32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Poldasu Usut Pembuang Bangkai Babi ke Sungai

Temuan ratusan bangkai babi yang mengapung di sejumlah sungai, khususnya di Kota Medan dan Deliserdang, sudah sangat meresahkan masyarakat. Air sungai pun disinyalir telah tercemar. Namun, hingga kini belum diketahui dari mana dan siapa pelaku yang membuang ratusan bangkai babi itu ke sungai.

DIREKTORAT Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut telah menurunkan timnya untuk melakukan penyelidikan dan penelusuran atas temuan ratusan bangkai babi yang dibuang ke sungai dan Danau Siombak, Medan Marelan. Direktur Ditreskrimsus Polda Sumut, Kombes Pol Rony Samtana mengaku penelusuran ini khususnya untuk mengetahui secara pasti, apakah bangkai-bangkai tersebut dibuang oleh perorangan atau malah perusahaan.

“Saat ini masih kita selidiki. Jadi kita harus tahu dulu siapa yang membuang, setelah itu baru kita cari tahu apakah dilakukan secara sengaja atau tidak,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa (12/11).

Saat disinggung, apakah ada menyangkut ranah hukumnya jika membuang bangkai babi di sungai, Rony menjelaskan jika dilakukan dengan sengaja tentunya ada. Untuk itu ia berharap kepada masyarakat, apabila ada mengetahui informasi tentang pembuangan bangkai babi ke sungai, untuk segera menghubungi Ditreskrimsus Polda Sumut. “Kita akan merahasiakan identitas dari informan kita. Yang penting kita bisa tuntas dalam penyelidikan dan bisa menentukan siapa tersangkanya,” tandasnya.

Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Ikhwan juga menegaskan, secara hukum Poldasu telah membuat tim gabungan untuk menyelidiki pelaku yang tidak bertanggung jawab membuang bangkai babi ke sungai. “Untuk antisipasi, Polres Pelabuhan Belawan bersama instansi terkait melakukan patroli dengan menyisir sungai untuk memonitor bangkai babi yang masih dibuang ke sungai,” pungkasnya.

Terpisah, Kasat Reskrim Polres deliserdang, AKP Rafles Langgak Putra Marpaung SIK didampingi Humas Iptu Masfan Naibaho SH menegaskan, pelaku pembuang bangkai babi secara sembarang dapat diancam hukum 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp3 miliar.

Menurut Masfan, bila ada pihak yang tidak bertanggungjawab membuang bangkai babi dengan sengaja ke aliran sungai maupun lokasi lainnya dan berakibat terjadinya pencemaran lingkungan hingga meresahkan masyarakat pasti akan dilakukan tindakan hukum. “Pelaku dapat dijerat UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp3 miliar,” sebutnya.

Tak hanya itu, kata Masfan, Polresta Deliserdang juga sudah membentuk tim khusus terkait maraknya kematian babi yang diduga akibat wabah hog cholera belakangan ini. Apalagi, hal ini menjadi suatu potensi gangguan Kamtibmas sehingga perlu pencegahan dan penanganan yang cepat dan tepat. “Polresta Deli Serdang sudah berkoordinasi dengan Dinas Peternakan Deliserdang dan membentuk tim khusus yang terdiri dari Satreskrim, Kanit Reskrim sejajaran dan Bhabinkamtibmas”, katanya.

Tak hanya Kepolisian, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) juga memberikan atensi yang sama dengan membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) yang terdiri dari Satpol PP, Biro Hukum dan OPD terkait unuk menelusuri penyebab dan pelaku pembuangan bangkai-bangkai babi itu ke sungai.

“Tim ini sedang menelusuri terutama di sepanjang Sei Badera sampai dengan di Terjun dan Danau Siombak atas pembuangan limbah babi tersebut. Kami sudah rapat koordinasi di Satpol PP dan juga Biro Hukum, bagaimana langkah-langkah penegakan hukum bagi pelaku pembuangan limbah. Namun untuk oknum yang melakukan, kami belum sampai ke sana,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan pada Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Mulkan Harahap.

