26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pengusaha Sumut Bertahan tanpa Bantuan Pemerintah

MEDAN- Prospek investasi di Sumatera Utara bisa digeber hingga Rp316 triliun dalam tempo kurang dari 15 tahun ke depan. Jika koridor ekonomi nasional  berjalan sesuai target Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka pada 2025, ekspektasi pertumbuhan ekonomi nasional akan naik 10,3 persen.

Sesuai Perpres No 32 Tahun 2011, pemerintah menargetkan income percapita bisa naik lima kali lipat dalam 15 tahun sejak 2010. Jika itu terjadi, kekuatan ekonomi Indonesia bisa masuk 10 besar peta kekuatan ekonomi dunia.
Hal ini dipaparkan Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga yang hadir sebagai pembicara Workshop dan Media Gathering gawean PWI Sumut dan Medan Press Club (MPC). Workshop dengan tema Memaksimalkan Potensi Ekomoni Sumatera Utara, di Garuda Plaza Hotel Kamis (13/10) ini juga menghadirkan dua narasumber lainnya, yakni Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut, Irfan Mutyara  dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut, M Syahrir.

Jhon mengutip Perpres No 32 tahun 2011 yang memang sedang dicanangkan pemerintah. Kaitan kepada potensi peningkatan ekonomi Sumut, Jhon optimis benar jika Sumut mampu mencapai Pendapatan Domestik Regionel Bruto (PDRB) senilai Rp316 triliun pada 2025 mendatang. Jumlah itu meningkat pesat dari 2010. Sesuai data BPS PDRB Sumut 2010 lalu mencapai Rp74,06 triliun.

Prospek dengan nilai setinggi itu dijelaskan Jhon dapat diperoleh dari sektor konsumsi yang mencapai 59,50 persen, pemerintah 10,30 persen, pembentukan modal tetap 19,35 persen, ekspor 43,15 persen dan impor 33,71 persen. Di samping itu, pendapatan juga masuk dari sektor pertanian 23,20 persen dan disusul dari sektor industri 22,54 persen.
Tentu bakal ada masalah yang menghiasi prospek pertumbuhan ekonomi Sumut tersebut. Menurut Jhon, masalah yang paling utama muncul adalah dari fungsi pemerintah dalam hal regulasi ekonomi, pelayanan birokrasi, dan penyediaan infrastruktur jalan, listrik dan kongesti pelabuhan. Masalah juga bisa datang dari produktivitas pertanian rakyat yang masih sangat rendah.

“Dan jangan lupakan bahwa Sumut akan mendapat 21 proyek MP3EI senilai Rp34 triliun dari indikasi awal nasional Rp4.000 triliun. Itu terdiri jalan negara termasuk perbaikan dan tol, rel kereta api, pembangkit listrik dan pelabuhan Belawan,” terang Jhon.

“Itu semua tak terpisahkan dari peran pemerintah. Dalam hal ini Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho agar jangan diam. Masih ada waktu untuk membangun ekonomi Sumut hingga 2013. Gubsu harus tampil memimpin pemberdayaan semua elemen yang ada di Sumut dengan prinsip-prinsi ekonomi,” lanjut Jhon.

Ya, lagi-lagi peran pemerintah memang vital dalam target capaian pertumbuhan ekonomi. Hal itu dirasakan langsung oleh Irfan Mutyara. Sebagai pengusaha, Irfan tak merasa didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Dia menyebutkan ada 12 masalah dan kendala dunia usaha. Yakni kepastian hukum, perpajakan, Perda yang tumpang tindih, pertanahan atau sertifikat ganda, perbankan, birokrasi, daya saing, ketenagakerjaan, premanisme, perizinan, dan keimigrasian serta infrastruktur.

“Jujur saja kami akan terus jalan dalam dunia usaha meski tanpa (bantuan, red) pemerintah. Ada kesan Kadin itu kontra pemerintah, padahal bukan itu sebenarnya. Sebab kita dari Kadin itu memang sering kritik pemerintah yang memang sangat lambat dalam mengurusi permasalahan dunia usaha,” beber Ketua Kadin Sumut ini. “Pemerintah harusnya punya nafsu mengembangkan usaha dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Mereka mesti punya inisiatif dengan wewenangnya masing-masing,” pungkas Irfan.

Syahrir dari PWI Sumut pun tak tinggal diam dalam menyoroti peran media dalam mengembangkan perekonomian. Ia menilai kerjasama berbagai pihak termasuk dengan media, sangat penting dalam pencapaian peningkatan ekonomi nasional.

