31 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Lapangan Merdeka Roh Pariwisata Kota Medan, Kesawan Sebaiknya Disambungkan ke LMM

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kota Medan dinilai perlu segera berbenah. Sebab jika tidak, ibukota Provinsi Sumatera Utara akan menjadi kota mati pada sektor parawisata. Sebaiknya, program Kitchen of Asia yang tengah direalisasikan Wali Kota Bobby Nasution di kawasan Kesawan, mesti terintegrasi dengan kawasan heritage lain di sekitarnya. Salah satunya yakni, Lapangan Merdeka Medan (LMM).

DIABADIKAN: Prof Usman Pelly (tengah) sebagai penasehat, diabadikan bersama sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang yang tergabung di KMS, sembari memegang buku LMM dengan satu misi meminta Pemko Medan mengembalikan fungsi LMM seperti sedia kala dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya, di kediamannya Jalan Pelajar Ujung Medan, Jumat (9/4).

“Saya tak tau Kitchen of Asia ini kan bertahan lama atau tidak jika melihat konsepnya. Sebab suasana kebatinan kita hilang di situ. Kita mesti melihat konteks lebih luas, bahwa Kesawan itu tidak ada jika tidak dikoneksikan dengan Lapangan Merdeka. Nah, jadi pariwisata di kawasan Kesawan itu tidak akan ada jika tidak disambungkan dengan LMM,” ujar akademisi Ichwan Azhari kepada wartawan, Senin (12/4).

Begitupun ia masih optimistis, bahwa akan ada titik baru dalam sejarah Kota Medan meski belum tau kapan itu terjadi. Menurutnya, pariwisata Kota Medan harus dibangun menjadi citra Paris Van Sumatera. Dan itu mesti dimulai dari pengembalian fungsi serta nilai sejarah LMM sebagai cagar budaya.

“Saya optimis dengan kepimpinan wali kota baru ini. Dengan gengsi dia sebagai orang yang dekat dengan pusat agar pariwisata Medan tidak mati. Medan adalah pariwisata Paris Van Sumatera. Sebab tidak ada pemandangan yang indah di Medan karena Medan bukan pariwisata alam,” ujarnya.

Menurutnya, Kesawan layak untuk dihidupkan, tetapi harus berpasangan dengan heritage yang lain. Kesawan bukan hanya heritage bangunan-bangunan bersejarah Eropa. Melainkan dapat dijadikan galeri atau museum mini akan keberagaman masyarakat yang ada di Medan sejak dulu. “Seperti ada makam Datuk Kesawan yang telah hidup sejak abad 16, namun tak pernah hidup dalam narasi selama ini,” urai dosen sejarah asal Unimed itu.

Akademisi di bidang pariwisata, Rita Margaretha juga berpendapat demikian.

“TLM (Tanah Lapang Merdeka) mesti dikembalikan seperti kondisi semula dan menjadi open side museum. Orang jalan bisa merasakan kuliner tradisional yang ada di Sumut pada kawasan Kesawan misalnya. Bagaimana pariwisata di Medan bisa hidup seperti yang telah dimulai oleh wali kota kita. Keunikan kuliner nusantara ada semua di kawasan tersebut. Suasana tetap hidup,” terangnya.

Selain itu, menurutnya, ada tari-tarian etnis bisa dihidupkan di sana. Seperti tarian India yang belum pernah ada terlihat. “Jadi dengan adanya orang yang terbang dari Silangit tidak singgah ke Kota Medan, mati Kota Medan. Medan good bye my love. Jadi Medan cuma kota bisnis bukan untuk wisata. Mulailah sekarang pertama caranya dengan membebaskan TLM,” tegasnya.

Burhan Batubara, praktisi konsultan pengembangan jalan dan Sekretaris HPJI Sumut menilai, LMM merupakan bundaran besar yang semestinya terintegrasi pada kawasan di sekitarnya. Sehingga jika ada di situ kegiatan yang mengganggu, akan turut memengaruhi perekonomian masyarakat.

