25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Yang Suka Keramaian, Cobalah Gerbong Bisnis…

Menikmati Jalur Kereta Api Terpanjang di Sumut, Medan-Rantauprapat (3/Habis)

Setiap buku ada pembacanya. Begitupun setiap alat transportasi, pasti ada pelanggannya. Keyakinan ini semakin saya rasakan setelah menjalani rute terpanjang jalur kereta api di Sumut. Ya, bolak-balik, Medan-Rantauprapat dan Rantauprapat-Medan, dalam dua hari.

Kesuma Ramadhan, Rantauprapat-Medan

Setelah menikmati kelas eksekutif saat berangkat, Rabu (10/10) lalu, saya mencoba kelas bisnis untuk kembali ke Medan. Dan, hasil yang saya dapati cukup berbeda.

Seperti saat berangkat, saya pun membeli tiket dari Indomaret. Sebuah gerai waralaba yang berada di Rantauprapat itu saya datangi. “Keberangkatan ke Medan kereta api Sribilah kelas bisnis harga tiketnya Rp77 ribu. Berangkat pukul 08.00 WIB. Struk pembayaran ini nantinya langsung ditukarkan dengan tiket asli di loket, dan harus menggunakan KTP asli ya Bang,” kata pelayan, persis dengan pelayan Indomaret yang berada di Medan tempo hari.

Persis di Medan pula, dari harga yang lebih tinggi dari harga normal itu, saya memperoleh satu botol air mineral. Dan, sekali lagi, persis dengan di Medan, saya pun tiba di Stasiun Rantauprapat yang berada di Jalan WR Supratman setengah jam sebelum keberangkatan. Setiba di stasiun itu, terlihat lalu lalang calon penumpang dan keluarga pengantar yang terpisah pagar pembatas. Ya, tidak ada yang diperbolehkan masuk ke dalam stasiun kecuali memiliki tiket disertai data pribadi.
Setelah melewati proses singkat dan mendapatkan stempel dari polisi khusus kereta api, sebuah sambutan hangat kembali ditunjukkan petugas kereta api lainnya untuk mennjukkan lokasi gerbong penumpang sesuai tiket.
Pukul 08.00 tepat, suara peluit dari petugas mulai terdengar. Imbauan operator agar bersiap memulai keberangkatan dikabarkan dengan sebuah pengeras suara menggema di setiap sudut tiang yang ada.

Duduk di gerbong keempat paling belakang, dari tujuh gerbong yang tersedia, memberikan sedikit nuansa berbeda. Kondisi gerbong berada ekor. Getaran dalam gerbong saat memulai perjalanan membuat perut mual seakan diobok-obok. Apalagi, saat kereta api berjalan pelan. Namun, secara perlahan rasa mual itu hilang ketika kereta mulai memperlihatkan kecepatannya.

Bisnis kelas I dengan nomor kursi 2 A, letak duduk berada di urutan kedua dari belakang. Dari kenyamanan, memang kelas bisnis sedikit berbeda dari kelas eksekutif. Meskipun berada dalam ruang ber-AC, serta tersedia fasilitas bantal dengan biaya sewa Rp3 ribu, tetap saja ruangan ini masih kalah.

Tangisan bayi dan tawa polos dari sejumlah bocah sering menggema di dalam gerbong bisnis. Suara ini tentu saja tidak akan terdengar di ruang eksekutif yang terkesan lebih sepi dan sunyi. Bahkan jarang terjalin komunikasi yang baik, antara penumpang yang duduk bersebelahan. Mungkin untuk menjaga kesan bahwa penumpang eksekutif adalah kasta atas.

Kereta api terus meluncur di atas jalurnya. Sesekali berhenti di sejumlah stasiun kecil seperti Pulau Raja, untuk memenuhi kursi yang masih kosong. Sebuah pengalaman dirasakan berbeda ketika kereta api berhenti di Stasiun Kisaran. Puluhan pedagang keliling dari bermacam jenis produk makanan hingga mainan memenuhi gerbong. Pengamen dengan alat musik dan suara vokal yang beragam hingga peminta-peminta berlomba naik ke atas kereta api. Hiruk pikuk suasana gerbong pun tak terhindarkan. Jangankan berpikir memejamkan mata menghilangkan kantuk, untuk berdiri pun tak ada rongga yang tersedia. Belum lagi, hiruk pikuk para penjaja makanan yang beradu cepat dengan waktu keberangkatan kereta.
“Ceker ayam Bang, pop mie Kak, aqua, dodol, roti kacang Buk,” teriakan-teriakan para penjaja makanan layaknya sebuah pasar.

Setidaknya, nuansa keramaian seperti inilah menambah keseksian gerbong bisnis yang tidak bisa dirasakan pada gerbong eksekutif sebelumnya. Kondisi ini juga berlangsung di beberapa stasiun pemberhentian besar lainnya seperti Tebingtinggi dan Perlanaan.