Apakah ada gambaran bahwa bangkai babi tersebut sengaja dibuang dari daerah lain di Sumut? Mulkan bilang sesuai informasi dari Camat Medan Marelan, bahwa pembuangan bangkai babi pertama sekali diketahui terjadi di Sei Badera. Dengan demikian, ada indikasi bahwa yang melakukan pembuangan babi tidak jauh-jauh dari lokasi tersebut. Seperti di sekitaran peternak yang menetap di wilayah Kecamatan Sunggal dan Helvetia, Deliserdang.

“Begitupun saya tidak bisa menyimpulkannya. Nanti tim yang akan melakukan penyelidikan kearah itu. Sebab pertama kali dibuang justru di Sei Bedera lalu dia hanyut hingga ke Sungai Belawan. Termasuk juga karena air pasang limbahnya naik lagi ke Danau Siombak. Jadi inilah yang akan ditelusuri oleh tim,” katanya.

Pernah Mewabah Pada 1998

Wabah hog cholera ternyata bukan baru pertama terjadi di Sumatera Utara. Selain menyerang ternak babi, juga pernah menyerang ternak kaki empat lainnya, yakni kerbau. Khusus wabah pada babi, pernah terjadi pada 1998 silam di Sumut.

“Secara endemik atau alamiah, Sumut sudah tertular hog cholera. Itu terjadi tahun 1998 yang lalu. Kejadian hampir persis seperti sekarang ini, jumlah babi yang mati mencapai ribuan ekor,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan pada Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Mulkan Harahap menjawab Sumut Pos, Selasa (12/11).

Begitupun pada kerbau, kata dia, wabah ini juga pernah menjangkit hingga kematian hewan kaki empat tersebut mencapai ratusan ekor. Dikatakan Mulkan, ada ratusan pula jenis penyakit yang dapat menyerang hewan ternak, namun umumnya terjadi secara alamiah adalah hog cholera. “Siklusnya memang seperti itu. Cuma bedanya sekarang ini tingkat kematian dan penyebaran wabah penyakitnya lebih cepat. Dan tidak dapat dipungkiri, wabah ini sama seperti penyakit ngorok pada kerbau di Tapanuli Selatan,” katanya.

Bedanya kematian kerbau di Tapsel akibat penyakit ngorok tersebut, sambung Mulkan, begitu hewan itu sakit lalu dijual oleh pemiliknya daripada rugi total. Kemudian masih ada yang masih dalam kondisi sakit juga ikut dijual, baik dalam bentuk daging maupun masih hidup.

“Namun ternyata kerbau yang hidup itu secara medis sebenarnya sudah terpapar. Dan dibelilah di mana-mana dengan harga murah. Sehingga sepanjang perjalanan hewan itu dijual, menjangkit daerah lainnya,” ujar pria yang berlatarbelakang profesi dokter hewan ini.

“Jadi sama halnya dengan sekarang ini. Mati satu umpama hewannya, masih dia potong. Dia coba jual juga dagingnya supaya tidak terlalu rugi. Dan itu memang manusiawi, yang namanya penjual pasti tidak mau rugi. Sehingga terjadi antarkabupaten, antardesa yang terpapar wabah serupa,” imbuh dia.

Karenanya, langkah pihaknya ke depan yaitu, jangan ada dulu pergerakan babi bahkan bila perlu antarkandang untuk dilakukan. Artinya lalu lintas hewan tersebut untuk saat ini agar diberhentikan dalu. “Jadi itu dulu yang diperketat. Lalu lintas ternak termasuk manusia yang berhubungan dengan ternak itu distop dulu,” katanya.

Lantas, apakah endemik hog cholera di Sumut sama dengan yang terjadi di daerah lain? Mulkan tak bisa menyimpulkan hal tersebut. Menurut dia, setiap daerah punya karakteristik yang beragam terhadap wabah penyakit pada hewan ternak. “Kalau memang di daerah lain sudah terpapar, tentulah hog cholera itu ada dan dia akan berkembang. Bahkan bisa terpapar beberapa penyakit lalu dia mewabah. Saya gak tau di daerah lain itu apa penyakitnya, namun di Sumut sejauh ini sesuai hasil penelitian kita, positif hog cholera. Sebab perlu diketahui bahwa penyakit hewan ternak itu jumlahnya ratusan,” terang dia.

