30.5 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Tergerak karena Pernah Kena Pukul

Foto: Arya Dhitya/Jawa Pos Aktivis masyarakat Erwin Sibarani (berdiri empat kiri) dalam menangani pasien kejiwaan memusatkan penampungan pasien menyatu dengan rumahnya.
Foto: Arya Dhitya/Jawa Pos
Aktivis masyarakat Erwin Sibarani (berdiri empat kiri) dalam menangani pasien kejiwaan memusatkan penampungan pasien menyatu dengan rumahnya.

Semua orang menganggap Erwin Sibarani sudah sinting saat memutuskan untuk tinggal di Rumah Gadara bersama para murid yang memiliki masalah gangguan mental sekitar delapan tahun lalu. Termasuk sang istri. Namun, panggilan jiwa untuk menolong sesama membuatnya bergeming.

—-
BAYANGKAN Anda tinggal serumah dengan 14 orang yang menderita gangguan jiwa alias gila. Setiap saat mereka bisa berbuat apa saja. Mulai yang membahayakan diri sendiri hingga yang membahayakan jiwa Anda dan keluarga.

Jika pun suatu saat Anda terluka karena perbuatan mereka, tidak ada seorang pun yang dapat Anda tuntut dan persalahkan. Risiko itulah yang dihadapi Erwin Sibarani dan istrinya.

Dua puluh empat jam sehari, mereka menyaksikan dari dekat perilaku labil orang-orang yang tinggal serumah dengan mereka. Tidak peduli tengah malam atau dini hari, mereka berteriak-teriak, mendorong pintu, membanting kursi, sampai memecahkan piring.

Sejak 2007, selepas meraih gelar magister hukum dari Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Erwin didapuk untuk meneruskan kepengurusan Rumah Gadara. Itu adalah rumah penampungan khusus pengidap gangguan jiwa di bawah Yayasan Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Bukit Zion, Surabaya.

Sebagai tanda kesungguhan untuk merawat para murid, Erwin menempuh cara yang tidak biasa, yaitu tinggal bersama mereka. Di Rumah Gadara, Erwin tinggal bersama istrinya, Desire Karokaro.

Dua anak mereka juga ikut. Si sulung, Georgina Blessing Sibarani, berumur 8 tahun. Yang bungsu adalah George Osaze Sibarani. ”Yang paling kecil masih umur dua bulan,” kata Erwin menyambut Jawa  yang berkunjung ke rumahnya, Sabtu (8/10) sore.

Erwin juga dibantu empat orang mentor. Mereka adalah Mister Baru, Vero, Roganda Sagala, dan Gasper. Semuanya masih mahasiswa. Mereka secara sukarela membantu Erwin. Ada juga bendahara dan pengurus rumah tangga Rumah Gadara, Epa Nababan. Rumah Gadara sama seperti umumnya rumah-rumah biasa. Beralamat di kompleks Perumahan Kutisari Indah Barat, Kecamatan Tenggilis Mejoyo, Surabaya.

Alih-Alih berada di tempat yang terisolasi, Rumah Gadara malah berada tepat di depan Balai RT V, RW IV, Kelurahan Kutisari. Pusat aktivitas masyarakat setempat. ”Semua warga juga sudah kenal kami, bahkan para murid,” kata Erwin. Erwin lantas menunjukkan tempat tinggalnya itu.

Bangunan berukuran 10 x 20 meter itu punya teras dan ruang utama yang memanjang hingga dapur. Ada delapan kamar. Dua di kanan ditempati seorang pengurus rumah tangga Rumah Gadara dan kamar tamu. Dua kamar lain untuk Erwin, istri, dan anak-anaknya. Empat kamar di belakang digunakan untuk para murid dan empat orang mentor (pembina). Tidak ada sekat khusus antara keluarga Erwin dan para murid.

Jika saja para murid tiba-tiba hilang kontrol, mereka bisa segera mencapai kamar sang bayi George hanya dengan menyeberangi ruang tengah. Namun, lagi-lagi semangat membantu orang lain mengalahkan semua kekhawatiran.

”Kalau dibilang khawatir, pasti. Tapi, ini menunjukkan kepedulian kami,” tutur Erwin. Pria kelahiran Medan, 18 Agustus 1983, itu adalah orang yang trauma dengan keberadaan para pengidap gangguan jiwa di jalanan.

Namun, justru karena trauma tersebut, Erwin terpanggil untuk membantu menemani perjuangan mereka dalam mendapatkan kewarasannya kembali. ”Saya pernah dipukul orang gila. Dua kali,” katanya membuka cerita.

Pengalaman pertama terjadi sekitar 2001. Erwin masih siswa SMA di kampung halamannya, Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Waktu itu, dia sedang berjalan sendirian sepulang sekolah.

”Tiba-tiba ada yang mukul saya dari belakang pakai bambu,” ujarnya. Erwin pun segera kabur sambil menahan sakit di belakang kepala.