Dari sekian banyak yang ditawarkan, burung goreng menjadi pilihan saya setelah cukup lama berpikir. Delapan ekor burung goreng dengan harga Rp40 ribu dirasa cukup untuk dinikmati; sisanya untuk buah tangan buat keluarga tercinta.
Lain halnya bagi penumpang yang enggan merasakan nikmatnya kuliner dari para penjaja makanan keliling. Restorasi yang terletak tepat dibelakang gerbong bisnis I menjadi alternatif untuk sekedar menikmati makanan ataupun minuman hangat yang disediakan.

Sementara bagi para pecandu nikotin. Bordes atau lokasi yang memiliki lebar sekitar empat meter dan panjang dua meter yang menghubungkan satu gerbong dengan gerbong lainnya bisa dijadikan alternatif.
Semuanya tersedia di kereta api sesuai dengan keinginan dan hasrat penumpang.

Hampir enam jam perjalanan berlalu. Kereta api tiba di Stasiun Perbaungan. Tidak ada lagi penjaja makanan yang terlihat. Keheningan kian tampak, saat sejumlah penumpang tertidur pulas karena lelah meladeni para pengais rezeki di atas gerbong. Tak jarang juga kain panjang bergelantungan menjadi ayunan. Sesekali terdengar nyanyian kecil sang ibu mencoba menidurkan bayinya.

Sedangkan sebahagian kursi penumpang lainnya terlihat kosong setelah ditinggal pergi. Lumayan, saya bisa meluruskan badan. Laju kereta api mulai terasa pelan saat tiba di stasiun Lubukpakam. Sebentar lagi sampai di Medan, itu yang ada dipikiran sejumlah penumpang. Berbagai persiapan dilakukan, beberapa penumpang memilih untuk turun di Stasiun Bandar Klippa. Sementara sebahagian besar tetap menanti di pengujung trem. Mentok di stasiun kereta api Kota Medan.
Selesai. Perjalanan selama dua hari dengan kereta api yang sama namun dengan dua kelas berbeda telah terjalani. Ada yang membekas di otak, ada pula yang ingin dibuang. Namun, setelah menikmati jalur yang konon katanya paling panjang di Sumatera Utara ini, saya makin yakin kalau penikmat kereta api itu memang banyak. Bahkan, bertambah banyak akibat dari sekian kemudahan yang telah dibuat PT Kereta Api Indonesia. Ada yang ingin mencoba? (*)

Sambungan dari: Ini Gerbong Eksekutif, tak Ada yang Jualan…

Menikmati Jalur Kereta Api Terpanjang di Sumut, Medan-Rantauprapat (3/Habis)

Setiap buku ada pembacanya. Begitupun setiap alat transportasi, pasti ada pelanggannya. Keyakinan ini semakin saya rasakan setelah menjalani rute terpanjang jalur kereta api di Sumut. Ya, bolak-balik, Medan-Rantauprapat dan Rantauprapat-Medan, dalam dua hari.

Kesuma Ramadhan, Rantauprapat-Medan

Setelah menikmati kelas eksekutif saat berangkat, Rabu (10/10) lalu, saya mencoba kelas bisnis untuk kembali ke Medan. Dan, hasil yang saya dapati cukup berbeda.

Seperti saat berangkat, saya pun membeli tiket dari Indomaret. Sebuah gerai waralaba yang berada di Rantauprapat itu saya datangi. “Keberangkatan ke Medan kereta api Sribilah kelas bisnis harga tiketnya Rp77 ribu. Berangkat pukul 08.00 WIB. Struk pembayaran ini nantinya langsung ditukarkan dengan tiket asli di loket, dan harus menggunakan KTP asli ya Bang,” kata pelayan, persis dengan pelayan Indomaret yang berada di Medan tempo hari.

Persis di Medan pula, dari harga yang lebih tinggi dari harga normal itu, saya memperoleh satu botol air mineral. Dan, sekali lagi, persis dengan di Medan, saya pun tiba di Stasiun Rantauprapat yang berada di Jalan WR Supratman setengah jam sebelum keberangkatan. Setiba di stasiun itu, terlihat lalu lalang calon penumpang dan keluarga pengantar yang terpisah pagar pembatas. Ya, tidak ada yang diperbolehkan masuk ke dalam stasiun kecuali memiliki tiket disertai data pribadi.
Setelah melewati proses singkat dan mendapatkan stempel dari polisi khusus kereta api, sebuah sambutan hangat kembali ditunjukkan petugas kereta api lainnya untuk mennjukkan lokasi gerbong penumpang sesuai tiket.
Pukul 08.00 tepat, suara peluit dari petugas mulai terdengar. Imbauan operator agar bersiap memulai keberangkatan dikabarkan dengan sebuah pengeras suara menggema di setiap sudut tiang yang ada.

