27.8 C
Medan
Thursday, June 13, 2024

Dari Desa Naga Lingga Kisah Ini Dimulai

Mendaki Puncak Tertinggi di Sumut, Gunung Sibuatan (1)

Selama ini Gunung Sinabung identik sebagai gunung tertinggi di Sumatera Utara (Sumut) Tapi tahukah Anda kalau gunung itu masih kalah tinggi dengan Gunung Sibuatan? Di pergantian tahun lalu, penulis berkesempatan mendaki puncak tertinggi di Sumut itu. Seperti apa?

DESA TERAKHIR: Jalanan  Desa Naga Lingga, desa terakhir  kaki Gunung Sibuatan.
DESA TERAKHIR: Jalanan di Desa Naga Lingga, desa terakhir di kaki Gunung Sibuatan.

M Sahbainy Nasution, Medan

Mendaki puncak tertinggi, tentunya butuh persiapan matang. Bersama Korps Mahasiswan Pecinta Alam Universitas Sumatera Utara (Kompas USU), penulis berusaha menyiapkan segala kebutuhan agar tidak kerepotan saat mendaki gunung dengan ketinggian 2457 meter di atas permukaan laut (m dpl) tersebut. Meski hanya lebih tinggi 6 meter di banding Gunung Sinabung ( 2451 m dpl), Sibuatan cenderung lebih misterius. Pasalnya, pendaki yang menjajal gunung ini lebih sedikit dibanding Sinabung yang memang sudah terkenal.

Dan, hari yang ditentukan tiba. Waktu menunjukkan 17.18 WIB. Mobil Pas Trans dengan nomor polisi BB 1372 YB membawa penulis dan sembilan anggota Kompas USU menuju ke arah Sidikalang. Tiga jam kemudian, sekitar pukul 20.10 WIB, mobil sudah tiba di Kota Tiga Panah. Artinya, Desa Naga Lingga yang merupakan desa terakhir di kaki Gunung Sibuatan tidak jauh lagi.

Sekitar pukul 20.30 WIB mobil L 300 itu mengantarkan kami ke depan pintu masuk Desa Naga Lingga. Surat izin yang telah disiapkan pun kami antar ke sekretaris kepala desa (Kades) Naga Lingga sebagai pertanda ada pendakian. Surat izin dan buah tangan dari Medan pun kami serahkan.
Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rimba Gunung Sibuatan. Dalam perjalanan, tampak sebuah makam marga Lingga yang berdiri kokoh di antara kuburan lainnya menunjukkan desa ini tak terlepas campur tangan marga Lingga.

Ya,  nama desa ini juga berasal dari dua marga yaitu Sinaga dan Lingga yang terletak di daerah Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut). Ada sekitar 262 kepala keluarga yang menetap di pemukiman yang berada di sebelah timur laut Gunung Sibuatan ini.
Desa Naga Lingga dihuni oleh campuran suku Karo dan Toba yang pada umumnya adalah petani. Sihol sang sekretaris desa mengatakan, terbentuknya desa itu berasal dari dua marga yaitu  Marga Sinaga dan Lingga.

Sihol menceritakan, pada tahun 1800-an, desa itu masih hanya suatu perkampungan yang letaknya menjorok 1 kilometer (Km) ke dalam dari jalan raya yang sekarang. Akhirnya, dengan didominasi oleh kedua marga itu, mereka sepakat menami desa tersebut dengan sebutan Desa Naga Lingga, tepatnya pada  1940. Baru pada 1967 nama desa itu diresmikan. “Tapi sekarang dengan semakin bertambahnya, penduduk tidak lagi berada di kaki gunung,” jelas Sihol.

Menurut Sihol, total jumlah penduduk adalah 1.025 orang. Agama yang paling dominan dianut warga adalah Kristen Protestan sebanyak 50 persen. Sementara Kristen Katolik 45 persen, Islam 1 persen, dan selebihnya agama lain. “Kebanyakan orang di desa ini bekerja sebagai petani holtikultura seperti jagung, tomat, kol, kopi, cabai, dan lainnya,” katanya.

