkan rombongan untuk mencari tempat untuk menyambung hidup di musim yang berubah. Sayangnya, komunitas itu sudah tidak ada lagi.

Satu demi satu, kehidupan gajah dibantai layaknya manusia tidak bersalah. Nadya mengibaratkan pembantaian itu seperti aksi teroris.

’’Situasinya memang  sangat buruk. Sejak 2006 jumlah gajah yang mati karena diambil daging dan gadingnya terus bertambah,’’ jelasnya panjang lebar.

Lebih jauh dia mengungkapkan, bahwa saat ini hanya tinggal 500 ribu gajah saja di dunia. Sementara permintaan gading juga tinggi.

Awalnya, permintaan terbesar datang dari Barat, mereka sangat menyukai daging gajah. Gadingnya pun bisa dijual dengan harga yang tinggi.

Untuk mendapatkan pasokan tersebut, para distributor berburu ke negara-negara besar seperti negara-negara di Afrika dan Asia. Setelah diedukasi, banyak negara Barat yang kemudian tidak lagi mengizinkan perburuan gajah secara liar.

Hanya saja, oknum nakal tidak kekurang ide, mereka pun beralih melakukan pemburuan di Asia. ’’Di Asia belum ada kampanye soal ini, sehingga permintaan gajah masih tinggi,” jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, Duta Earth Hour untuk WWF Singapura itu pun terpanggil untuk mengkampanyekan penolakan tersebut dan berusaha untuk menghilangkan pembantai gajah di tanah kelahirannya. ’’Kami ingin masuk ke situ. Biggest market itu di Tiongkok,’’ jelasnya.

Dari semua dokumentasi yang didapatkanya selama berada di Afrika dan beberapa negara lain tersebut, hal itu akan terus dipublikasikan kepada khalayak. Supaya mereka mengerti akan aksi pembantaian liar yang dilakukan pemburu.

’’Memang ada yang menjaga, tetapi yang menjaga terkadang dibunuh juga. Karena mereka tidak memegang senjata, padahal pemburu itu menggunakan alat-alat canggih dan senjata api,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/