“Walaupun dulu sisi Timur dan Barat didesain untuk lokasi parkir, tetapi tetap tidak menghalangi orang menuju LMM. Jadi tak seperti sekarang. Contohnya Merdeka Walk, orang kalau mau parkir di mana? Yang terbaru Kesawan City Walk, lebih mengganggu lagi. Gimana orang mau masuk jika lokasi parkir saja tidak ada. Kemudian akses masuk pun sulit ke situ. Itu sudah menyalahi menurut saya, sebab Jalan Ahmad Yani itu merupakan akses utama menuju LMM. Jangan ajarkan masyarakat dengan hal yang salah,” katanya.

Sementara Meutia Fadhila, akademisi teknik sipil Unimed lebih menyoroti fasilitas yang ada di LMM sekarang ini yang tidak ramah anak. Selain itu, ia menilai Medan tidak lagi menjadi kota kenangan masa kecil terutama bagi anak perantau kelahiran Medan. Sebab bangunan yang dianggap sarat akan sejarah, sudah berubah drastis peruntukkannya.

“Sebenarnya sekarang sudah ada standar ruang bermain ramah anak. Kalaulah nanti fungsi LMM kembali sedia kala, kita mesti buat taman bermain sebagai ruang publik yang juga ramah anak. Aksesnya mudah dan terhubung satu dengan yang lain. Harapan kita mari kita mulai dari Lapangan Merdeka,” pungkasnya.

Pernyataan keempat akademisi dan praktisi di bidangnya masing-masing ini, tertuang lebih rinci melalui buku Lapangan Merdeka Medan yang diluncurkan pada 1 April 2021. Dalam buku tersebut, selain sejarah LMM juga akan terlihat secara gamblang tentang perjuangan Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut (KMS M-SU) Peduli Lapangan Merdeka Medan, yang sudah selama 10 tahun meminta agar fungsi LMM dikembalikan sedia kala serta keberadaannya ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

“Misal seperti tiga tanda seru merah dari cover buku. Ini urgen mendesak agar TLM segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Dasarnya UU sejak 2010, perdana sejak 2012 dan bahkan ada perwal. Ini yang mereka sembunyikan itu. Di perda bahkan ada kawasan mana saja di Medan yang menjadi cagar budaya. Sudah ada di DPRD tetapi seolah menutup lampiran perwal tersebut,” ungkap Miduk Hutabarat selaku Koordinator KMS M-SU. (prn/ila)

Teks foto

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kota Medan dinilai perlu segera berbenah. Sebab jika tidak, ibukota Provinsi Sumatera Utara akan menjadi kota mati pada sektor parawisata. Sebaiknya, program Kitchen of Asia yang tengah direalisasikan Wali Kota Bobby Nasution di kawasan Kesawan, mesti terintegrasi dengan kawasan heritage lain di sekitarnya. Salah satunya yakni, Lapangan Merdeka Medan (LMM).

DIABADIKAN: Prof Usman Pelly (tengah) sebagai penasehat, diabadikan bersama sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang yang tergabung di KMS, sembari memegang buku LMM dengan satu misi meminta Pemko Medan mengembalikan fungsi LMM seperti sedia kala dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya, di kediamannya Jalan Pelajar Ujung Medan, Jumat (9/4).

“Saya tak tau Kitchen of Asia ini kan bertahan lama atau tidak jika melihat konsepnya. Sebab suasana kebatinan kita hilang di situ. Kita mesti melihat konteks lebih luas, bahwa Kesawan itu tidak ada jika tidak dikoneksikan dengan Lapangan Merdeka. Nah, jadi pariwisata di kawasan Kesawan itu tidak akan ada jika tidak disambungkan dengan LMM,” ujar akademisi Ichwan Azhari kepada wartawan, Senin (12/4).

Begitupun ia masih optimistis, bahwa akan ada titik baru dalam sejarah Kota Medan meski belum tau kapan itu terjadi. Menurutnya, pariwisata Kota Medan harus dibangun menjadi citra Paris Van Sumatera. Dan itu mesti dimulai dari pengembalian fungsi serta nilai sejarah LMM sebagai cagar budaya.

“Saya optimis dengan kepimpinan wali kota baru ini. Dengan gengsi dia sebagai orang yang dekat dengan pusat agar pariwisata Medan tidak mati. Medan adalah pariwisata Paris Van Sumatera. Sebab tidak ada pemandangan yang indah di Medan karena Medan bukan pariwisata alam,” ujarnya.

