29 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Ini Gerbong Eksekutif, tak Ada yang Jualan…

Menikmati Jalur Kereta Api Terpanjang di Sumut, Medan-Rantauprapat (2)

Sambungan dari: Satu Jam sebelum Berangkat Harus Ada di Stasiun

Perjalanan dimulai. Deru roda kereta api Sribilah terasa berputar di atas rel. Kereta pun bergerak perlahan. Makin lama, makin kencang. Selamat tinggal Medan! Rantauprapat, saya datang!

Kesuma Ramadhan, Medan-Rantauprapat

CUCI: Petugas CS saat mencuci badan kereta api sebelum keberangkatan  Rantauprapat.
CUCI: Petugas CS saat mencuci badan kereta api sebelum keberangkatan ke Rantauprapat.

Beberapa pintu lintasan terlewati. Sribilah melaju stabil. Tempat duduk saya pun stabil memberikan kenyaman. Udara dingin pun mengalir dari mesin pendingin, membuat tubuh terasa dimanjakan. Belum lagi tempat duduk di gerbong eksekutif yang memiliki sandaran kaki. Kalau saja perjalanan ini bukan sebuah tugas, saya pasti sudah terlelap.

Selasa (9/10) lalu gerbong eksekutif memang tidak penuh. Saya lihat beberapa bangku kosong. Mungkin karena ini bukanlah perjalanan akhir pekan, mengingat pada hari-hari  tertentu seperti Jumat, Sabtu, dan Minggu jumlah penumpang akan meningkat drastis dari hari biasanya. Selain itu, harga tiket juga ikut naik dari tarif standar berkisar Rp5 ribu untuk keberangkatan pagi dan siang serta Rp15 ribu untuk keberangkatan malam. Menariknya, peminat tak berkurang. Tak jarang penumpang eksekutif yang kehabisan tiket harus rela duduk di kelas bisnis agar bisa sampai di kota tujuan.

“Setiap akhir pekan biasanya jumlah penumpang di eksekutif dan bisnis selalu penuh,” ujar Misnan, seorang petugas urusan sarana stasiun kereta api. Bahkan menurut pria paruh baya ini, tak jarang pengelola PT KAI menambah gerbong untuk menyiasati tingginya jumlah penumpang.
Dari jendela, saya lihat pemandangan yang membuat miris. Beberapa rumah reot dan tak layak huni terlewati. Memang tidak banyak, karena setelah itu pemandangan berganti dengan hamparan sawah dan rimbunan sawit. Hijau.

Panorama indah kian kental terasa karena dibarengi dengan situasi dan kondisi nyaman dalam gerbong. Tidak terlihat sampah berserak di lantainya. Pengelola jasa perusahaan BUMN ini sepertinya memahami kondisi tersebut. Setidaknya, pengelola memang menyediakan 12 petugas kebersihan. “Ya, setiap perjalaan sedikitnya ada 12 petugas kebersihan yang diberikan tugas menjaga kebersihan tiap gerbong. Kami juga mendapatkan tugas secara bergantian menyapu tiap-tiap gerbong yang kotor,”ujar Frengky yang mengaku baru tiga bulan bekerja di jasa kebersihan kereta api itu.
Tanpa harus menunggu komando, setiap petugas kebersihan dituntut untuk terus memperhatikan tiap gerbong; jangan sampai ada sampah yang berserakan di lantai.

“Kami harus rajin berkeliling supaya tahu gerbong mana yang kotor dan harus dibersihkan,” ujar Frengky lagi.

Apa yang disampaikannya ternyata bukan isapan jempol belaka. Di beberapa gerbong yang saya jelajahi, sampah memang tak bertahan lama. Tidak hanya di gerbong eksekutif, di gerbong bisnis pun sama. Sebagai informasi, kereta Sribilah memang mengangkut kelas eksekutif dan bisnis. Hal ini tentunya beda dengan kereta yang ada di Pulau Jawa; bisnis dan eksekutif dipisah.

Menit demi menit berlalu. Suara klekson nyaring dari kereta api, terus membahana di tiap persimpangan jalan yang dilalui. Secara bersamaan, suara erangan dari perut yang mulai mengumandangkan genderang keroncong semakin mendayu.

Alasan takut terlambat telah membuat saya tidak sarapan. Tak ingin berlarut, sebuah restorasi (kantin) yang tersedia di gerbong ketiga menjadi sasaran. Enam meja tersedia dengan kursi yang saling berhadapan di restorasi itu. Sebuah dapur mini yang ditata rapi disediakan untuk menyiapkan pesanan penumpang.

Hanya lima menit, pesanan nasi goreng spesial dan teh manis hangat diantarkan pramusaji. Secangkir teh dan sepiring nasi goreng dengan harga Rp30 ribu dirasa cukup mengganjal perjalanan yang menghabiskan waktu tujuh jam itu.