Keterangan Sihol didukung tokoh masyarakat, Manta (70). Tokoh ini adalah kades Desa Naga Lingga pada era 1969-1994. “Marga Lingga merantau dari Dairi dan marga Sinaga dari Tapanuli. Pada tahun 60-an agama yang pertama masuk Kristen Katolik,” katanya.

“Sebelum masuk agama, memang gunung (Sibuatan) menjadi tempat pemujaan untuk kesuburan ladang. Tapi, tidak lagi, paling hanya satu dua orang saja,” sambung Manta.

Terlihat. Desa Naga Lingga merupakan desa yang tak terlepas dari megahnya Gunung Sibuatan. Dari kemegahan itu Desa Naga Lingga dianugrahi tanah yang sangat subur. Layaknya sebuah pedesaan rumah mereka masih jarang-jarang. Pun, layaknya sebuah desa yang berada di kaki gunung, tampak masyarakatnya memakai pakaian penghangat.

Kembali ke pendakian, tak lama setelah meninggalkan kediaman Sihol, berselang dalam 45 menit perjalanan, sampailah kami pada tempat perkemahan pertama. Dan, saat bersamaan kami bertemu dengan rombongan alumni Kompas USU.

Akhirnya, dengan tambahan sebagian alumni, jumlah anggota tim menjadi 18 orang. Malam telah larut, kami sepakat untuk membuka tenda di ladang di ladang masyarakat Naga Lingga yang tak jauh dari pintu rimba.

Setelah tenda dikembangkan, kompor kecil dan peralatan dapur pun siap dibentangkan. Makan yang seadanya dengan perbekalan sebahagian dari Medan. Segelas teh manis cukup menghangatkan tubuh di kawasan yang dingin itu.

Setelah mengisi lambung ini, tim melakukan diskusi kecil. Dalam diskusi tersebut kami berbincang untuk pendakian paginya. Pasalnya, gunung ini masih baru bagi para pendaki. Peralatan seperti altimeter, kompas, peta topografi, dan GPS (Global Positioning System) dicek ulang.
Tak lama kemudian, setelah diskusi selesai, tim pendakian gunung Sibuatan pun berisitirahat untuk mengumpulkan tenaga. Paginya kami akan memulai pendakian. (bersambung)

Mendaki Puncak Tertinggi di Sumut, Gunung Sibuatan (1)

Selama ini Gunung Sinabung identik sebagai gunung tertinggi di Sumatera Utara (Sumut) Tapi tahukah Anda kalau gunung itu masih kalah tinggi dengan Gunung Sibuatan? Di pergantian tahun lalu, penulis berkesempatan mendaki puncak tertinggi di Sumut itu. Seperti apa?

DESA TERAKHIR: Jalanan  Desa Naga Lingga, desa terakhir  kaki Gunung Sibuatan.
DESA TERAKHIR: Jalanan di Desa Naga Lingga, desa terakhir di kaki Gunung Sibuatan.

M Sahbainy Nasution, Medan

Mendaki puncak tertinggi, tentunya butuh persiapan matang. Bersama Korps Mahasiswan Pecinta Alam Universitas Sumatera Utara (Kompas USU), penulis berusaha menyiapkan segala kebutuhan agar tidak kerepotan saat mendaki gunung dengan ketinggian 2457 meter di atas permukaan laut (m dpl) tersebut. Meski hanya lebih tinggi 6 meter di banding Gunung Sinabung ( 2451 m dpl), Sibuatan cenderung lebih misterius. Pasalnya, pendaki yang menjajal gunung ini lebih sedikit dibanding Sinabung yang memang sudah terkenal.

Dan, hari yang ditentukan tiba. Waktu menunjukkan 17.18 WIB. Mobil Pas Trans dengan nomor polisi BB 1372 YB membawa penulis dan sembilan anggota Kompas USU menuju ke arah Sidikalang. Tiga jam kemudian, sekitar pukul 20.10 WIB, mobil sudah tiba di Kota Tiga Panah. Artinya, Desa Naga Lingga yang merupakan desa terakhir di kaki Gunung Sibuatan tidak jauh lagi.