Menurutnya, Kesawan layak untuk dihidupkan, tetapi harus berpasangan dengan heritage yang lain. Kesawan bukan hanya heritage bangunan-bangunan bersejarah Eropa. Melainkan dapat dijadikan galeri atau museum mini akan keberagaman masyarakat yang ada di Medan sejak dulu. “Seperti ada makam Datuk Kesawan yang telah hidup sejak abad 16, namun tak pernah hidup dalam narasi selama ini,” urai dosen sejarah asal Unimed itu.

Akademisi di bidang pariwisata, Rita Margaretha juga berpendapat demikian.

“TLM (Tanah Lapang Merdeka) mesti dikembalikan seperti kondisi semula dan menjadi open side museum. Orang jalan bisa merasakan kuliner tradisional yang ada di Sumut pada kawasan Kesawan misalnya. Bagaimana pariwisata di Medan bisa hidup seperti yang telah dimulai oleh wali kota kita. Keunikan kuliner nusantara ada semua di kawasan tersebut. Suasana tetap hidup,” terangnya.

Selain itu, menurutnya, ada tari-tarian etnis bisa dihidupkan di sana. Seperti tarian India yang belum pernah ada terlihat. “Jadi dengan adanya orang yang terbang dari Silangit tidak singgah ke Kota Medan, mati Kota Medan. Medan good bye my love. Jadi Medan cuma kota bisnis bukan untuk wisata. Mulailah sekarang pertama caranya dengan membebaskan TLM,” tegasnya.

Burhan Batubara, praktisi konsultan pengembangan jalan dan Sekretaris HPJI Sumut menilai, LMM merupakan bundaran besar yang semestinya terintegrasi pada kawasan di sekitarnya. Sehingga jika ada di situ kegiatan yang mengganggu, akan turut memengaruhi perekonomian masyarakat.

“Walaupun dulu sisi Timur dan Barat didesain untuk lokasi parkir, tetapi tetap tidak menghalangi orang menuju LMM. Jadi tak seperti sekarang. Contohnya Merdeka Walk, orang kalau mau parkir di mana? Yang terbaru Kesawan City Walk, lebih mengganggu lagi. Gimana orang mau masuk jika lokasi parkir saja tidak ada. Kemudian akses masuk pun sulit ke situ. Itu sudah menyalahi menurut saya, sebab Jalan Ahmad Yani itu merupakan akses utama menuju LMM. Jangan ajarkan masyarakat dengan hal yang salah,” katanya.

Sementara Meutia Fadhila, akademisi teknik sipil Unimed lebih menyoroti fasilitas yang ada di LMM sekarang ini yang tidak ramah anak. Selain itu, ia menilai Medan tidak lagi menjadi kota kenangan masa kecil terutama bagi anak perantau kelahiran Medan. Sebab bangunan yang dianggap sarat akan sejarah, sudah berubah drastis peruntukkannya.

“Sebenarnya sekarang sudah ada standar ruang bermain ramah anak. Kalaulah nanti fungsi LMM kembali sedia kala, kita mesti buat taman bermain sebagai ruang publik yang juga ramah anak. Aksesnya mudah dan terhubung satu dengan yang lain. Harapan kita mari kita mulai dari Lapangan Merdeka,” pungkasnya.

Pernyataan keempat akademisi dan praktisi di bidangnya masing-masing ini, tertuang lebih rinci melalui buku Lapangan Merdeka Medan yang diluncurkan pada 1 April 2021. Dalam buku tersebut, selain sejarah LMM juga akan terlihat secara gamblang tentang perjuangan Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut (KMS M-SU) Peduli Lapangan Merdeka Medan, yang sudah selama 10 tahun meminta agar fungsi LMM dikembalikan sedia kala serta keberadaannya ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

“Misal seperti tiga tanda seru merah dari cover buku. Ini urgen mendesak agar TLM segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Dasarnya UU sejak 2010, perdana sejak 2012 dan bahkan ada perwal. Ini yang mereka sembunyikan itu. Di perda bahkan ada kawasan mana saja di Medan yang menjadi cagar budaya. Sudah ada di DPRD tetapi seolah menutup lampiran perwal tersebut,” ungkap Miduk Hutabarat selaku Koordinator KMS M-SU. (prn/ila)

Teks foto

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/