25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Awas Senasib dengan Bus Mebidang, LRT dan BRT Masih Terkendala Keppres dan Pembiayaan

LRT Palembang

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Harapan warga Kota Medan untuk menikmati sarana transportasi Light Rail Transit (LRT) dan Bus Rapid Transit (BRT) tampaknya belum dapat terwujud. Pasalnya, hingga kini proyek infrastruktur gawean pemerintah pusat itu masih terkendal regulasi dan pembiayaan. Namun ada kekhawatiran, LRT dan BRT ini bisa senasib dengan bus Trans Mebidang.

SEKRETARIS Daerah (Sekda) Kota Medan Wiriya Alrahman mengatakan, Pemko Medan saat ini masih menunggu payung hukum proyek tersebut yakni Keputusan Presiden (Keppres). “Sampai kami rapat terakhir yang dihadiri Pak Dirjen Perhubungan Darat dan Wali Kota Medan, proyek tersebut menunggu Keppres yang sedang disiapkan Bappenas. Sebab kalau tidak, semua daerah selain Jakarta tidak akan bisa merealisasikannya,” kata Wiriya, kemarin.

Ia mengaku, Keppres tersebut mengatur tentang urban transport, khususnya berbasis rel. Artinya, bagaimana pola dan seperti apa proyek pembangunan tersebut. “Karena regulasinya belum keluar, maka kemungkinan perencanaan yang sudah disusun mau tidak mau harus mundur,” ucapnya.

Wiriya berharap, Keppres ini segera diterbitkan, sehingga pada akhir tahun ini bisa dilakukan transaksi dengan kementerian terkait. “Kalau Keppres ini belum diterbitkan juga, maka kita tidak bisa melakukan apa-apa,” cetusnya.

Menurut Wiriya, dalam pembahasan antara Pemko Medan dengan pemerintah pusat beberapa waktu lalu, proyek ini juga masih terkendala masalah pembiayaan rolling stock atau sarana dan prasarana pendukung yang nilainya mencapai hampir separuh dari APBD Kota Medan. Dengan kata lain, masalah yang dihadapi terletak pada struktur pembiayaan. Untuk itu, diminta pengadaan rolling stock kewajiban pemerintah pusat. Sebab, pembiayaannya terlalu tinggi.

“Pembiayaan rolling stock pokoknya harus pemerintah pusat yang membiayai. Pemko Medan tidak mau menggadaikan APBD untuk proyek tersebut,” kata dia.

Diutarakan Wiriya, kemampuan fiskal (APBD) Kota Medan terbatas. Kalau tetap bertahan terhadap pembiayaan awal yang sudah diajukan sebesar Rp2,4 triliun lebih, jelas Pemko tidak mampu. “Kalau sampai akhir tahun belum ada kesepakatan antara Pemko dengan pemerintah pusat soal pembiayaan itu, tentu harus diperpanjang waktu penyusunan proyek tersebut. Meskipun kita berkeinginan segera terealisasi. Akan tetapi, inikan persoalan komitmen pemerintah pusat, kalau Pemko sudah komit tetapi dengan keterbatasan fiskal,” sebut Wiriya.

Lebih lanjut Wiriya mengatakan, Pemko sudah mendesak kepada pemerintah pusat terhadap pembiayaan rolling stock supaya ditampung. “Kalau ini sudah diputuskan selanjutnya masuk ke tahap transaksi. Target kami kalau bisa diharapkan pada Oktober (2019),” tuturnya.

Kata dia, dalam pembiayaan rolling stock oleh pemerintah pusat terbentur regulasi. Pasalnya, ada peraturan yang melarang pemerintah pusat menyediakan atau membiayai rolling stock itu. “Pembangunan LRT dan BRT sudah mendesak di Medan. Dari hasil studi atau kajian yang dilakukan, pada 2024 kalau tidak ditangani apapun mulai sekarang maka lalu lintas berhenti dan tak bisa jalan. Sebab, jumlah peningkatan jalan dengan kendaraan sangat jauh perbandingannya. Oleh karena itu, inilah harapannya sebagai solusi persoalan kemacetan di Medan,” tandasnya.

Ia menambahkan, secara keseluruhan proyek ini hampir menghabiskan anggaran mencapai Rp13 triliun. Pembangunan proyek yang ditargetkan rampung pada 2020 mendatang ini struktur pembiayaannya lewat pemerintah pusat dan KPBU atau melibatkan investor. “Struktur pendanaannya masih dibahas untuk dirumuskan berapa persentasenya. Namun yang jelas, dananya sebagian dari APBN dan KPBU,” imbuhnya.

