27 C
Medan
Friday, October 11, 2024
spot_img

Nezar Djoeli Dorong KPK Perketat Pengawasan Pelaksanaan Proyek dari Pokir Anggota Dewan

MEDAN, SUMUTPOS.CO –  Banyaknya kasus korupsi proyek APBD bersumber dari Pokok Pikiran (Pokir) Anggota Dewan yang menyeret berbagai pihak mendapat respon dari sejumlah kalangan. Lembaga KPK pun diminta untuk melakukan pengawasan pada pengerjaan dari Pokir ini, sehingga nantinya tak ada lagi yang dikorbankan, baik dari pihak swasta maupun pemerintahan, termasuk anggota dewan yang berupaya ‘bermain’ dalam proyek tersebut.

Tanggapan itu datang dari Ketua PSI Sumatera Utara, HM Nezar Djoeli ST. Kepada wartawan, Kamis (12/9/2024), Anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 ini menuturkan, Pokir merupakan kegiatan yang legal dilakukan oleh anggota legislatif yang diperoleh dari aspirasi langsung masyarakat.

“Pokok-pokok pemikiran dari daerah-daerah pemilihan anggota dewan, wajib dijemput melalui reses anggota dewan. Jadi kesimpulannya, Pokir itu halal,” ucap Nezar.

Sementara terkait pengerjaan Pokir yang disalahgunakan, Nezar menegaskan bahwasanya itu merupakan tindakan dari masing-masing individu anggota dewan.

“Proses lahirnya Pokir ini juga gak gampang. Dari reses, ditampung di planning, ditampung di budgeting, kemudian diparipurnakan, disahkan, lalu ditampung ke dalam dinas, lalu masuk ke KUA-PPAS, baru jadilah dia buku APBD. Ini kan prosesnya panjang. Bisa jadi satu tahun prosesnya,” urai Nezar.

Ia juga menyatakan, anggota dewan tidak boleh mengerjakan kegiatan-kegiatan yang bersifat langsung bersentuhan dengan pemerintah (eksekutif) selaku eksekutor. Sebab, hal
itu nantinya akan dianggap korupsi dan gratifikasi.

“Tetapi banyak cara yang bisa dilakukan untuk penekanan terhadap pokir-pokir yang mereka lakukan di saat reses kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait. Dengan alasan, Pokir itu adalah kewajiban mereka untuk dilaksanakan. Tapi sesungguhnya, Pokir itu tak boleh ditarik keuntungan oleh anggota dewan, kalau yang lain
silahkan,” ucap Nezar.

Ia juga tak memungkiri, tak sedikit anggota dewan memanfaatkan oknum – oknum yang mereka percaya untuk mengerjakan Pokir-pokir tersebut.

“Jadi patut diduga, adanya sebuah konspirasi antara oknum legislatif dan eksekutif, sehingga terjadi sebuah kesepakatan jahat dalam pelaksanaan APBD. Belum lagi mengingat manfaat-manfaat di balik itu semua akan diambil oleh anggota dewan yang memiliki Pokir tersebut. Sepanjang dia tidak diambil, itu tidak ada persoalan.
Tetapi kalau diambil (dikerjakan) oleh anggota dewan itu sendiri, itu sudah masuk ke dalam ranah korupsi,” sebut Nezar.

Perketat Pengawasan

Untuk meminimalisir jatuhnya ‘korban’ terkait pengerjaan proyek yang bersumber dari pokok pikiran anggota dewan, dan diduga kuat dikerjakan oleh jaringan anggota dewan tersebut, Nezar menyarankan agar Aparat Penegak Hukum (APH) lebih jeli mencermati kegiatan-kegiatan tersebut. Sebab saat ini mereka (kejaksaan, kepolisian maupun KPK), bertindak bukan sebagai pengawas.

“Memang, kalau KPK ada sub bidangnya untuk pengawasan dan pencegahan. Untuk itu, KPK diminta untuk lebih ketat dalam pengawasan pelaksanaan proyek dari Pokir anggota dewan tersebut,” ungkap Nezar.

Terpisah, Ketua Gerakan Bunuh Politik Uang, Ahmad Fauzi Pohan, menduga pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD yang sejatinya adalah produk aspirasi nampaknya telah beralih fungsi menjadi produk neo-gratifikasi.