Sekitar pukul 20.30 WIB mobil L 300 itu mengantarkan kami ke depan pintu masuk Desa Naga Lingga. Surat izin yang telah disiapkan pun kami antar ke sekretaris kepala desa (Kades) Naga Lingga sebagai pertanda ada pendakian. Surat izin dan buah tangan dari Medan pun kami serahkan.
Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rimba Gunung Sibuatan. Dalam perjalanan, tampak sebuah makam marga Lingga yang berdiri kokoh di antara kuburan lainnya menunjukkan desa ini tak terlepas campur tangan marga Lingga.

Ya,  nama desa ini juga berasal dari dua marga yaitu Sinaga dan Lingga yang terletak di daerah Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut). Ada sekitar 262 kepala keluarga yang menetap di pemukiman yang berada di sebelah timur laut Gunung Sibuatan ini.
Desa Naga Lingga dihuni oleh campuran suku Karo dan Toba yang pada umumnya adalah petani. Sihol sang sekretaris desa mengatakan, terbentuknya desa itu berasal dari dua marga yaitu  Marga Sinaga dan Lingga.

Sihol menceritakan, pada tahun 1800-an, desa itu masih hanya suatu perkampungan yang letaknya menjorok 1 kilometer (Km) ke dalam dari jalan raya yang sekarang. Akhirnya, dengan didominasi oleh kedua marga itu, mereka sepakat menami desa tersebut dengan sebutan Desa Naga Lingga, tepatnya pada  1940. Baru pada 1967 nama desa itu diresmikan. “Tapi sekarang dengan semakin bertambahnya, penduduk tidak lagi berada di kaki gunung,” jelas Sihol.

Menurut Sihol, total jumlah penduduk adalah 1.025 orang. Agama yang paling dominan dianut warga adalah Kristen Protestan sebanyak 50 persen. Sementara Kristen Katolik 45 persen, Islam 1 persen, dan selebihnya agama lain. “Kebanyakan orang di desa ini bekerja sebagai petani holtikultura seperti jagung, tomat, kol, kopi, cabai, dan lainnya,” katanya.

Keterangan Sihol didukung tokoh masyarakat, Manta (70). Tokoh ini adalah kades Desa Naga Lingga pada era 1969-1994. “Marga Lingga merantau dari Dairi dan marga Sinaga dari Tapanuli. Pada tahun 60-an agama yang pertama masuk Kristen Katolik,” katanya.

“Sebelum masuk agama, memang gunung (Sibuatan) menjadi tempat pemujaan untuk kesuburan ladang. Tapi, tidak lagi, paling hanya satu dua orang saja,” sambung Manta.

Terlihat. Desa Naga Lingga merupakan desa yang tak terlepas dari megahnya Gunung Sibuatan. Dari kemegahan itu Desa Naga Lingga dianugrahi tanah yang sangat subur. Layaknya sebuah pedesaan rumah mereka masih jarang-jarang. Pun, layaknya sebuah desa yang berada di kaki gunung, tampak masyarakatnya memakai pakaian penghangat.

Kembali ke pendakian, tak lama setelah meninggalkan kediaman Sihol, berselang dalam 45 menit perjalanan, sampailah kami pada tempat perkemahan pertama. Dan, saat bersamaan kami bertemu dengan rombongan alumni Kompas USU.

Akhirnya, dengan tambahan sebagian alumni, jumlah anggota tim menjadi 18 orang. Malam telah larut, kami sepakat untuk membuka tenda di ladang di ladang masyarakat Naga Lingga yang tak jauh dari pintu rimba.

Setelah tenda dikembangkan, kompor kecil dan peralatan dapur pun siap dibentangkan. Makan yang seadanya dengan perbekalan sebahagian dari Medan. Segelas teh manis cukup menghangatkan tubuh di kawasan yang dingin itu.

Setelah mengisi lambung ini, tim melakukan diskusi kecil. Dalam diskusi tersebut kami berbincang untuk pendakian paginya. Pasalnya, gunung ini masih baru bagi para pendaki. Peralatan seperti altimeter, kompas, peta topografi, dan GPS (Global Positioning System) dicek ulang.
Tak lama kemudian, setelah diskusi selesai, tim pendakian gunung Sibuatan pun berisitirahat untuk mengumpulkan tenaga. Paginya kami akan memulai pendakian. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/