Batik dari pewarna yang dihasilkan oleh getah mangrove telah menyebar dan dikenal di berbagai belahan dunia. Misalnya, batik mangrove yang dihasilkan warga Desa Tanjungrejo, Percut Seituan. Karya tangan ini telah menjadi langganan pejabat di negeri ini dan bahkan sampai ke Prancis. Namun, baru saja dikenal, batik dari Deliserdang ini malah rawan hilang karena bahan bakunya semakin terbatas.
Puput Julianti Damanik, Medan
Perjalanan dari Medan menuju Desa Tanjungrejo, Percut Seituan terasa panjang. Sekitar 2 jam waktu yang dihabiskan. Dari melewati perkampungan, persawahan, kebun sawit yang dikelilingi kolam pancing buatan serta parit dengan air berwarna hijau pekat. Sampai di ujung jalan, barulah retetan pohon mangrove terlihat.
Perumahan di Desa Tanjung Rejo tidak padat. Jarak setiap rumah pun berjauhan. Pepohonan mangrove hanya ada di bagian kanan seberang jalan, sementara di sebelah kiri sudah menjadi pemukiman, ladang sawit, dan bila pun ada pohon mangrove hanya tinggal hitungan jari saja.
Lebih dekat, terlihat aktivitas yang tak biasa. Di sebuah pelosok desa di Deliserdang tersebut ada keluarga pembatik. Mereka adalah pasangan suami-istri Rahmawati dan Suprianto. Saat ditemui, di gubuk yang sengaja didirikan di depan rumahnya, Rahma terlihat fokus dengan kain dan canting di tangannya. Didepannya, ada sebuah kompor listrik dan wajan yang berisi cairan lilin sebagai pembatas warna. Ia tak sendiri, ada dua remaja yang tengah belajar membatik.
Sementara itu, Suprianto juga sibuk menjemur kain yang baru saja direndam dalam pewarna alami berbahan dasar mangrove. “Gimana jauh yah kemari, ayo istirahat dulu,” ujar Pasutri ini sambil menghentikan pekerjaannya sebentar.
Rahma menyambut baik kedatangan kami, dengan senang hati ia pun menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan. Menjadi pembatik ternyata sudah dijalani Rahma sejak tahun 2012. Setelah sebelumnya, pada tahun 2010 Rahma dan rekan-rekannya membuat daur ulang sampah, pembuatan makanan dari buah mangrove dan akhirnya mengikuti pelatihan membatik yang diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu).
Saat pelatihan batik, ide cemerlang Rahma muncul. Getah mangrove yang menempel di pakaiannya dan susah hilang membuka pikirannya untuk mencoba getah mangrove menjadi pewarna. Dibantu suami dan rekan-rekannya, mereka pun langsung mempraktikkannya.
“Setelah itu barulah berkembang, kita coba batang yang tua, batang yang masih muda, buah bahkan daun mangrove dan ternyata hasilnya bagus. Terus, kalau merebus batang, daun dan buah ini pakai air biasa tidak keluar warnanya kemudian kami coba pakai air laut dan hasilnya sangat bagus,” kata wanita yang mengaku hanya mencicipi bangku sekolah sampai kelas 5 SD ini.
Dari hasil batik ini, Rahma yang sebelumnya menjadi pembatik hanyalah seorang petani di tanah seluas 20 rantai milik suaminya. Sementara itu, suaminya menjadi nelayan. Penghasilan yang didapatkan dulu, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar hutang. Tidak bisa membantu orangtua yang tengah sakit, merenovasi rumah ataupun membeli kebutuhan sekunder lainnya.
Namun, setelah ia membatik semua berubah. Rahma kini bisa membantu biaya perobatan ibunya yang sakit karena diabetes, merenovasi rumah bahkan tanahnya seluas 20 rantai telah diberikan kepada orangtua untuk dikelola. Suaminya, Suprianto juga tidak lagi menjadi nelayan. Pekerjaannya, kini hanya memilih batang, daun dan buah mangrove kemudian mengerjakan semua proses demi proses hingga menjadi pewarna batik.
“Ini semua berkat batik tadi, batik berbahan mangrove ternyata punya nilai plus tersendiri. Harganya juga sangat dihargai, dari yang termurah itu ada selendang sekitar Rp250 ribu dan satu helai bahan ukuran 2 meter 20 centi bahan kain katun dibandrol Rp900 ribu hingga Rp1,3 juta. Sementara bahan sutera ukuran serupa dibandrol Rp1,5 hingga Rp4,5 juta, bahkan bisa sampai Rp15 juta tergantung motif. Kami juga menerima pesanan motif dan harga bisa disesuaikan,” kata anak ke empat dari sepuluh bersaudara ini.