Diketahui, kajian sementara Pemko Medan, jalur LRT akan melintasi Stasiun Besar Kereta Api Medan, Jalan Williem Iskandar, Jalan M Yamin, Jalan Gatot Subroto, Jalan Iskandar Muda, Jalan Universitas Sumatera Utara (USU), Jalan Setia Budi, Jalan Djamin Ginting, dan terakhir di Pasar Induk Laucih, Tuntungan.

Belajar dari Palembang

Sementara, pengamat tata kota, Rafiandi Nasution mengatakan, proyek rencana pembangunan infrastruktur tersebut harus benar-benar dilakukan analisis yang akurat. Jangan sampai nanti sia-sia setelah dibangun atau kurang efektif, seperti di Palembang. “Sebenarnya proyek ini terbilang terlambat, karena Palembang sudah membangun dan beroperasi. Namun, di Palembang sepertinya tidak maksimal dan mengalami kerugian. Seharusnya masih beroperasi hingga pukul 22.00, sekarang sudah dikurangi menjadi pukul 19.00 WIB. Jadi, untuk pengguna yang sudah menjadi member dan memiliki kartu, jika lewat dari pukul 19.00 WIB maka tak berlaku lagi,” ungkap Rafianda.

Dikatakannya, Pemko Medan harus belajar dari Palembang untuk menerapkannya. Sehingga, apa yang terjadi di Palembang tidak terulang di Medan. “Sangat setuju tentunya dibangun LRT dan BRT, tetapi perlu dikaji juga bagaimana kultur budaya masyarakat Medan atau Sumut. Jangan pula setelah dibangun, nasibnya sama seperti proyek Bus Trans Mebidang,” ujarnya.

Untuk itu, sambung Rafiandi, Pemko dapat belajar dari Bus Trans Mebidang. Apakah progresnya surplus atau malah defisit? “Banyak aspek yang perlu dikaji, selain secara ekonomi, sosial dan budaya juga hukum. Jangan nanti ketika pengerjaannya selesai dan beroperasi, muncul pula temuan,” cetusnya.

Ia menuturkan, proyek tersebut harus betul-betul matang dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, kalau bisa berdampak multiplier. Artinya, dari sisi pariwisata juga ikut mendapat efek positif. “Sebagai contoh, trayek yang dilalui LRT dan BRT melintasi tempat wisata di Medan. Sehingga, memudahkan wisatawan mengunjungi destinasi wisata misalnya kebun binantang,” imbuhnya. (ris)

LRT Palembang

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Harapan warga Kota Medan untuk menikmati sarana transportasi Light Rail Transit (LRT) dan Bus Rapid Transit (BRT) tampaknya belum dapat terwujud. Pasalnya, hingga kini proyek infrastruktur gawean pemerintah pusat itu masih terkendal regulasi dan pembiayaan. Namun ada kekhawatiran, LRT dan BRT ini bisa senasib dengan bus Trans Mebidang.

SEKRETARIS Daerah (Sekda) Kota Medan Wiriya Alrahman mengatakan, Pemko Medan saat ini masih menunggu payung hukum proyek tersebut yakni Keputusan Presiden (Keppres). “Sampai kami rapat terakhir yang dihadiri Pak Dirjen Perhubungan Darat dan Wali Kota Medan, proyek tersebut menunggu Keppres yang sedang disiapkan Bappenas. Sebab kalau tidak, semua daerah selain Jakarta tidak akan bisa merealisasikannya,” kata Wiriya, kemarin.

Ia mengaku, Keppres tersebut mengatur tentang urban transport, khususnya berbasis rel. Artinya, bagaimana pola dan seperti apa proyek pembangunan tersebut. “Karena regulasinya belum keluar, maka kemungkinan perencanaan yang sudah disusun mau tidak mau harus mundur,” ucapnya.

Wiriya berharap, Keppres ini segera diterbitkan, sehingga pada akhir tahun ini bisa dilakukan transaksi dengan kementerian terkait. “Kalau Keppres ini belum diterbitkan juga, maka kita tidak bisa melakukan apa-apa,” cetusnya.

Menurut Wiriya, dalam pembahasan antara Pemko Medan dengan pemerintah pusat beberapa waktu lalu, proyek ini juga masih terkendala masalah pembiayaan rolling stock atau sarana dan prasarana pendukung yang nilainya mencapai hampir separuh dari APBD Kota Medan. Dengan kata lain, masalah yang dihadapi terletak pada struktur pembiayaan. Untuk itu, diminta pengadaan rolling stock kewajiban pemerintah pusat. Sebab, pembiayaannya terlalu tinggi.

“Pembiayaan rolling stock pokoknya harus pemerintah pusat yang membiayai. Pemko Medan tidak mau menggadaikan APBD untuk proyek tersebut,” kata dia.