Permasalahan ini, sebut Fauzi, adalah imbas dari terlibatnya oknum legislator (DPRD) dalam mengatur mekanisme eksekusi Pokir yang idealnya adalah ranah eksekutor (pemerintah kota/provinsi).

Bentuk keterlibatan oknum legislator ini berupa penyodoran pihak-pihak yang akan menjadi eksekutor proyek hasil pokir tersebut.

Alhasil, pelaksanaan pembangunan pun sarat dengan praktik KKN. Tak sedikit yang akhirnya menjadi tumbal pokir, diantar ke terali besi.

Fauzi pun mendorong pihak APH agar melek terhadap fenomena neo-gratifikasi ini.

“Saya sebagai Ketua Gerakan Bunuh Politik Uang agar menyarankan kepada pihak APH (Aparat Penegak Hukum) khususnya Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Polda Sumut agar segera memantau dan memeriksa gaya baru gratifikasi yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota dewan melalui pokok-pokok pikiran yang dilakukan oleh lembaga yang bernama DPRD Sumatera Utara,” tegas Fauzi.

“Saya siap bekerja sama kepada APH untuk melakukan laporan untuk menindaklanjuti bahwa adanya praktik new gratifikasi yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD,” ujarnya.

Sebelumnya, Kejati Sumut menahan seorang anggota DPRD Provinsi Sumut berinisial JT sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek jalan di Kabupaten Toba yang merugikan keuangan negara sekitar Rp5,13 miliar.

Selain JT, Kejati Sumut juga telah menangkap tiga orang tersangka, yakni Bambang Pardede (BP) yang merupakan mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Provinsi Sumut selaku Kuasa Pengguna Anggaran, Akbar Jainuddin Tanjung (AJT) selaku Direktur PT Eratama Putra Prakarsa, dan Rico Mananti Sianipar (RMS) selaku Pejabat Pembuat Komitmen.

“Tiga orang tersangka saat ini telah menjadi terdakwa dan sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan,” ujar Koordinator Bidang Intelijen Kejati Sumut Yos A Tarigan.

Informasi yang diterima awak media, ada sejumlah oknum anggota dewan yang memperoleh pekerjaan di UPT Binjai senilai Rp14 miliar, di Tarutung Rp14 miliar, dan di Asahan Rp8,5 miliar. Kegiatan neogratifikasi ini pun banyak menyeret oknum-oknum anggota dewan.
(map)

MEDAN, SUMUTPOS.CO –  Banyaknya kasus korupsi proyek APBD bersumber dari Pokok Pikiran (Pokir) Anggota Dewan yang menyeret berbagai pihak mendapat respon dari sejumlah kalangan. Lembaga KPK pun diminta untuk melakukan pengawasan pada pengerjaan dari Pokir ini, sehingga nantinya tak ada lagi yang dikorbankan, baik dari pihak swasta maupun pemerintahan, termasuk anggota dewan yang berupaya ‘bermain’ dalam proyek tersebut.

Tanggapan itu datang dari Ketua PSI Sumatera Utara, HM Nezar Djoeli ST. Kepada wartawan, Kamis (12/9/2024), Anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 ini menuturkan, Pokir merupakan kegiatan yang legal dilakukan oleh anggota legislatif yang diperoleh dari aspirasi langsung masyarakat.

“Pokok-pokok pemikiran dari daerah-daerah pemilihan anggota dewan, wajib dijemput melalui reses anggota dewan. Jadi kesimpulannya, Pokir itu halal,” ucap Nezar.

Sementara terkait pengerjaan Pokir yang disalahgunakan, Nezar menegaskan bahwasanya itu merupakan tindakan dari masing-masing individu anggota dewan.

“Proses lahirnya Pokir ini juga gak gampang. Dari reses, ditampung di planning, ditampung di budgeting, kemudian diparipurnakan, disahkan, lalu ditampung ke dalam dinas, lalu masuk ke KUA-PPAS, baru jadilah dia buku APBD. Ini kan prosesnya panjang. Bisa jadi satu tahun prosesnya,” urai Nezar.

Ia juga menyatakan, anggota dewan tidak boleh mengerjakan kegiatan-kegiatan yang bersifat langsung bersentuhan dengan pemerintah (eksekutif) selaku eksekutor. Sebab, hal
itu nantinya akan dianggap korupsi dan gratifikasi.

