26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

MUI Medan: Ulama Bukan Profesional

Terkait Ide Sertifikasi Ulama

MEDAN- Sejumlah tokoh ulama Kota Medan menyesalkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang telah mencetuskan ide sertifikasi ulama. BNPT pun dianggap perlu belajar sebelum mencetuskan ide.

Prof H Mohammad Hatta MA, Ketua Majelis Ulama Kota Medan
Prof H Mohammad Hatta MA, Ketua Majelis Ulama Kota Medan

“Ide yang dilakukan BNPT tidak bisa seenaknya saja dicetuskan. BNPT harus bisa mengkaji dengan cara belajar dulu dan jangan sembarang membuat usulan,” bilang Ketua Majelis Ulama Kota Medan, Prof H Mohammad Hatta MA, Senin (10/9).

Hatta menambahkan, dengan keluarnya ide tersebut menunjukkan kalau BNPT tidak mengetahui apa itu ulama. Kalau, BNPT mengetahui tentang ulama, tentunya BNPT tidak seperti itu memberikan usulannya. Pasalnya, ulama merupakan gelar yang diberikan dari masyarakat dengan cara memiliki ilmu pengetahuan agama serta mengaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat. “Artinya ulama juga mempunyai pendidikan yang tinggi dan ilmu pengetahuan agama yang baik. Ilmu yang dimiliki ulama selalu diterapkan di tengah-tengah masyarakat dengan baik dan benar,” bilang Hatta.

Meski begitu, kata Hatta, ulama tidak bisa disamakan dengan orang-orang profesional seperti guru, dokter yang telah memiliki sertifikat dari bangku kuliah. “Bila mereka (BNPT, Red) menganggap ulama sama dengan orang profesional yang harus memiliki sertifikat, itu sangat salah dan kita sesalkan,”terangnya.

Untuk itu, Guru besar IAIN-SU ini meminta kepada pihak BNPT agar lebih banyak belajar dan mengetahui ulama yang ada Indonesia. “Jangan merusak agama Islam dengan usulan yang tidak baik,” tegas Hatta.

Dianggap Mencontoh Malaysia

Di sisi lain, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Profesor Azyumardi Azra mengatakan tidak setuju adanya lisensi bagi para ustaz dan ustazah dalam menjalankan tugas-tugasnya di bidang agama. Menurutnya, rencana lisensi itu sudah ke luar dari tradisi Islam di Indonesia.
“Saya tidak setuju ada lisensi bagi ustaz. Kalau lisensi tetap diberlakukan berarti kita ke luar dari tradisi Islam di Indonesia dan meniru-niru Malaysia,” kata Azyumardi Azra, dalam acara Dialog Pilar Negara bertema “Kebhinekaan Sebagai Modal Indonesia”, di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (10/9).

Hal rasional yang bisa dilakukan oleh negara adalah memberikan supervisi terhadap para ustaz dan ustazah agar khotbahnya tidak jadi ajang provokasi. “Dalam kenyataannya, habis dengar khotbah, jamaah jadi panas. Mestinya menyejukkan. Di situ perlu supervisi oleh negara,” tegas dia.
Selain itu, Azyumardi Azra juga menyarankan perlunya supervisi terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam tapi tidak bersifat khusus soal teroris, karena dikhawatirkan akan membuat ketersinggungan pihak pengelola dan peserta didik.

“Cukup supervisi negara dalam hal akreditasi pendidikan saja. Jangan fokus ke wilayah teroris karena bisa membuat orang tersinggung dan menumbuhkan rasa kebencian secara berlebihan,” sarannya.

Tokoh Lintas Agama Medan Bela Islam

Sementara itu, sejumlah tokoh lintas agama di Sumut dan Medan, yang dimintai pendapatnya oleh Sumut Pos, Senin (10/9) malam, semuanya menyatakan tidak benar jika pelaku teror bom itu identik dengan Agama Islam atau pondok pesantren (ponpes).

Bahkan, para tokoh lintas agama tersebut menilai orang atau pihak yang menuding Islam atau ponpes adalah teroris merupakan justifikasi yang salah kaprah dan menunjukkan oknum atau pihak yang menuding tersebut tidak paham dengan agama.