Diutarakan Wiriya, kemampuan fiskal (APBD) Kota Medan terbatas. Kalau tetap bertahan terhadap pembiayaan awal yang sudah diajukan sebesar Rp2,4 triliun lebih, jelas Pemko tidak mampu. “Kalau sampai akhir tahun belum ada kesepakatan antara Pemko dengan pemerintah pusat soal pembiayaan itu, tentu harus diperpanjang waktu penyusunan proyek tersebut. Meskipun kita berkeinginan segera terealisasi. Akan tetapi, inikan persoalan komitmen pemerintah pusat, kalau Pemko sudah komit tetapi dengan keterbatasan fiskal,” sebut Wiriya.

Lebih lanjut Wiriya mengatakan, Pemko sudah mendesak kepada pemerintah pusat terhadap pembiayaan rolling stock supaya ditampung. “Kalau ini sudah diputuskan selanjutnya masuk ke tahap transaksi. Target kami kalau bisa diharapkan pada Oktober (2019),” tuturnya.

Kata dia, dalam pembiayaan rolling stock oleh pemerintah pusat terbentur regulasi. Pasalnya, ada peraturan yang melarang pemerintah pusat menyediakan atau membiayai rolling stock itu. “Pembangunan LRT dan BRT sudah mendesak di Medan. Dari hasil studi atau kajian yang dilakukan, pada 2024 kalau tidak ditangani apapun mulai sekarang maka lalu lintas berhenti dan tak bisa jalan. Sebab, jumlah peningkatan jalan dengan kendaraan sangat jauh perbandingannya. Oleh karena itu, inilah harapannya sebagai solusi persoalan kemacetan di Medan,” tandasnya.

Ia menambahkan, secara keseluruhan proyek ini hampir menghabiskan anggaran mencapai Rp13 triliun. Pembangunan proyek yang ditargetkan rampung pada 2020 mendatang ini struktur pembiayaannya lewat pemerintah pusat dan KPBU atau melibatkan investor. “Struktur pendanaannya masih dibahas untuk dirumuskan berapa persentasenya. Namun yang jelas, dananya sebagian dari APBN dan KPBU,” imbuhnya.

Diketahui, kajian sementara Pemko Medan, jalur LRT akan melintasi Stasiun Besar Kereta Api Medan, Jalan Williem Iskandar, Jalan M Yamin, Jalan Gatot Subroto, Jalan Iskandar Muda, Jalan Universitas Sumatera Utara (USU), Jalan Setia Budi, Jalan Djamin Ginting, dan terakhir di Pasar Induk Laucih, Tuntungan.

Belajar dari Palembang

Sementara, pengamat tata kota, Rafiandi Nasution mengatakan, proyek rencana pembangunan infrastruktur tersebut harus benar-benar dilakukan analisis yang akurat. Jangan sampai nanti sia-sia setelah dibangun atau kurang efektif, seperti di Palembang. “Sebenarnya proyek ini terbilang terlambat, karena Palembang sudah membangun dan beroperasi. Namun, di Palembang sepertinya tidak maksimal dan mengalami kerugian. Seharusnya masih beroperasi hingga pukul 22.00, sekarang sudah dikurangi menjadi pukul 19.00 WIB. Jadi, untuk pengguna yang sudah menjadi member dan memiliki kartu, jika lewat dari pukul 19.00 WIB maka tak berlaku lagi,” ungkap Rafianda.

Dikatakannya, Pemko Medan harus belajar dari Palembang untuk menerapkannya. Sehingga, apa yang terjadi di Palembang tidak terulang di Medan. “Sangat setuju tentunya dibangun LRT dan BRT, tetapi perlu dikaji juga bagaimana kultur budaya masyarakat Medan atau Sumut. Jangan pula setelah dibangun, nasibnya sama seperti proyek Bus Trans Mebidang,” ujarnya.

Untuk itu, sambung Rafiandi, Pemko dapat belajar dari Bus Trans Mebidang. Apakah progresnya surplus atau malah defisit? “Banyak aspek yang perlu dikaji, selain secara ekonomi, sosial dan budaya juga hukum. Jangan nanti ketika pengerjaannya selesai dan beroperasi, muncul pula temuan,” cetusnya.

Ia menuturkan, proyek tersebut harus betul-betul matang dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, kalau bisa berdampak multiplier. Artinya, dari sisi pariwisata juga ikut mendapat efek positif. “Sebagai contoh, trayek yang dilalui LRT dan BRT melintasi tempat wisata di Medan. Sehingga, memudahkan wisatawan mengunjungi destinasi wisata misalnya kebun binantang,” imbuhnya. (ris)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/