Duduk di gerbong keempat paling belakang, dari tujuh gerbong yang tersedia, memberikan sedikit nuansa berbeda. Kondisi gerbong berada ekor. Getaran dalam gerbong saat memulai perjalanan membuat perut mual seakan diobok-obok. Apalagi, saat kereta api berjalan pelan. Namun, secara perlahan rasa mual itu hilang ketika kereta mulai memperlihatkan kecepatannya.

Bisnis kelas I dengan nomor kursi 2 A, letak duduk berada di urutan kedua dari belakang. Dari kenyamanan, memang kelas bisnis sedikit berbeda dari kelas eksekutif. Meskipun berada dalam ruang ber-AC, serta tersedia fasilitas bantal dengan biaya sewa Rp3 ribu, tetap saja ruangan ini masih kalah.

Tangisan bayi dan tawa polos dari sejumlah bocah sering menggema di dalam gerbong bisnis. Suara ini tentu saja tidak akan terdengar di ruang eksekutif yang terkesan lebih sepi dan sunyi. Bahkan jarang terjalin komunikasi yang baik, antara penumpang yang duduk bersebelahan. Mungkin untuk menjaga kesan bahwa penumpang eksekutif adalah kasta atas.

Kereta api terus meluncur di atas jalurnya. Sesekali berhenti di sejumlah stasiun kecil seperti Pulau Raja, untuk memenuhi kursi yang masih kosong. Sebuah pengalaman dirasakan berbeda ketika kereta api berhenti di Stasiun Kisaran. Puluhan pedagang keliling dari bermacam jenis produk makanan hingga mainan memenuhi gerbong. Pengamen dengan alat musik dan suara vokal yang beragam hingga peminta-peminta berlomba naik ke atas kereta api. Hiruk pikuk suasana gerbong pun tak terhindarkan. Jangankan berpikir memejamkan mata menghilangkan kantuk, untuk berdiri pun tak ada rongga yang tersedia. Belum lagi, hiruk pikuk para penjaja makanan yang beradu cepat dengan waktu keberangkatan kereta.
“Ceker ayam Bang, pop mie Kak, aqua, dodol, roti kacang Buk,” teriakan-teriakan para penjaja makanan layaknya sebuah pasar.

Setidaknya, nuansa keramaian seperti inilah menambah keseksian gerbong bisnis yang tidak bisa dirasakan pada gerbong eksekutif sebelumnya. Kondisi ini juga berlangsung di beberapa stasiun pemberhentian besar lainnya seperti Tebingtinggi dan Perlanaan.

Dari sekian banyak yang ditawarkan, burung goreng menjadi pilihan saya setelah cukup lama berpikir. Delapan ekor burung goreng dengan harga Rp40 ribu dirasa cukup untuk dinikmati; sisanya untuk buah tangan buat keluarga tercinta.
Lain halnya bagi penumpang yang enggan merasakan nikmatnya kuliner dari para penjaja makanan keliling. Restorasi yang terletak tepat dibelakang gerbong bisnis I menjadi alternatif untuk sekedar menikmati makanan ataupun minuman hangat yang disediakan.

Sementara bagi para pecandu nikotin. Bordes atau lokasi yang memiliki lebar sekitar empat meter dan panjang dua meter yang menghubungkan satu gerbong dengan gerbong lainnya bisa dijadikan alternatif.
Semuanya tersedia di kereta api sesuai dengan keinginan dan hasrat penumpang.

Hampir enam jam perjalanan berlalu. Kereta api tiba di Stasiun Perbaungan. Tidak ada lagi penjaja makanan yang terlihat. Keheningan kian tampak, saat sejumlah penumpang tertidur pulas karena lelah meladeni para pengais rezeki di atas gerbong. Tak jarang juga kain panjang bergelantungan menjadi ayunan. Sesekali terdengar nyanyian kecil sang ibu mencoba menidurkan bayinya.

Sedangkan sebahagian kursi penumpang lainnya terlihat kosong setelah ditinggal pergi. Lumayan, saya bisa meluruskan badan. Laju kereta api mulai terasa pelan saat tiba di stasiun Lubukpakam. Sebentar lagi sampai di Medan, itu yang ada dipikiran sejumlah penumpang. Berbagai persiapan dilakukan, beberapa penumpang memilih untuk turun di Stasiun Bandar Klippa. Sementara sebahagian besar tetap menanti di pengujung trem. Mentok di stasiun kereta api Kota Medan.
Selesai. Perjalanan selama dua hari dengan kereta api yang sama namun dengan dua kelas berbeda telah terjalani. Ada yang membekas di otak, ada pula yang ingin dibuang. Namun, setelah menikmati jalur yang konon katanya paling panjang di Sumatera Utara ini, saya makin yakin kalau penikmat kereta api itu memang banyak. Bahkan, bertambah banyak akibat dari sekian kemudahan yang telah dibuat PT Kereta Api Indonesia. Ada yang ingin mencoba? (*)

Sambungan dari: Ini Gerbong Eksekutif, tak Ada yang Jualan…

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/