462 Babi Mati, Karo Butuh Tambahan Disinfektan

Kematian ternak babi juga terjadi di Kabupaten Karo. Dalam kurun waktu tiga minggu, sebanyak 462 ekor babi telah mati terserang wabah virus. Kerugian masyarakat peternak, dan pedagang diperkirakan mencapai Rp926.680.000. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, Dinas Pertanian Karo telah membentuk tim.

Data yang diperoleh Sumut Pos dari Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Selasa (12/11), ada empat kecamatan yang terdampak virus, diantaranya Kecamatan Lau Baleng, Mardinding, Kabanjahe, dan Simpang Empat. “Desa Lau Baleng sebanyak 440 ekor, Desa Perbulan Kecamatan Lau Baleng ada 3 ekor.

Desa Nang Belawan, Kecamatan Simpang Empat 1 ekor. Sementara, Lau Cimba, dan Kampung Dalam, Kecamatan Kabanjahe ditemukan 3 ekor yang mati mendadak. Sedangkan di Desa Lau Pengulu, Kecamatan Mardinding ada 15 ekor” ujar Kadis Pertanian Karo, Metehsa Karo-Karo.

Terkait penyebab kematian babi di Karo, kata Metehsa Karo-Karo, dari hasil uji laboratorium Balai Veteriner Medan, menunjukan indikasi ke arah adanya penyakit African Swine Fever (ASF), namun masih indikasi. Hasil yang sudah pasti dari uji lab menyatakan positif terhadap hog cholera (HC).

“Disinfektan masih terus kami lakukan. Semalam di kecamatan terdampak terbanyak, yaitu Lau Baleng dan Mardinding. Kami himbau masyarakat agar tidak membeli babi dari luar daerah, karena kesehatannya tidak terjamin. Mengonsumsi daging babi sehat tetap aman bagi kesehatan manusia,” imbuhnya.

Ditegaskan Metehsa, saat ini tim sedang melakukan penyemprotan dengan disinfektan yang tersisa. “Jumlah disinfektan yang kita miliki sudah sangat terbatas. Kita berharap Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi segera memberi bantuan disinfektan. Dengan demikian kita akan terus melakukan penyemprotan,” harapnya.

Pemerhati Lingkungan Hidup di Sumut, Jaya Arjuna menilai, pembuangan bangkai babi ke sungai yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab, merupakan kegagalan dari pemerintah daerah setempat, baik Pemprov Sumut maupun Pemkab dan Pemko. Menurut Jaya, bila dilakukan penanganan maksimal dan sesuai standart opersional prosedur (SOP), hal ini menurutnya tidak akan terjadi.

“Harus pemko atau pemkab dapat menginstruksikan lurah dan Kepling. Dilaporkan, di daerah-daerah kami ada babi-babi mati. Bukan didiamkan begitu saja?” kata Jaya Arjuna kepada Sumut Pos, Selasa (12/11).

Apalagi, sebutnya, kasus kematian babi seperti ini bukan kali pertama, tapi sudah beberapa kali. Harusnya, Pemprov Sumut dan Pemkab/Pemko sudah bisa melakukan langkah antisipasi sehingga tidak terulang kembali. “Kalau SOP-nya dilakukan, tidak ada oknum peternakan buang bangkai sembarangan seperti di sungai dan tempat lainnya,” sebut Arjuna.