Saat ini, batik mangrove sudah dikenal di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan isteri para pejabat. “Istri Bupati Deliserdang juga sudah menjadi langganan kita. Ada juga dari Hongkong datang membeli 11 selendang. Terus, warga Prancis juga membeli bakal baju,” katanya.
Namun, hal terpenting, ujar Rahma, masyarakat di Desa Tanjungrejo bisa belajar dan menjadi pembatik mangrove sehingga dapat mengubah status ekonominya. “Ini sebenarnya yang terpenting, mangrove yang terdekat dengan kehidupan kita bisa menjadi pendapatan besar bagi kita tanpa merusaknya. Tanpa harus mengubahnya menjadi sawit, karena hasilnya juga lebih besar dari sawit,” kata Rahma.
Saat ini, kata Rahma, batik mangrove telah dikenal di kalangan masyarakat. Tapi, mangrove di Sumut khususnya di Percut Seituan sudah banyak yang berubah fungsi. “Baru dikenal, tapi bahannya sudah terancam habis. Biasanya untuk bahan pewarna kami hanya mengambil satu batang saja, daunnya atau buahnya, tidak menebang pohonnya,” ujar wanita kelahiran tahun 1985 ini.
Hutan Mangrove Sudah Dikapling-kapling
Usai berbincang, Rahma mengenalkan adik kandungnya, Syamsul Bahri. Ternyata bukan hanya Rahma, kakak, adik bahkan orangtua Rahma sudah lama menanam dan menyatakan diri siap menjaga pohon mangrove. Bahkan, sebelum hadirnya beberapa LSM mereka telah membentuk komunitas di Desa ‘Tunas Mekar’.
Syamsul pun tanpa segan menceritakan kondisi mangrove di desanya. “Kalau dikira-kira hutan mangrove yang masih berdiri di Tanjungrejo ini tinggal 300 hektare aja. Ini juga karena kita tanam lagi, kalau tidak mungkin sudah tinggal sedikit. Kami membentuk komunitas ini untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat sama pohon mangrove tapi ternyata sangat sulit, kami saja yang bergabung hanya sekitar 12 orangan saja,” kata Syamsul.
Mangrove, tambah Syamsul memiliki manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir pantai. “Mangrove itu melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Ini yang kita sampaikan ke masyarakat, tapi tetap saja ada yang menebangnya untuk agen dan pengusaha demi uang, bahkan penjabatnya pun mau dibayar untuk pembebasan lahan dan akhirnya hutan mangrove berubah fungsi jadi sawit dan masyarakatnya diam saja,” kata Syamsul.
Kata ini, kata Syamsul, hutan mangrove juga sudah di kapling-kapling. “Sungai dua di Palobuging mangrove sudah pada dikapling. Pengusaha-pengusaha dari luar dari mata sipit sampe yang pribumi udah tinggal nunggu main aja, tinggal nunggu momen kapan bisa nebangi mangrove-mangrove. Kalau saja masyarakat satu suara, pastilah mereka tak berani masuk kemari,” keluh Syamsul.
Perjuangan Syamsul dan rekan-rekannya untuk memberi edukasi ke rekan-rekannya yang lain ini ternyata tidak gampang, bahkan kerap kali ia dimusuhi oleh warga bahkan datang ancaman mau dibunuh.
“Saya ini di sini makin banyak aja musuhnya. Sering diteror, tapi kita serahkan saja sama yang diatas. Mangrove ini lebih penting, kalau tidak ada mangrove, habis sudah terendam air tempat tinggal kami. Padahal kalau pintar banyak yang bisa dihasilkan dari mangrove khusunya batik mangrove ini.
Kepiting bakau juga bisa jadi pemasukan,” ujarnya.
Tambah Syamsul, tidak banyak yang mereka harapkan dari pemerintah. “Kami hanya mau aparat pemerintah tegas dan pro sama lingkungan. Mangrove memiliki banyak manfaat, selain untuk menangulangi abrasi mangrove juga sebagai bahan pangan dan minuman, dan kosmetik. Saat ini sedang naik daunnya Batik Mangrove sekaligus terancam punah karena mangrove sudah dikapling-kapling. Kami harapkan ketegasan pemerintah,” ujar Syamsul yang sehari-hari bekerja menjadi pencari ikan, kepiting dan membantu membuat pewarna batik ini. (rbb)