Site icon SumutPos

Jangan Rebutan agar Para Bule Tak Ngeri

BARANGAKALI geliat Desa Wisata Dewi Santi, Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali, ini, bisa menjadi rujukan bagi warga sekitar Danau Toba. Kuncinya, masyarakat yang sadar wisata. Menyambut wisatawan seperti raja.

Foto: Soetomo Samsu/Sumut Pos
Desa Wisata Samiran, di Kecamatan Selo, Boyolali, yang kerap menjadi lokasi transit turis ke Gunung Merapi. Mereka menyambut wisatawan seperti raja.

Soetomo Samsu – Boyolali

JALAN masuk ke kawasan Desa Wisata Dewi Santi, beraspal mulus. Kanan kiri asri, hijau, berhawa dingin. Maklum, lokasinya di lereng gunung, diapit Merapi dan Merbabu.

Sepanjang jalan itu, masuk dari jalan alternatif jalur Boyolali-Magelang, kanan-kiri rumah warga dijadikan home stay. Sungguh bersih dan rindang. Tidak ada hotel!.

“Total di desa ini ada 48 home stay. Rata-rata satu home stay ada dua kamar, tapi ada juga yang lima kamar,” terang Ketua II Desa Wisata Dewi Santi, Haris Budiarto, saat ditemui di rumahnya, di desa tersebut, Minggu (10/7).

Para warga di sana sungguh menikmati berkah Tuhan. Daerah berhawa sejuk dengan keajaiban Gunung Merapi yang bertetangga dengan Merbabu, menjadi destinasi wisata alam yang mulai moncer sejak dibukanya jalur wisata Solo-Selo-Borobudur.

Banyak turis yang berkunjung ke Borobudur yang merupakan situs budaya, melanjutkan berwisata alam ke kawasan Selo. Mereka mengorganisasi diri secara rapi. Ada kelompok guide, poter, travel, semuanya ditangani warga lokal.

“Di sini ada tiga home stay yang bekerjasama dengan orang Prancis,” imbuh Haris.

Orang Prancis itulah yang menggaet bule-bule melalui jaringannya, untuk datang ke Desa Samiran.

Turis dari Belanda, Jerman, AS, dan beberapa negara Eropa lainnya, berdatangan ke kawasan tersebut.Uang dolar mengalir ke sana.

“Kalau ada turis dari eropa, tiga sampai empat orang yang datang bersamaan, itu bisa membutuhkan 10 poter. Uang ongkos poter saja totalnya sekitar Rp7 juta hingga Rp8 juta. Semua poter warga sini, juga travelnya,” terang Haris.

Kok bisa sampai 10 poter untuk melayani tiga-empat turis? Rupanya, para turis menginap di home stay hanya untuk transit. Para pembawa dolar itu rupanya lebih senang menginap di bawah tenda, di badan Gunung Merbabu.

“Mereka melihat puncak Merapi dari Merbabu,” kata Haris dengan ramah.

Nah, untuk membawa perlengkapan “berkemah” itulah, dibutuhkan banyak poter. Mereka harus mengangkat kasur, peralatan memasak, tenda, bekal makanan, dan sejumlah perangkat lainnya.

Dulu, sebelum terorganisasi secara rapi, home stay-home stay di desa itu relatif sepi. Pasalnya, para turis “dikuasasi” biro travel Jogjakarta. Para turis hanya singgah di lokasi wisata Merapi-Merbabu, lantas balik Jogja lagi, menginap di Kota Gudeg itu. Hanya sedikit dolar yang mampir ke Samiran.

“Alhamdulillah, sekarang kami bisa menikmati sebagai Desa Wisata,” kata Haris.

“Kami perlakukan turis sebagai raja.Dari bandara kami sambut, kami tidak rebutan. Sampai di sini, kami antar keliling ke Desa Wisata ini. Terserah mereka mau pilih yang mana, sesuai selera masing-masing. Kami tidak pernah memaksa harus nginap di home stay ini atau itu,” bebernya lagi.

Pantauan koran ini, home stay yang tersedia cukup variatif. Tapi rata-rata berbau tradisional. Rumah joglo, perabotan kayu jati. Nuansa sungguh alami. Beda dengan fasilitas di hotel. Namun, dari segi kenyamanan, beberapa di antaranya tidak kalah dengan hotel berbintang. Tarif juga variatif, dari Rp100 ribu, Rp150 ribu, dan sedikit di atasnya lagi, per kamar per malam.

Namun ada juga yang satu rumah, dua kamar, dengan nuansa asli setempat yang masih terawat, tarif Rp350 ribu per malam.

Atraksi kesenian yang disuguhkan juga sangat variatif. Semuanya tradisional, unik, khas warga lereng Gunung Merapi. Di desa tersebut ada 58 kelompok kesenian, yang setiap saat siap dipanggil untuk pentas di depan para bule.

Masing-masing kelompok kesenian punya ciri khas, yang sudah tentu unik di mata para bule.

“Kita sodorkan pilihan ke para turis, tinggal pilih. Lantas kita panggil kelompok kesenian itu untuk tampil di Pendopo (tempat pentas, red). Satu kelompok kesenian ini melibatkan rata-rata 20 orang. Tarif Rp750 ribu hingga Rp1 juta. Tapi pentas hanya sekitar 20 menit saja, agar para turis tidak bosan,” terang Haris.

Suguhan makanan yang disajikan juga khas lokal, seperti jadah (makanan bahan beras ketan dan kelapa), susu (Selo juga penghasil susu dari sapi perah), dan juga makanan sayuran yang tidak ada di daerah lain, namanya bobor centrung.

Haris, dengan bangga, cerita bahwa Desa Wisata Dewi Santi kerap dikunjungi Dinas Pariwisata dari berbagai daerah, sebagai lokasi studi banding. Nah, dukungan dari banyak pihak juga penting untuk terus menghidupkan destinasi wisata, agar benar-benar bisa mendongkrak tingkat perekonomian masyarakat setempat.

Bapak Sukamto, mantan kades Lencoh, Selo, Boyolali, cerita, beberapa waktu lalu ada acara semacam family ghatering sebuah bank ternama.

“Pesertanya disebar menginap di home stay-home stay. Satu home stay dua kepala keluarga. Ini bagus, bisa membantu warga sini,” terang sesepuh yang pernah 32 tahun menjadi kades itu.

Bagaimana dengan warga sekitar Danau Toba? Tampaknya perlu keseriusan warga sekitar untuk menyambut masa depan Danau Toba yang diimpikan bisa selevel Bali.

Jangan sampai hiruk-pikuk para bule pembawa dolar itu hanya dinikmati para pengusaha besar, baik yang bermain di bisnis perhotelan maupun travel.

Semua lini perlu dipersiapkan, mulai membangun mental menjadikan turis sebagai raja, meracik atraksi kesenian yang tidak membosankan, menyuguhkan kuliner khas Batak, dan juga pengorganisasian warga sekitar danau. Agar tidak rebutan yang menjadikan para bule merasa ngeri. (*)

Exit mobile version