Untuk itu, Arjuna mendesak pemerintah daerah setempat dan aparat kepolisian untuk melakukan penyeledikan dan menindak oknum yang membuang bangkai babi sembarangan karena berdampak pencemaran lingkungan. “Kalau mereka (pemerintah dan kepolisian) tidak tahu siapa yang buang bangkai babi itu, goblok,” tandas Arjuna.(prn/btr/gus/deo)

Temuan ratusan bangkai babi yang mengapung di sejumlah sungai, khususnya di Kota Medan dan Deliserdang, sudah sangat meresahkan masyarakat. Air sungai pun disinyalir telah tercemar. Namun, hingga kini belum diketahui dari mana dan siapa pelaku yang membuang ratusan bangkai babi itu ke sungai.

DIREKTORAT Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut telah menurunkan timnya untuk melakukan penyelidikan dan penelusuran atas temuan ratusan bangkai babi yang dibuang ke sungai dan Danau Siombak, Medan Marelan. Direktur Ditreskrimsus Polda Sumut, Kombes Pol Rony Samtana mengaku penelusuran ini khususnya untuk mengetahui secara pasti, apakah bangkai-bangkai tersebut dibuang oleh perorangan atau malah perusahaan.

“Saat ini masih kita selidiki. Jadi kita harus tahu dulu siapa yang membuang, setelah itu baru kita cari tahu apakah dilakukan secara sengaja atau tidak,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa (12/11).

Saat disinggung, apakah ada menyangkut ranah hukumnya jika membuang bangkai babi di sungai, Rony menjelaskan jika dilakukan dengan sengaja tentunya ada. Untuk itu ia berharap kepada masyarakat, apabila ada mengetahui informasi tentang pembuangan bangkai babi ke sungai, untuk segera menghubungi Ditreskrimsus Polda Sumut. “Kita akan merahasiakan identitas dari informan kita. Yang penting kita bisa tuntas dalam penyelidikan dan bisa menentukan siapa tersangkanya,” tandasnya.

Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Ikhwan juga menegaskan, secara hukum Poldasu telah membuat tim gabungan untuk menyelidiki pelaku yang tidak bertanggung jawab membuang bangkai babi ke sungai. “Untuk antisipasi, Polres Pelabuhan Belawan bersama instansi terkait melakukan patroli dengan menyisir sungai untuk memonitor bangkai babi yang masih dibuang ke sungai,” pungkasnya.

Terpisah, Kasat Reskrim Polres deliserdang, AKP Rafles Langgak Putra Marpaung SIK didampingi Humas Iptu Masfan Naibaho SH menegaskan, pelaku pembuang bangkai babi secara sembarang dapat diancam hukum 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp3 miliar.

Menurut Masfan, bila ada pihak yang tidak bertanggungjawab membuang bangkai babi dengan sengaja ke aliran sungai maupun lokasi lainnya dan berakibat terjadinya pencemaran lingkungan hingga meresahkan masyarakat pasti akan dilakukan tindakan hukum. “Pelaku dapat dijerat UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp3 miliar,” sebutnya.

Tak hanya itu, kata Masfan, Polresta Deliserdang juga sudah membentuk tim khusus terkait maraknya kematian babi yang diduga akibat wabah hog cholera belakangan ini. Apalagi, hal ini menjadi suatu potensi gangguan Kamtibmas sehingga perlu pencegahan dan penanganan yang cepat dan tepat. “Polresta Deli Serdang sudah berkoordinasi dengan Dinas Peternakan Deliserdang dan membentuk tim khusus yang terdiri dari Satreskrim, Kanit Reskrim sejajaran dan Bhabinkamtibmas”, katanya.

Tak hanya Kepolisian, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) juga memberikan atensi yang sama dengan membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) yang terdiri dari Satpol PP, Biro Hukum dan OPD terkait unuk menelusuri penyebab dan pelaku pembuangan bangkai-bangkai babi itu ke sungai.

“Tim ini sedang menelusuri terutama di sepanjang Sei Badera sampai dengan di Terjun dan Danau Siombak atas pembuangan limbah babi tersebut. Kami sudah rapat koordinasi di Satpol PP dan juga Biro Hukum, bagaimana langkah-langkah penegakan hukum bagi pelaku pembuangan limbah. Namun untuk oknum yang melakukan, kami belum sampai ke sana,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan pada Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Mulkan Harahap.