Memang, jasa pemesanan makanan disediakan pengelola kantin kereta api di setiap gerbongnya. Hanya saja untuk bisa merasakan suasana langsung dengan berjalan gontai, merupakan alasan utama saya menyusuri beberapa gerbong.  Setidaknya kesan seksi lebih layak disandang kereta api ketimbang angkutan darat lain seperti bus.

Selain ukuran yang lebih panjang dan lebih leluasa. Tingkat keselamatan juga jauh lebih tinggi karena kereta api melaju di atas jalur yang telah ditentukan. Terkadang senandung peluit dan klakson kereta api menambah nilai lebih perjalanan. Ya, di balik kenyamanan dan ruang gerak yang tidak terbatas, kereta api juga menyediakan berbagai fasilitas yang diinginkan.

Satu jam berlalu, kondektur hadir dengan kawalan dua petugas polisi kereta api (Polsuska). Setiap penumpang diminta untuk menunjukkan tiket. Tiket pun dilubangi dengan perforator (alat pelubang kertas) untuk mencegah penumpang gelap. Selesai melaksanakan tugas, ketiganya berlalu di balik pintu gerbong.

Waktu terus berjalan. Tak banyak penjaja makanan yang hadir di setiap pemberhentian stasiun. Paling, hanya beberapa pedagang saja yang berani menawarkan dagangannya di depan pintu gerbong. Terkadang, suara lantang para pedagang menggema di ruang berkapasitas 52 penumpang itu. Mereka hanya berani  menawarkan dari sudut pintu. Usaha mereka untuk menarik simpati tak digubris para penumpang rata-rata berkelas high class yang lebih memilih makanan cepat saji dibanding mie, pecal, ataupun peyek yang diragukan kehigienisannya.

Tujuh jam sudah berlalu. Setelah melewati lebih dari tujuh stasiun pemberhentian di antaranya Lubukpakam, Tebing, Kisaran, Mambang Muda, Pamingke, Padang Halaban, dan Merbau perjalanan pun usai. Stasiun Rantauprapat telah didapat. Ratusan penumpang sibuk menurunkan barang bawaannya. Ya, tepat pukul 15.00 WIB saya tiba di kota tersebut.

Suara ribut dari penarik becak motor (betor) menawarkan jasa dari luar gerbang terus mengiang ditelinga. Seakan memberikan nuansa yang tak jauh berbeda dari kota-kota lainnya. Hm, besok saya harus kembali lagi ke stasiun ini. Ya, mencoba jalur kereta api terpanjang di Sumut, Rantauprapat-Medan dengan kelas yang berbeda; bisnis. Adakah akan menyenangkan juga? (*)

Menikmati Jalur Kereta Api Terpanjang di Sumut, Medan-Rantauprapat (2)

Sambungan dari: Satu Jam sebelum Berangkat Harus Ada di Stasiun

Perjalanan dimulai. Deru roda kereta api Sribilah terasa berputar di atas rel. Kereta pun bergerak perlahan. Makin lama, makin kencang. Selamat tinggal Medan! Rantauprapat, saya datang!

Kesuma Ramadhan, Medan-Rantauprapat

CUCI: Petugas CS saat mencuci badan kereta api sebelum keberangkatan  Rantauprapat.
CUCI: Petugas CS saat mencuci badan kereta api sebelum keberangkatan ke Rantauprapat.

Beberapa pintu lintasan terlewati. Sribilah melaju stabil. Tempat duduk saya pun stabil memberikan kenyaman. Udara dingin pun mengalir dari mesin pendingin, membuat tubuh terasa dimanjakan. Belum lagi tempat duduk di gerbong eksekutif yang memiliki sandaran kaki. Kalau saja perjalanan ini bukan sebuah tugas, saya pasti sudah terlelap.

Selasa (9/10) lalu gerbong eksekutif memang tidak penuh. Saya lihat beberapa bangku kosong. Mungkin karena ini bukanlah perjalanan akhir pekan, mengingat pada hari-hari  tertentu seperti Jumat, Sabtu, dan Minggu jumlah penumpang akan meningkat drastis dari hari biasanya. Selain itu, harga tiket juga ikut naik dari tarif standar berkisar Rp5 ribu untuk keberangkatan pagi dan siang serta Rp15 ribu untuk keberangkatan malam. Menariknya, peminat tak berkurang. Tak jarang penumpang eksekutif yang kehabisan tiket harus rela duduk di kelas bisnis agar bisa sampai di kota tujuan.

“Setiap akhir pekan biasanya jumlah penumpang di eksekutif dan bisnis selalu penuh,” ujar Misnan, seorang petugas urusan sarana stasiun kereta api. Bahkan menurut pria paruh baya ini, tak jarang pengelola PT KAI menambah gerbong untuk menyiasati tingginya jumlah penumpang.
Dari jendela, saya lihat pemandangan yang membuat miris. Beberapa rumah reot dan tak layak huni terlewati. Memang tidak banyak, karena setelah itu pemandangan berganti dengan hamparan sawah dan rimbunan sawit. Hijau.