Salah satu faktor pendukung yang menghambat usaha dan industri di Sumut adalah kekurangan pasokan gas dari PGN (Perusahaan Gas Negara). Upaya pengusaha mensubstitusi kekurangan gas dengan bahan bakar minyak telah menimbulkan tambahan biaya, tambahan pekerjaan atau pengurangan produksi.

Hal itu diakui dan dibenarkan pihak PGN Sumut. Bahkan Kepala Dinas Bagian Operasional dan Pemeliharaan PGN Medan, Bahman Effendy, menambahkan bahwa pelanggan rumah tangga dan komersil turut mengeluhkan pasokan gas.
Bahman Effendy tentu saja membela diri. Menurutnya, penurunan pasokan gas juga menimbulkan pekerjaan bagi mereka. Pihaknya terpaksa menambah biaya perawatan pipa gas, awalnya sebulan hanya sekali, tetapi sekarang (atau tepatnya sejak 2005) perawatan menjadi 3 kali dalam sebulan. “Karena tekanan gas yang rendah, pipa mengalami korupsi erosi. Jadi menjaganya kita melakukan injeksi distributor agar terhindar dari semut, dan pemeliharaan kita melakukan pengukuran,” ujar Bahman Effendy.

Sepanjang 650 Km pipa yang dimiliki oleh PGN di Sumut, baik untuk distribusi, transmisi, PE dan Baja yang harus dirawat, seperti jembatan untuk gas, pemeriksaan karat, jalur gas, pos gas dan outodiks harus diperiksa. Untuk saat ini, perbandingan dari pemeliharaan 2 hingga 3 kali lipat dari dana awal. “Pemeliharaan pipa yang dilakukan sekarang lebih tinggi, 2 hingga 3 kali lipat,” ujar Bahman.

Seperti diketahui, pasokan gas yang diberikan ke Sumut sudah mulai mengurang, awalnya untuk memenuhi kebutuhan industri, rumah tangga, dan komersil, PGN menyalurkan gas 20 hingga 30 meter kunik. Tetapi pengurangan pasokan gas yang berimbas pada biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan oleh PGN. “Logikanya begini, kita membuat pipa yang dapat menampung (tekanan gas) 20-30 meter kubik per hari, tetapi karena pasokan kurang, saat ini tekananan  gas yang disalurkan hanya 12 meter kubik per hari, karena tekanan yang tidak sesuai, maka dapat mengakibatkan erosi pada pipa,” tambah Bahman. Padahal pipa yang dibuat didesain dapat berfungsi hingga 100 tahun kedepan.

Untuk Sumut sendiri, saat ini pengguna gas ini termasuk banyak, dengan perincian 62 indutri, sekitar 1000 komersil dan 25 ribu rumah tangga. Tetapi dampak dari penggurangan stok gas ke PGN lebih berimbas pada industri, apalagi mereka yang berada di daerah yang jauh dari pusat kota. Dikarenakan tekanan gas yang sudah habis saat dalam kota. “Rumah tangga dan komersil tidak berpengaruh, karena kebutuhan mereka yang kecil, tetapi industri sangat besar, karena itu sebagian dari mereka ada yang tutup,” ujar Bahman.

Dari penjelasan nya, awalnya lebih dari 70 industri menggunakan gas dari PGN, tetapi sejak dikelurkannya peraturan menteri No 03/2010, dimana kebijakan tersebut mengatur alokasi gas dalam negeri, dimana industri berada diperingkat paling bawah (no 4, setelah ekspor minyak, listrik dan industri), atau tepatnya mengurangi jatah gas untuk industri, yang akibatnya membuat industri yang meggunakan bahan bakar gas untuk produksi harus tutup. “Karena pasokan gas tidak penuh lagi, sebagian pelanggan industri tutup, liat saja dari angka yang kita miliki, awalnya 70 an sekarang hanya sekitar 62 industri,” ujarnya.

Pendistribusian gas sebelum mencapai ke daerah pelanggan, dimulai dari pemasok (Pertamina dan PT Pertiwi Nusantara Resource) yang berada di Pangkalan Brandan dan Pangkal Susu, setelah diterima di Sei Wampu (Binjai), gas dari pemasok disalurkan ke berbagai terminal kecil yang ada di Medan, seperti jalan Veteran pasar 9 Marelan Medan.
“Untuk yang disini (Jalan Veteran Pasar 9 Marelan, Medan), akan disalurkan untuk kebutuhan industri, rumah tangga dan komersil. Tetapi dalam perjalanannya, gas tersebut sudah terserap dan diambil di daerah tengah kota, jadi yang dipinggiran tidak dapat,” tambah Bahman. Hal inilah yang membuat pemilik industri sudah mengeluh karena kurangnya stok gas yang mereka dapat. (ful/mag-9)

MEDAN- Prospek investasi di Sumatera Utara bisa digeber hingga Rp316 triliun dalam tempo kurang dari 15 tahun ke depan. Jika koridor ekonomi nasional  berjalan sesuai target Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka pada 2025, ekspektasi pertumbuhan ekonomi nasional akan naik 10,3 persen.