Apakah ada gambaran bahwa bangkai babi tersebut sengaja dibuang dari daerah lain di Sumut? Mulkan bilang sesuai informasi dari Camat Medan Marelan, bahwa pembuangan bangkai babi pertama sekali diketahui terjadi di Sei Badera. Dengan demikian, ada indikasi bahwa yang melakukan pembuangan babi tidak jauh-jauh dari lokasi tersebut. Seperti di sekitaran peternak yang menetap di wilayah Kecamatan Sunggal dan Helvetia, Deliserdang.

“Begitupun saya tidak bisa menyimpulkannya. Nanti tim yang akan melakukan penyelidikan kearah itu. Sebab pertama kali dibuang justru di Sei Bedera lalu dia hanyut hingga ke Sungai Belawan. Termasuk juga karena air pasang limbahnya naik lagi ke Danau Siombak. Jadi inilah yang akan ditelusuri oleh tim,” katanya.

Pernah Mewabah Pada 1998

Wabah hog cholera ternyata bukan baru pertama terjadi di Sumatera Utara. Selain menyerang ternak babi, juga pernah menyerang ternak kaki empat lainnya, yakni kerbau. Khusus wabah pada babi, pernah terjadi pada 1998 silam di Sumut.

“Secara endemik atau alamiah, Sumut sudah tertular hog cholera. Itu terjadi tahun 1998 yang lalu. Kejadian hampir persis seperti sekarang ini, jumlah babi yang mati mencapai ribuan ekor,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan pada Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Mulkan Harahap menjawab Sumut Pos, Selasa (12/11).

Begitupun pada kerbau, kata dia, wabah ini juga pernah menjangkit hingga kematian hewan kaki empat tersebut mencapai ratusan ekor. Dikatakan Mulkan, ada ratusan pula jenis penyakit yang dapat menyerang hewan ternak, namun umumnya terjadi secara alamiah adalah hog cholera. “Siklusnya memang seperti itu. Cuma bedanya sekarang ini tingkat kematian dan penyebaran wabah penyakitnya lebih cepat. Dan tidak dapat dipungkiri, wabah ini sama seperti penyakit ngorok pada kerbau di Tapanuli Selatan,” katanya.

Bedanya kematian kerbau di Tapsel akibat penyakit ngorok tersebut, sambung Mulkan, begitu hewan itu sakit lalu dijual oleh pemiliknya daripada rugi total. Kemudian masih ada yang masih dalam kondisi sakit juga ikut dijual, baik dalam bentuk daging maupun masih hidup.

“Namun ternyata kerbau yang hidup itu secara medis sebenarnya sudah terpapar. Dan dibelilah di mana-mana dengan harga murah. Sehingga sepanjang perjalanan hewan itu dijual, menjangkit daerah lainnya,” ujar pria yang berlatarbelakang profesi dokter hewan ini.

“Jadi sama halnya dengan sekarang ini. Mati satu umpama hewannya, masih dia potong. Dia coba jual juga dagingnya supaya tidak terlalu rugi. Dan itu memang manusiawi, yang namanya penjual pasti tidak mau rugi. Sehingga terjadi antarkabupaten, antardesa yang terpapar wabah serupa,” imbuh dia.

Karenanya, langkah pihaknya ke depan yaitu, jangan ada dulu pergerakan babi bahkan bila perlu antarkandang untuk dilakukan. Artinya lalu lintas hewan tersebut untuk saat ini agar diberhentikan dalu. “Jadi itu dulu yang diperketat. Lalu lintas ternak termasuk manusia yang berhubungan dengan ternak itu distop dulu,” katanya.

Lantas, apakah endemik hog cholera di Sumut sama dengan yang terjadi di daerah lain? Mulkan tak bisa menyimpulkan hal tersebut. Menurut dia, setiap daerah punya karakteristik yang beragam terhadap wabah penyakit pada hewan ternak. “Kalau memang di daerah lain sudah terpapar, tentulah hog cholera itu ada dan dia akan berkembang. Bahkan bisa terpapar beberapa penyakit lalu dia mewabah. Saya gak tau di daerah lain itu apa penyakitnya, namun di Sumut sejauh ini sesuai hasil penelitian kita, positif hog cholera. Sebab perlu diketahui bahwa penyakit hewan ternak itu jumlahnya ratusan,” terang dia.