Panorama indah kian kental terasa karena dibarengi dengan situasi dan kondisi nyaman dalam gerbong. Tidak terlihat sampah berserak di lantainya. Pengelola jasa perusahaan BUMN ini sepertinya memahami kondisi tersebut. Setidaknya, pengelola memang menyediakan 12 petugas kebersihan. “Ya, setiap perjalaan sedikitnya ada 12 petugas kebersihan yang diberikan tugas menjaga kebersihan tiap gerbong. Kami juga mendapatkan tugas secara bergantian menyapu tiap-tiap gerbong yang kotor,”ujar Frengky yang mengaku baru tiga bulan bekerja di jasa kebersihan kereta api itu.
Tanpa harus menunggu komando, setiap petugas kebersihan dituntut untuk terus memperhatikan tiap gerbong; jangan sampai ada sampah yang berserakan di lantai.

“Kami harus rajin berkeliling supaya tahu gerbong mana yang kotor dan harus dibersihkan,” ujar Frengky lagi.

Apa yang disampaikannya ternyata bukan isapan jempol belaka. Di beberapa gerbong yang saya jelajahi, sampah memang tak bertahan lama. Tidak hanya di gerbong eksekutif, di gerbong bisnis pun sama. Sebagai informasi, kereta Sribilah memang mengangkut kelas eksekutif dan bisnis. Hal ini tentunya beda dengan kereta yang ada di Pulau Jawa; bisnis dan eksekutif dipisah.

Menit demi menit berlalu. Suara klekson nyaring dari kereta api, terus membahana di tiap persimpangan jalan yang dilalui. Secara bersamaan, suara erangan dari perut yang mulai mengumandangkan genderang keroncong semakin mendayu.

Alasan takut terlambat telah membuat saya tidak sarapan. Tak ingin berlarut, sebuah restorasi (kantin) yang tersedia di gerbong ketiga menjadi sasaran. Enam meja tersedia dengan kursi yang saling berhadapan di restorasi itu. Sebuah dapur mini yang ditata rapi disediakan untuk menyiapkan pesanan penumpang.

Hanya lima menit, pesanan nasi goreng spesial dan teh manis hangat diantarkan pramusaji. Secangkir teh dan sepiring nasi goreng dengan harga Rp30 ribu dirasa cukup mengganjal perjalanan yang menghabiskan waktu tujuh jam itu.

Memang, jasa pemesanan makanan disediakan pengelola kantin kereta api di setiap gerbongnya. Hanya saja untuk bisa merasakan suasana langsung dengan berjalan gontai, merupakan alasan utama saya menyusuri beberapa gerbong.  Setidaknya kesan seksi lebih layak disandang kereta api ketimbang angkutan darat lain seperti bus.

Selain ukuran yang lebih panjang dan lebih leluasa. Tingkat keselamatan juga jauh lebih tinggi karena kereta api melaju di atas jalur yang telah ditentukan. Terkadang senandung peluit dan klakson kereta api menambah nilai lebih perjalanan. Ya, di balik kenyamanan dan ruang gerak yang tidak terbatas, kereta api juga menyediakan berbagai fasilitas yang diinginkan.

Satu jam berlalu, kondektur hadir dengan kawalan dua petugas polisi kereta api (Polsuska). Setiap penumpang diminta untuk menunjukkan tiket. Tiket pun dilubangi dengan perforator (alat pelubang kertas) untuk mencegah penumpang gelap. Selesai melaksanakan tugas, ketiganya berlalu di balik pintu gerbong.

Waktu terus berjalan. Tak banyak penjaja makanan yang hadir di setiap pemberhentian stasiun. Paling, hanya beberapa pedagang saja yang berani menawarkan dagangannya di depan pintu gerbong. Terkadang, suara lantang para pedagang menggema di ruang berkapasitas 52 penumpang itu. Mereka hanya berani  menawarkan dari sudut pintu. Usaha mereka untuk menarik simpati tak digubris para penumpang rata-rata berkelas high class yang lebih memilih makanan cepat saji dibanding mie, pecal, ataupun peyek yang diragukan kehigienisannya.

Tujuh jam sudah berlalu. Setelah melewati lebih dari tujuh stasiun pemberhentian di antaranya Lubukpakam, Tebing, Kisaran, Mambang Muda, Pamingke, Padang Halaban, dan Merbau perjalanan pun usai. Stasiun Rantauprapat telah didapat. Ratusan penumpang sibuk menurunkan barang bawaannya. Ya, tepat pukul 15.00 WIB saya tiba di kota tersebut.

Suara ribut dari penarik becak motor (betor) menawarkan jasa dari luar gerbang terus mengiang ditelinga. Seakan memberikan nuansa yang tak jauh berbeda dari kota-kota lainnya. Hm, besok saya harus kembali lagi ke stasiun ini. Ya, mencoba jalur kereta api terpanjang di Sumut, Rantauprapat-Medan dengan kelas yang berbeda; bisnis. Adakah akan menyenangkan juga? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/