Sesuai Perpres No 32 Tahun 2011, pemerintah menargetkan income percapita bisa naik lima kali lipat dalam 15 tahun sejak 2010. Jika itu terjadi, kekuatan ekonomi Indonesia bisa masuk 10 besar peta kekuatan ekonomi dunia.
Hal ini dipaparkan Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga yang hadir sebagai pembicara Workshop dan Media Gathering gawean PWI Sumut dan Medan Press Club (MPC). Workshop dengan tema Memaksimalkan Potensi Ekomoni Sumatera Utara, di Garuda Plaza Hotel Kamis (13/10) ini juga menghadirkan dua narasumber lainnya, yakni Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut, Irfan Mutyara  dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut, M Syahrir.

Jhon mengutip Perpres No 32 tahun 2011 yang memang sedang dicanangkan pemerintah. Kaitan kepada potensi peningkatan ekonomi Sumut, Jhon optimis benar jika Sumut mampu mencapai Pendapatan Domestik Regionel Bruto (PDRB) senilai Rp316 triliun pada 2025 mendatang. Jumlah itu meningkat pesat dari 2010. Sesuai data BPS PDRB Sumut 2010 lalu mencapai Rp74,06 triliun.

Prospek dengan nilai setinggi itu dijelaskan Jhon dapat diperoleh dari sektor konsumsi yang mencapai 59,50 persen, pemerintah 10,30 persen, pembentukan modal tetap 19,35 persen, ekspor 43,15 persen dan impor 33,71 persen. Di samping itu, pendapatan juga masuk dari sektor pertanian 23,20 persen dan disusul dari sektor industri 22,54 persen.
Tentu bakal ada masalah yang menghiasi prospek pertumbuhan ekonomi Sumut tersebut. Menurut Jhon, masalah yang paling utama muncul adalah dari fungsi pemerintah dalam hal regulasi ekonomi, pelayanan birokrasi, dan penyediaan infrastruktur jalan, listrik dan kongesti pelabuhan. Masalah juga bisa datang dari produktivitas pertanian rakyat yang masih sangat rendah.

“Dan jangan lupakan bahwa Sumut akan mendapat 21 proyek MP3EI senilai Rp34 triliun dari indikasi awal nasional Rp4.000 triliun. Itu terdiri jalan negara termasuk perbaikan dan tol, rel kereta api, pembangkit listrik dan pelabuhan Belawan,” terang Jhon.

“Itu semua tak terpisahkan dari peran pemerintah. Dalam hal ini Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho agar jangan diam. Masih ada waktu untuk membangun ekonomi Sumut hingga 2013. Gubsu harus tampil memimpin pemberdayaan semua elemen yang ada di Sumut dengan prinsip-prinsi ekonomi,” lanjut Jhon.

Ya, lagi-lagi peran pemerintah memang vital dalam target capaian pertumbuhan ekonomi. Hal itu dirasakan langsung oleh Irfan Mutyara. Sebagai pengusaha, Irfan tak merasa didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Dia menyebutkan ada 12 masalah dan kendala dunia usaha. Yakni kepastian hukum, perpajakan, Perda yang tumpang tindih, pertanahan atau sertifikat ganda, perbankan, birokrasi, daya saing, ketenagakerjaan, premanisme, perizinan, dan keimigrasian serta infrastruktur.

“Jujur saja kami akan terus jalan dalam dunia usaha meski tanpa (bantuan, red) pemerintah. Ada kesan Kadin itu kontra pemerintah, padahal bukan itu sebenarnya. Sebab kita dari Kadin itu memang sering kritik pemerintah yang memang sangat lambat dalam mengurusi permasalahan dunia usaha,” beber Ketua Kadin Sumut ini. “Pemerintah harusnya punya nafsu mengembangkan usaha dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Mereka mesti punya inisiatif dengan wewenangnya masing-masing,” pungkas Irfan.

Syahrir dari PWI Sumut pun tak tinggal diam dalam menyoroti peran media dalam mengembangkan perekonomian. Ia menilai kerjasama berbagai pihak termasuk dengan media, sangat penting dalam pencapaian peningkatan ekonomi nasional.

