Meningkatnya kebutuhan dan gaya hidup masyarakat menciptakan peluang bisnis yang menggiurkan. Tingginya permintaan serta adanya kemudahan baik prosedur kerja maupun pemasaran, membuat banyak orang tertarik untuk berbisnis.
Hingga kini, bisnis kuliner adalah yang paling banyak diminati. Pangan sebagai kebutuhan pokok menjadi faktor utama meluasnya jenis bisnis ini. Namun, dengan maraknya bisnis kuliner membuat setiap pengusaha mau tidak mau harus terus menyajikan variasi dan inovasi bagi konsumen. Hal tersebut mutlak dilakukan jika tidak ingin tersingkir dari persaingan bisnis yang sangat kompetitif.
Setelah trend sayuran organik mewabah di berbagai kota besar di Indonesia, kini giliran jamur yang turut merasakan popularitas. Berbagai jenis masakan yang biasa, kini mulai dipadu padankan dengan tumbuhan jamur. Seperti mie ayam jamur, sup jamur tiram, sate jamur, soto jamur, pepes jamur, oseng-oseng jamur, dan masih banyak lainnya. Walau hanya berupa bahan tambahan dalam masakan, jamur sangat disukai dan sering digunakan.
Di Indonesia , budidaya jamur secara komersial sudah dimulai pada awal tahun 1970-an. Yang antara lain dengan adanya industi Jamur Kancing di Dieng, Jamur Merang di Purwakarta, Jamur Kuping di Yogya dan pertumbuhan budidaya Jamur Tiram di berbagai daerah di Indonesia. Namun baru beberapa tahun belakangan ini, jamur dikenal dan digunakan oleh semua kalangan masyarakat. Hal ini tentu berkaitan dengan semakin banyaknya peminat dan pelaku usaha budidaya jamur.
Hebatnya, tidak hanya pengusaha yang tertarik pada bisnis jamur. Banyak juga mahasiswa yang tergiur usaha jenis tumbuhan yang satu ini. Salah satu diantaranya adalah sejumlah mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang tergabung di Komunitas Waklabu Kota Medan. Dengan bantuan modal salah seorang dosen, terhitung Juli 2011, komunitas diskusi dan kegiatan sosial ini memulai usaha budidaya jamur tiram.
“Jamur tiram kami pilih karena proses budidayanya yang tidak begitu sulit, tidak memerlukan lahan yang luas, serta teknologi yang digunakan cukup sederhana,”ujar Muhammad Iqbal Damanik, anggota Komunitas Waklabu.
Melihat maraknya budidaya dan bisnis jamur tiram yang cukup kompetitif di kawasan Kota Medan, Waklabu mau tidak mau harus menjaukan diri dari kesan biasa. Setelah mengamati pasar, Waklabu mendapati bahwa produksi jamur segar bukan lagi hal yang baru di Medan. Sedangkan olahan jamur, masih sangat jarang ditemui. Untuk itu, mereka juga mengkreasikan berbagai olahan jamur disamping produksi jamur segar.
Jenis olahan jamur yang berhasil dikreasikan adalah nugget, bakso, dan risoles jamur. Jika sebelumnya kita ketahui bahwa panganan instan tersebut kurang baik untuk kesehatan, lain halnya dengan kreasi Waklabu ini. Bahan-bahan makanan tersebut dikombinasikan dengan tanaman jamur yang berhasiat untuk menurunkan kolesterol sehingga nugget, bakso ataupun risoles yang dikonsumsi sangat bermanfaat bagi pengkonsumsi terutama bagi orang-orang yang ingin menurunkan kadar kolesterol. Hal tersebut dikarenakan adanya Plovastin pada jamur tiram yang baik untuk menghambat metabolisme kolesterol dalam tubuh.
Menurut Komunitas Waklabu panganan jamur ini cocok untuk pecinta makanan cepat saji yang juga tetap ingin hidup sehat. Selain itu segmentasi pasar lainnya adalah para vegetarian. Kekenyalan serta rasanya tidak jauh berbeda dengan daging ayam. Ditambah lagi jamur tidak memiliki aroma yang menyengat. Tidak heran jika olahan jamur ngetop di kalangan konsumen ini. Iqbal, yang merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi USU ini, juga menambahkan bahwa mereka kini tengah berusaha membentuk brand dan memasarkan olahan jamur tiram ke luar kota. Harga yang dipatok untuk nugget dan bakso adalah Rp 7.500,00-/200gr ,sedangkan risoles Rp 1.200,00-/buah. Selain penjualan langsung, komunitas Waklabu juga menerima pesanan secara online melalui facebook dan jejaring sosial lainnya. Selain itu, 10% dari keuntungan bisnis jamur tiram nantinya akan dialokasikan untuk kegiatan Waklabu.
Dwina Astrina,
Mahasiswi FISIP USU