462 Babi Mati, Karo Butuh Tambahan Disinfektan

Kematian ternak babi juga terjadi di Kabupaten Karo. Dalam kurun waktu tiga minggu, sebanyak 462 ekor babi telah mati terserang wabah virus. Kerugian masyarakat peternak, dan pedagang diperkirakan mencapai Rp926.680.000. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, Dinas Pertanian Karo telah membentuk tim.

Data yang diperoleh Sumut Pos dari Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Selasa (12/11), ada empat kecamatan yang terdampak virus, diantaranya Kecamatan Lau Baleng, Mardinding, Kabanjahe, dan Simpang Empat. “Desa Lau Baleng sebanyak 440 ekor, Desa Perbulan Kecamatan Lau Baleng ada 3 ekor.

Desa Nang Belawan, Kecamatan Simpang Empat 1 ekor. Sementara, Lau Cimba, dan Kampung Dalam, Kecamatan Kabanjahe ditemukan 3 ekor yang mati mendadak. Sedangkan di Desa Lau Pengulu, Kecamatan Mardinding ada 15 ekor” ujar Kadis Pertanian Karo, Metehsa Karo-Karo.

Terkait penyebab kematian babi di Karo, kata Metehsa Karo-Karo, dari hasil uji laboratorium Balai Veteriner Medan, menunjukan indikasi ke arah adanya penyakit African Swine Fever (ASF), namun masih indikasi. Hasil yang sudah pasti dari uji lab menyatakan positif terhadap hog cholera (HC).

“Disinfektan masih terus kami lakukan. Semalam di kecamatan terdampak terbanyak, yaitu Lau Baleng dan Mardinding. Kami himbau masyarakat agar tidak membeli babi dari luar daerah, karena kesehatannya tidak terjamin. Mengonsumsi daging babi sehat tetap aman bagi kesehatan manusia,” imbuhnya.

Ditegaskan Metehsa, saat ini tim sedang melakukan penyemprotan dengan disinfektan yang tersisa. “Jumlah disinfektan yang kita miliki sudah sangat terbatas. Kita berharap Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi segera memberi bantuan disinfektan. Dengan demikian kita akan terus melakukan penyemprotan,” harapnya.

Pemerhati Lingkungan Hidup di Sumut, Jaya Arjuna menilai, pembuangan bangkai babi ke sungai yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab, merupakan kegagalan dari pemerintah daerah setempat, baik Pemprov Sumut maupun Pemkab dan Pemko. Menurut Jaya, bila dilakukan penanganan maksimal dan sesuai standart opersional prosedur (SOP), hal ini menurutnya tidak akan terjadi.

“Harus pemko atau pemkab dapat menginstruksikan lurah dan Kepling. Dilaporkan, di daerah-daerah kami ada babi-babi mati. Bukan didiamkan begitu saja?” kata Jaya Arjuna kepada Sumut Pos, Selasa (12/11).

Apalagi, sebutnya, kasus kematian babi seperti ini bukan kali pertama, tapi sudah beberapa kali. Harusnya, Pemprov Sumut dan Pemkab/Pemko sudah bisa melakukan langkah antisipasi sehingga tidak terulang kembali. “Kalau SOP-nya dilakukan, tidak ada oknum peternakan buang bangkai sembarangan seperti di sungai dan tempat lainnya,” sebut Arjuna.

Untuk itu, Arjuna mendesak pemerintah daerah setempat dan aparat kepolisian untuk melakukan penyeledikan dan menindak oknum yang membuang bangkai babi sembarangan karena berdampak pencemaran lingkungan. “Kalau mereka (pemerintah dan kepolisian) tidak tahu siapa yang buang bangkai babi itu, goblok,” tandas Arjuna.(prn/btr/gus/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/