Foto: Arya Dhitya/Jawa Pos Aktivis masyarakat Erwin Sibarani (berdiri empat kiri) dalam menangani pasien kejiwaan memusatkan penampungan pasien menyatu dengan rumahnya.
Foto: Arya Dhitya/Jawa Pos
Aktivis masyarakat Erwin Sibarani (berdiri empat kiri) dalam menangani pasien kejiwaan memusatkan penampungan pasien menyatu dengan rumahnya.

Semua orang menganggap Erwin Sibarani sudah sinting saat memutuskan untuk tinggal di Rumah Gadara bersama para murid yang memiliki masalah gangguan mental sekitar delapan tahun lalu. Termasuk sang istri. Namun, panggilan jiwa untuk menolong sesama membuatnya bergeming.

—-
BAYANGKAN Anda tinggal serumah dengan 14 orang yang menderita gangguan jiwa alias gila. Setiap saat mereka bisa berbuat apa saja. Mulai yang membahayakan diri sendiri hingga yang membahayakan jiwa Anda dan keluarga.

Jika pun suatu saat Anda terluka karena perbuatan mereka, tidak ada seorang pun yang dapat Anda tuntut dan persalahkan. Risiko itulah yang dihadapi Erwin Sibarani dan istrinya.

Dua puluh empat jam sehari, mereka menyaksikan dari dekat perilaku labil orang-orang yang tinggal serumah dengan mereka. Tidak peduli tengah malam atau dini hari, mereka berteriak-teriak, mendorong pintu, membanting kursi, sampai memecahkan piring.

Sejak 2007, selepas meraih gelar magister hukum dari Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Erwin didapuk untuk meneruskan kepengurusan Rumah Gadara. Itu adalah rumah penampungan khusus pengidap gangguan jiwa di bawah Yayasan Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Bukit Zion, Surabaya.

Sebagai tanda kesungguhan untuk merawat para murid, Erwin menempuh cara yang tidak biasa, yaitu tinggal bersama mereka. Di Rumah Gadara, Erwin tinggal bersama istrinya, Desire Karokaro.

Dua anak mereka juga ikut. Si sulung, Georgina Blessing Sibarani, berumur 8 tahun. Yang bungsu adalah George Osaze Sibarani. ”Yang paling kecil masih umur dua bulan,” kata Erwin menyambut Jawa  yang berkunjung ke rumahnya, Sabtu (8/10) sore.

Erwin juga dibantu empat orang mentor. Mereka adalah Mister Baru, Vero, Roganda Sagala, dan Gasper. Semuanya masih mahasiswa. Mereka secara sukarela membantu Erwin. Ada juga bendahara dan pengurus rumah tangga Rumah Gadara, Epa Nababan. Rumah Gadara sama seperti umumnya rumah-rumah biasa. Beralamat di kompleks Perumahan Kutisari Indah Barat, Kecamatan Tenggilis Mejoyo, Surabaya.

Alih-Alih berada di tempat yang terisolasi, Rumah Gadara malah berada tepat di depan Balai RT V, RW IV, Kelurahan Kutisari. Pusat aktivitas masyarakat setempat. ”Semua warga juga sudah kenal kami, bahkan para murid,” kata Erwin. Erwin lantas menunjukkan tempat tinggalnya itu.

Bangunan berukuran 10 x 20 meter itu punya teras dan ruang utama yang memanjang hingga dapur. Ada delapan kamar. Dua di kanan ditempati seorang pengurus rumah tangga Rumah Gadara dan kamar tamu. Dua kamar lain untuk Erwin, istri, dan anak-anaknya. Empat kamar di belakang digunakan untuk para murid dan empat orang mentor (pembina). Tidak ada sekat khusus antara keluarga Erwin dan para murid.

Jika saja para murid tiba-tiba hilang kontrol, mereka bisa segera mencapai kamar sang bayi George hanya dengan menyeberangi ruang tengah. Namun, lagi-lagi semangat membantu orang lain mengalahkan semua kekhawatiran.

”Kalau dibilang khawatir, pasti. Tapi, ini menunjukkan kepedulian kami,” tutur Erwin. Pria kelahiran Medan, 18 Agustus 1983, itu adalah orang yang trauma dengan keberadaan para pengidap gangguan jiwa di jalanan.

Namun, justru karena trauma tersebut, Erwin terpanggil untuk membantu menemani perjuangan mereka dalam mendapatkan kewarasannya kembali. ”Saya pernah dipukul orang gila. Dua kali,” katanya membuka cerita.

Pengalaman pertama terjadi sekitar 2001. Erwin masih siswa SMA di kampung halamannya, Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Waktu itu, dia sedang berjalan sendirian sepulang sekolah.

”Tiba-tiba ada yang mukul saya dari belakang pakai bambu,” ujarnya. Erwin pun segera kabur sambil menahan sakit di belakang kepala.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/