Salah satu faktor pendukung yang menghambat usaha dan industri di Sumut adalah kekurangan pasokan gas dari PGN (Perusahaan Gas Negara). Upaya pengusaha mensubstitusi kekurangan gas dengan bahan bakar minyak telah menimbulkan tambahan biaya, tambahan pekerjaan atau pengurangan produksi.

Hal itu diakui dan dibenarkan pihak PGN Sumut. Bahkan Kepala Dinas Bagian Operasional dan Pemeliharaan PGN Medan, Bahman Effendy, menambahkan bahwa pelanggan rumah tangga dan komersil turut mengeluhkan pasokan gas.
Bahman Effendy tentu saja membela diri. Menurutnya, penurunan pasokan gas juga menimbulkan pekerjaan bagi mereka. Pihaknya terpaksa menambah biaya perawatan pipa gas, awalnya sebulan hanya sekali, tetapi sekarang (atau tepatnya sejak 2005) perawatan menjadi 3 kali dalam sebulan. “Karena tekanan gas yang rendah, pipa mengalami korupsi erosi. Jadi menjaganya kita melakukan injeksi distributor agar terhindar dari semut, dan pemeliharaan kita melakukan pengukuran,” ujar Bahman Effendy.

Sepanjang 650 Km pipa yang dimiliki oleh PGN di Sumut, baik untuk distribusi, transmisi, PE dan Baja yang harus dirawat, seperti jembatan untuk gas, pemeriksaan karat, jalur gas, pos gas dan outodiks harus diperiksa. Untuk saat ini, perbandingan dari pemeliharaan 2 hingga 3 kali lipat dari dana awal. “Pemeliharaan pipa yang dilakukan sekarang lebih tinggi, 2 hingga 3 kali lipat,” ujar Bahman.

Seperti diketahui, pasokan gas yang diberikan ke Sumut sudah mulai mengurang, awalnya untuk memenuhi kebutuhan industri, rumah tangga, dan komersil, PGN menyalurkan gas 20 hingga 30 meter kunik. Tetapi pengurangan pasokan gas yang berimbas pada biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan oleh PGN. “Logikanya begini, kita membuat pipa yang dapat menampung (tekanan gas) 20-30 meter kubik per hari, tetapi karena pasokan kurang, saat ini tekananan  gas yang disalurkan hanya 12 meter kubik per hari, karena tekanan yang tidak sesuai, maka dapat mengakibatkan erosi pada pipa,” tambah Bahman. Padahal pipa yang dibuat didesain dapat berfungsi hingga 100 tahun kedepan.

Untuk Sumut sendiri, saat ini pengguna gas ini termasuk banyak, dengan perincian 62 indutri, sekitar 1000 komersil dan 25 ribu rumah tangga. Tetapi dampak dari penggurangan stok gas ke PGN lebih berimbas pada industri, apalagi mereka yang berada di daerah yang jauh dari pusat kota. Dikarenakan tekanan gas yang sudah habis saat dalam kota. “Rumah tangga dan komersil tidak berpengaruh, karena kebutuhan mereka yang kecil, tetapi industri sangat besar, karena itu sebagian dari mereka ada yang tutup,” ujar Bahman.

Dari penjelasan nya, awalnya lebih dari 70 industri menggunakan gas dari PGN, tetapi sejak dikelurkannya peraturan menteri No 03/2010, dimana kebijakan tersebut mengatur alokasi gas dalam negeri, dimana industri berada diperingkat paling bawah (no 4, setelah ekspor minyak, listrik dan industri), atau tepatnya mengurangi jatah gas untuk industri, yang akibatnya membuat industri yang meggunakan bahan bakar gas untuk produksi harus tutup. “Karena pasokan gas tidak penuh lagi, sebagian pelanggan industri tutup, liat saja dari angka yang kita miliki, awalnya 70 an sekarang hanya sekitar 62 industri,” ujarnya.

Pendistribusian gas sebelum mencapai ke daerah pelanggan, dimulai dari pemasok (Pertamina dan PT Pertiwi Nusantara Resource) yang berada di Pangkalan Brandan dan Pangkal Susu, setelah diterima di Sei Wampu (Binjai), gas dari pemasok disalurkan ke berbagai terminal kecil yang ada di Medan, seperti jalan Veteran pasar 9 Marelan Medan.
“Untuk yang disini (Jalan Veteran Pasar 9 Marelan, Medan), akan disalurkan untuk kebutuhan industri, rumah tangga dan komersil. Tetapi dalam perjalanannya, gas tersebut sudah terserap dan diambil di daerah tengah kota, jadi yang dipinggiran tidak dapat,” tambah Bahman. Hal inilah yang membuat pemilik industri sudah mengeluh karena kurangnya stok gas yang mereka dapat. (ful/mag-9)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/