“Tetapi banyak cara yang bisa dilakukan untuk penekanan terhadap pokir-pokir yang mereka lakukan di saat reses kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait. Dengan alasan, Pokir itu adalah kewajiban mereka untuk dilaksanakan. Tapi sesungguhnya, Pokir itu tak boleh ditarik keuntungan oleh anggota dewan, kalau yang lain
silahkan,” ucap Nezar.

Ia juga tak memungkiri, tak sedikit anggota dewan memanfaatkan oknum – oknum yang mereka percaya untuk mengerjakan Pokir-pokir tersebut.

“Jadi patut diduga, adanya sebuah konspirasi antara oknum legislatif dan eksekutif, sehingga terjadi sebuah kesepakatan jahat dalam pelaksanaan APBD. Belum lagi mengingat manfaat-manfaat di balik itu semua akan diambil oleh anggota dewan yang memiliki Pokir tersebut. Sepanjang dia tidak diambil, itu tidak ada persoalan.
Tetapi kalau diambil (dikerjakan) oleh anggota dewan itu sendiri, itu sudah masuk ke dalam ranah korupsi,” sebut Nezar.

Perketat Pengawasan

Untuk meminimalisir jatuhnya ‘korban’ terkait pengerjaan proyek yang bersumber dari pokok pikiran anggota dewan, dan diduga kuat dikerjakan oleh jaringan anggota dewan tersebut, Nezar menyarankan agar Aparat Penegak Hukum (APH) lebih jeli mencermati kegiatan-kegiatan tersebut. Sebab saat ini mereka (kejaksaan, kepolisian maupun KPK), bertindak bukan sebagai pengawas.

“Memang, kalau KPK ada sub bidangnya untuk pengawasan dan pencegahan. Untuk itu, KPK diminta untuk lebih ketat dalam pengawasan pelaksanaan proyek dari Pokir anggota dewan tersebut,” ungkap Nezar.

Terpisah, Ketua Gerakan Bunuh Politik Uang, Ahmad Fauzi Pohan, menduga pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD yang sejatinya adalah produk aspirasi nampaknya telah beralih fungsi menjadi produk neo-gratifikasi.

Permasalahan ini, sebut Fauzi, adalah imbas dari terlibatnya oknum legislator (DPRD) dalam mengatur mekanisme eksekusi Pokir yang idealnya adalah ranah eksekutor (pemerintah kota/provinsi).

Bentuk keterlibatan oknum legislator ini berupa penyodoran pihak-pihak yang akan menjadi eksekutor proyek hasil pokir tersebut.

Alhasil, pelaksanaan pembangunan pun sarat dengan praktik KKN. Tak sedikit yang akhirnya menjadi tumbal pokir, diantar ke terali besi.

Fauzi pun mendorong pihak APH agar melek terhadap fenomena neo-gratifikasi ini.

“Saya sebagai Ketua Gerakan Bunuh Politik Uang agar menyarankan kepada pihak APH (Aparat Penegak Hukum) khususnya Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Polda Sumut agar segera memantau dan memeriksa gaya baru gratifikasi yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota dewan melalui pokok-pokok pikiran yang dilakukan oleh lembaga yang bernama DPRD Sumatera Utara,” tegas Fauzi.

“Saya siap bekerja sama kepada APH untuk melakukan laporan untuk menindaklanjuti bahwa adanya praktik new gratifikasi yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD,” ujarnya.

Sebelumnya, Kejati Sumut menahan seorang anggota DPRD Provinsi Sumut berinisial JT sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek jalan di Kabupaten Toba yang merugikan keuangan negara sekitar Rp5,13 miliar.

Selain JT, Kejati Sumut juga telah menangkap tiga orang tersangka, yakni Bambang Pardede (BP) yang merupakan mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Provinsi Sumut selaku Kuasa Pengguna Anggaran, Akbar Jainuddin Tanjung (AJT) selaku Direktur PT Eratama Putra Prakarsa, dan Rico Mananti Sianipar (RMS) selaku Pejabat Pembuat Komitmen.

“Tiga orang tersangka saat ini telah menjadi terdakwa dan sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan,” ujar Koordinator Bidang Intelijen Kejati Sumut Yos A Tarigan.

Informasi yang diterima awak media, ada sejumlah oknum anggota dewan yang memperoleh pekerjaan di UPT Binjai senilai Rp14 miliar, di Tarutung Rp14 miliar, dan di Asahan Rp8,5 miliar. Kegiatan neogratifikasi ini pun banyak menyeret oknum-oknum anggota dewan.
(map)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/