33.6 C
Medan
Tuesday, June 25, 2024

Mau Dibawa ke Mana TBSU?

MEDAN-Polemik peruntukan bangunan Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan terus memanas.

Pemerintah Kota Medan sebagai pemilik lahan diminta menunjukkan sikap tegas. Menjadikan lahan itu sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang disertai gedung kesenian atau malah mal?

Kekhawatiran ini makin nyata setelah pengamat ekonomi di Medan menganggap lahan TBSU sangat strategis dijadikan mal atau pusat perbelanjaan (baca Sumut Pos edisi Rabu 13 Februari 2013). “Soalnya, di plang itu tertulis lahan ini akan diperuntukkan. Seniman khawatir kalau TBSU ini akan dijual kepada pihak swasta,” ungkap seorang pegiat seni, Jones Gultom.

Jones menyayangkan sikap Pemko Medan yang cenderung tidak melibatkan seniman dalam mengambil kebijakan. Padahal, sejak 1977, seniman telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk menyemarakkan TBSU.

Bisa bayangkan jika tidak ada seniman di TBSU, apakah kawasan itu akan sestrategis sekarang hingga pengamat ekonomi dan pengusaha berpikir untuk membangun mal di tempat itu? “Seniman kurang dihargai di daerah ini,” kata Jones lagi.

Kini, seniman di TBSU malah dianggap benalu. TBSU malah dianggap kumuh hingga harus diubah peruntukannya. Padahal, dari komplek yang ala kadarnya itu, hasil karya anak Sumut bisa dinikmati Indonesia dan bahkan dunia.

Mereka tampil di luar daerah dengan menggunakan dana sendiri. Setelah tampil di luar daerah, mereka pun kembali datang ke TBSU ini,” tambah Gultom.

Gultom tak memungkiri ada stigma negatif yang muncul dari kegiatan seniman di TBSU. Misalnya, budaya nongkrong yang tercipta di tempat itu. Bagi orang awam, mungkin nongkrong hanya pekerjaan tak ada guna, tapi bagi seniman nongkrong adalah sebuah proses dalam berkarya.

Dan, nongkrong yang dimaksud itu pun bukan nongkrong dalam arti sesungguhnya. Nongkrong di TBSU adalah sebuah ajang diskusi. Dan, ketika TBSU diubah hanya gara-gara budaya itu, bukankah ketika jadi mal, tempat itu juga akan menjadi tempat nongkrong?

Lalu, maunya seniman apa? “Sekarang kondisinya sudah sempit. Mau diapai lagi dengan lahan sempit sekarang ini. Tidak perlu dibangun gedung baru, cukup direnovasi saja,” jelas Gultom.

Untuk menuntut kejelasan sikap Pemko Medan dan menyelamatkan TBSU, seniman Medan hari ini akan mendatangi DPRD Medan. Selain itu, di TBSU juga diadakan mimbar bebas. Sebelumnya, usaha seniman untuk merangkul pihak Pemko Medan telah dilakukan berulang-ulang. Mereka pun membentuk Tim Sembilan dengan ketua Teja Purnama, pada pertengahan tahun 2012 lalu.

arena gagal, seniman pun kembali membentuk Panitia Musyawarah Seniman Medan dengan ketua Jaya Arjuna, sekitar akhir 2012 lalu. Usaha para seniman ini tak lain untuk memperjuangkan TBSU dan masalah kesenian-kesenian lainnya di Medan. (mag-7/rbb)

MEDAN-Polemik peruntukan bangunan Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan terus memanas.

Pemerintah Kota Medan sebagai pemilik lahan diminta menunjukkan sikap tegas. Menjadikan lahan itu sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang disertai gedung kesenian atau malah mal?

Kekhawatiran ini makin nyata setelah pengamat ekonomi di Medan menganggap lahan TBSU sangat strategis dijadikan mal atau pusat perbelanjaan (baca Sumut Pos edisi Rabu 13 Februari 2013). “Soalnya, di plang itu tertulis lahan ini akan diperuntukkan. Seniman khawatir kalau TBSU ini akan dijual kepada pihak swasta,” ungkap seorang pegiat seni, Jones Gultom.

Jones menyayangkan sikap Pemko Medan yang cenderung tidak melibatkan seniman dalam mengambil kebijakan. Padahal, sejak 1977, seniman telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk menyemarakkan TBSU.

Bisa bayangkan jika tidak ada seniman di TBSU, apakah kawasan itu akan sestrategis sekarang hingga pengamat ekonomi dan pengusaha berpikir untuk membangun mal di tempat itu? “Seniman kurang dihargai di daerah ini,” kata Jones lagi.

Kini, seniman di TBSU malah dianggap benalu. TBSU malah dianggap kumuh hingga harus diubah peruntukannya. Padahal, dari komplek yang ala kadarnya itu, hasil karya anak Sumut bisa dinikmati Indonesia dan bahkan dunia.

Mereka tampil di luar daerah dengan menggunakan dana sendiri. Setelah tampil di luar daerah, mereka pun kembali datang ke TBSU ini,” tambah Gultom.

Gultom tak memungkiri ada stigma negatif yang muncul dari kegiatan seniman di TBSU. Misalnya, budaya nongkrong yang tercipta di tempat itu. Bagi orang awam, mungkin nongkrong hanya pekerjaan tak ada guna, tapi bagi seniman nongkrong adalah sebuah proses dalam berkarya.

Dan, nongkrong yang dimaksud itu pun bukan nongkrong dalam arti sesungguhnya. Nongkrong di TBSU adalah sebuah ajang diskusi. Dan, ketika TBSU diubah hanya gara-gara budaya itu, bukankah ketika jadi mal, tempat itu juga akan menjadi tempat nongkrong?

Lalu, maunya seniman apa? “Sekarang kondisinya sudah sempit. Mau diapai lagi dengan lahan sempit sekarang ini. Tidak perlu dibangun gedung baru, cukup direnovasi saja,” jelas Gultom.

Untuk menuntut kejelasan sikap Pemko Medan dan menyelamatkan TBSU, seniman Medan hari ini akan mendatangi DPRD Medan. Selain itu, di TBSU juga diadakan mimbar bebas. Sebelumnya, usaha seniman untuk merangkul pihak Pemko Medan telah dilakukan berulang-ulang. Mereka pun membentuk Tim Sembilan dengan ketua Teja Purnama, pada pertengahan tahun 2012 lalu.

arena gagal, seniman pun kembali membentuk Panitia Musyawarah Seniman Medan dengan ketua Jaya Arjuna, sekitar akhir 2012 lalu. Usaha para seniman ini tak lain untuk memperjuangkan TBSU dan masalah kesenian-kesenian lainnya di Medan. (mag-7/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/