“Tidak benar itu. Saya yakin itu tidak benar. Tidak ada satu agama pun di muka bumi ini, yang menganjurkan untuk melakukan itu. Semua agama yang ada menganjurkan dan mengajarkan kebaikan. Jadi, pihak yang menuding-nuding itu adalah pihak yang tidak paham dengan agama. Saya beberapa kali ke pesantren, dan pendidikannya bagus, tidak seperti yang dituduhkan. Dan mereka juga belajar di luar. Tidak hanya belajar di pesantren saja,” ungkap tokoh agama Kristen Medan, Pendeta Dikson Panjaitan.

Hal senada juga dikemukakan tokoh agama Kristen lainnya, Pendeta Porie yang mengatakan teror yang terjadi di Depok, tidak bisa dikaitkan dengan salah satu agama.

“Masalah pemboman atau teror itu, menurut saya ada dua hal. Pertama bisa dilakukan oleh orang atau pihak yang merasa mengalami ketidakadilan. Kedua, orang yang merasa diperlakukan tidak adil itu ditunggangi oleh oknum atau pihak lain. Bisa jadi ada kaitannya peristiwa di Depok itu berkaitan dengan Pilkada DKI, atau mungkin yang lain. Intinya, saya yakin ini bukan atau tidak berdasarkan agama, tapi ditunggangi,” ucap Pendeta Porie.
Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Kota Medan, Sutopo mengatakan tidak benar bila Islam dan pondok pesantren langsung dituding dan persalahkan sebagai teroris dan sebagainya. “Tudingan-tudingan itu sebaiknya dikaji ulang. Semua agama dan Islam pasti mengajarkan kebaikan,” tegasnya.

Secara terpisah, tokoh agama Kong Hu Cu Sumut, Makin Johan yang dimintai pendapatnya atas persoalan yang sama, menuturkan jika Islam merupakan agama yang cinta damai. “Jadi saya tidak yakin jika seperti itu. Tidak benar jika agama dikaitkan dengan teroris, begitu pula dengan pesantren,” ungkapnya.(omi/ari/fas/jpnn)

Terkait Ide Sertifikasi Ulama

MEDAN- Sejumlah tokoh ulama Kota Medan menyesalkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang telah mencetuskan ide sertifikasi ulama. BNPT pun dianggap perlu belajar sebelum mencetuskan ide.

Prof H Mohammad Hatta MA, Ketua Majelis Ulama Kota Medan
Prof H Mohammad Hatta MA, Ketua Majelis Ulama Kota Medan

“Ide yang dilakukan BNPT tidak bisa seenaknya saja dicetuskan. BNPT harus bisa mengkaji dengan cara belajar dulu dan jangan sembarang membuat usulan,” bilang Ketua Majelis Ulama Kota Medan, Prof H Mohammad Hatta MA, Senin (10/9).

Hatta menambahkan, dengan keluarnya ide tersebut menunjukkan kalau BNPT tidak mengetahui apa itu ulama. Kalau, BNPT mengetahui tentang ulama, tentunya BNPT tidak seperti itu memberikan usulannya. Pasalnya, ulama merupakan gelar yang diberikan dari masyarakat dengan cara memiliki ilmu pengetahuan agama serta mengaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat. “Artinya ulama juga mempunyai pendidikan yang tinggi dan ilmu pengetahuan agama yang baik. Ilmu yang dimiliki ulama selalu diterapkan di tengah-tengah masyarakat dengan baik dan benar,” bilang Hatta.

Meski begitu, kata Hatta, ulama tidak bisa disamakan dengan orang-orang profesional seperti guru, dokter yang telah memiliki sertifikat dari bangku kuliah. “Bila mereka (BNPT, Red) menganggap ulama sama dengan orang profesional yang harus memiliki sertifikat, itu sangat salah dan kita sesalkan,”terangnya.

Untuk itu, Guru besar IAIN-SU ini meminta kepada pihak BNPT agar lebih banyak belajar dan mengetahui ulama yang ada Indonesia. “Jangan merusak agama Islam dengan usulan yang tidak baik,” tegas Hatta.

