MEDAN, SUMUTPOS.CO – Stigma diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), khususnya di Sumatera Utara (Sumut) masih terjadi. Padahal, penularan penyakit HIV/AIDS tersebut tidak mudah.
Dokter Restuti Hidayani Saragih SpPD dari RSUP H Adam Malik mengatakan, stop stigma dan diskriminasi terhadap ODHA masih sulit di kalangan masyarakat Sumut. Menurutnya, hal ini dikarenakan belum memahami secara utuh bagaimana proses penularan penyakit tersebut.
“Paradigma kita harus diubah sesuai dengan kenyataan ilmiah medis yang sebenar-benarnya, bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kronis sama seperti penyakit lain yakni diabetes melitus, jantung koroner, gagal ginjal, stroke dan kanker. Penyakit-penyakit yang akan dialami oleh penderitanya seumur hidup, akan tetapi tidak menular. Sementara, penyakit HIV/AIDS termasuk yang menular namun tidak segampang itu dengan syarat tertentu,” ungkap Restuti baru-baru ini.
Dijelaskan Restuti, cara penularan pertama dengan hubungan seks yang tidak aman. Artinya, tidak menggunakan pelindung atau kondom. Penularan kedua, secara vertikal dari ibu ke bayi. Ada tiga fase penularannya, yaitu pada saat kehamilan, persalinan, dan menyusui. Sedangkan yang ketiga, penularannya melalui kontak darah yang terinfeksi atau terkontaminasi virus HIV.
“Jadi tidak segampang itu penularannya, di luar dari ketiga cara yang sudah dijelaskan tadi, diingatkan dan ditekankan tidak menular. Sebagai contoh, bersalaman, cipika-cipiki, hingga berpelukan. Bahkan, hubungan suami istri bila salah satunya terkena virus tersebut tidak menular asalkan menggunakan kondom,” terangnya.
Oleh karenanya, lanjut Restuti, hal itu harus dipahami masyarakat luas. Termasuk juga dengan mereka yang berpendidikan tinggi, karena terkadang masih lupa atau menyangkal, sehingga jatuh dalam paranoid yaitu ketakutan yang tidak punya alasan ilmiah. “Makan satu piring dengan ODHA tidak menular. Makanya, ODHA yang dirawat di (RSUP H) Adam Malik tidak diisolasi karena proses penularannya tidak seperti penyakit difteri (melalui udara) maupun tuberkolosis (lewat air liur),” tegas Restuti.
Lebih lanjut ia mengatakan, ODHA memiliki hak yang sama seperti masyarakat umumnya. Dengan kata lain, memiliki kesempatan yang sama sebagai warga negara Indonesia. “Bayangkan apabila stigma dan diskriminasi terhadap mereka, berapa banyak potensi SDM anak bangsa yang dibuang hanya karena memvonisnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Padahal, ODHA cukup produktif dan mereka juga memiliki kesempatan yang sama,” cetusnya.
Diutarakan dia, perlindungan hukum terhadap ODHA dijamin dalam konstitusi Indonesia. Pertama, yaitu hak atas jaminan kesehatan. Artinya, negara itu wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan terhadap warga negaranya. “Ada empat ketersediaan atas hak kesehatan tersebut, yakni layanannya, aksebilitas, penerimaan dan kualitas. Keempat hal ini masih menjadi PR (pekerjaan rumah) kita, seluruh lapisan masyarakat,” paparnya.
Perlindungan hukum berikutnya, adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 4/2019 Tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Dalam Permenkes ini, disampaikan amanah bahwa setiap orang berisiko terinfeksi HIV mendapat pemeriksaan HIV sesuai standar yang sudah disepakati bersama melalui Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) untuk tata laksana HIV.
“Pada PNPK tersebut ada standarnya, dan terbaru tahun 2019 ini yang diturunkan dalam PPK (Panduan Praktik Klinik) mulai dari Puskesmas sampai dengan rumah sakit tipe apapun. Jadi hal ini wajib. Namun, apakah SPM (Standar Pelayanan Minimal) sudah sesuai? Mari sama-sama koreksi,” pungkas Restuti.
Diberitakan sebelumnya, ODHA di Sumut masih mengalami diskriminasi. Padahal, mereka membutuhkan dukungan dan motivasi dalam melawan penyakitnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara (Kadinkes Sumut) dr Alwi Mujahit Hasibuan mengakui stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA hingga kini masih tetap ada. Karenanya, untuk menekan perilaku tersebut, semua pihak harus bergandengan tangan guna memperkuat sosialisasi, advokasi, dan edukasi kepada masyarakat.
“Diskriminasi bukan hanya di masyarakat umum saja, dari orang-orang kesehatan juga ada. Makanya, untuk menekan diskriminasi ini, harus dilakukan sosialisasi, advokasi, maupun edukasi kepada masyarakat. Karena mereka kan tidak bisa kita marahi,” ungkap Alwi diwawancarai saat menghadiri peringatan Hari AIDS sedunia di RSUP H Adam Malik, Selasa (10/12).
Kata Alwi, saat ini Sumut telah menempati posisi keenam tertinggi dalam kasus HIV/AIDS di Indonesia. Namun demikian, menurutnya, hal ini tidak boleh disalahartikan karena sebetulnya banyaknya temuan kasus adalah pertanda pemerintah telah bekerja.
“Justru bagus, sebab HIV itu seperti fenomena gunung es. Kalau kita bisa temukan satu penderitanya, maka akan ada 100 orang di bawah permukaan. Jadi kalau kita bisa menemukan yang di bawah permukaan ini, maka kita bisa mencegah penyebaran yang dilakukan secara tidak sengaja,” ujarnya.
Diketahui, jumlah kasus HIV/AIDS di Sumut hingga Agustus 2019, tercatat sebanyak 9.362 ODHA. Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sumut, Achmad Ramadhan menyebutkan data kumulatif dari Dinkes Sumut jumlah 9.362 ODHA meliputi 4.182 HIV dan 5.180 AIDS. Dari jumlah tersebut, Kota Medan paling tertinggi jumlahnya 5.272 ODHA dengan rincian 2.249 HIV dan 3.023 AIDS. Selanjutnya, diikuti Deli Serdang, Karo, Pematang Siantar dan Tobasa. (ris/ila)