Dianggap Mencontoh Malaysia

Di sisi lain, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Profesor Azyumardi Azra mengatakan tidak setuju adanya lisensi bagi para ustaz dan ustazah dalam menjalankan tugas-tugasnya di bidang agama. Menurutnya, rencana lisensi itu sudah ke luar dari tradisi Islam di Indonesia.
“Saya tidak setuju ada lisensi bagi ustaz. Kalau lisensi tetap diberlakukan berarti kita ke luar dari tradisi Islam di Indonesia dan meniru-niru Malaysia,” kata Azyumardi Azra, dalam acara Dialog Pilar Negara bertema “Kebhinekaan Sebagai Modal Indonesia”, di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (10/9).

Hal rasional yang bisa dilakukan oleh negara adalah memberikan supervisi terhadap para ustaz dan ustazah agar khotbahnya tidak jadi ajang provokasi. “Dalam kenyataannya, habis dengar khotbah, jamaah jadi panas. Mestinya menyejukkan. Di situ perlu supervisi oleh negara,” tegas dia.
Selain itu, Azyumardi Azra juga menyarankan perlunya supervisi terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam tapi tidak bersifat khusus soal teroris, karena dikhawatirkan akan membuat ketersinggungan pihak pengelola dan peserta didik.

“Cukup supervisi negara dalam hal akreditasi pendidikan saja. Jangan fokus ke wilayah teroris karena bisa membuat orang tersinggung dan menumbuhkan rasa kebencian secara berlebihan,” sarannya.

Tokoh Lintas Agama Medan Bela Islam

Sementara itu, sejumlah tokoh lintas agama di Sumut dan Medan, yang dimintai pendapatnya oleh Sumut Pos, Senin (10/9) malam, semuanya menyatakan tidak benar jika pelaku teror bom itu identik dengan Agama Islam atau pondok pesantren (ponpes).

Bahkan, para tokoh lintas agama tersebut menilai orang atau pihak yang menuding Islam atau ponpes adalah teroris merupakan justifikasi yang salah kaprah dan menunjukkan oknum atau pihak yang menuding tersebut tidak paham dengan agama.

“Tidak benar itu. Saya yakin itu tidak benar. Tidak ada satu agama pun di muka bumi ini, yang menganjurkan untuk melakukan itu. Semua agama yang ada menganjurkan dan mengajarkan kebaikan. Jadi, pihak yang menuding-nuding itu adalah pihak yang tidak paham dengan agama. Saya beberapa kali ke pesantren, dan pendidikannya bagus, tidak seperti yang dituduhkan. Dan mereka juga belajar di luar. Tidak hanya belajar di pesantren saja,” ungkap tokoh agama Kristen Medan, Pendeta Dikson Panjaitan.

Hal senada juga dikemukakan tokoh agama Kristen lainnya, Pendeta Porie yang mengatakan teror yang terjadi di Depok, tidak bisa dikaitkan dengan salah satu agama.

“Masalah pemboman atau teror itu, menurut saya ada dua hal. Pertama bisa dilakukan oleh orang atau pihak yang merasa mengalami ketidakadilan. Kedua, orang yang merasa diperlakukan tidak adil itu ditunggangi oleh oknum atau pihak lain. Bisa jadi ada kaitannya peristiwa di Depok itu berkaitan dengan Pilkada DKI, atau mungkin yang lain. Intinya, saya yakin ini bukan atau tidak berdasarkan agama, tapi ditunggangi,” ucap Pendeta Porie.
Ketua Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Kota Medan, Sutopo mengatakan tidak benar bila Islam dan pondok pesantren langsung dituding dan persalahkan sebagai teroris dan sebagainya. “Tudingan-tudingan itu sebaiknya dikaji ulang. Semua agama dan Islam pasti mengajarkan kebaikan,” tegasnya.

Secara terpisah, tokoh agama Kong Hu Cu Sumut, Makin Johan yang dimintai pendapatnya atas persoalan yang sama, menuturkan jika Islam merupakan agama yang cinta damai. “Jadi saya tidak yakin jika seperti itu. Tidak benar jika agama dikaitkan dengan teroris, begitu pula dengan pesantren,” ungkapnya.(omi/ari/fas/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/