26 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Distanla Medan Tak Temukan Ternak Terjangkit Hog Cholera, Stop Babi dari Luar Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Virus Hog Cholera menjadi momok yang menakutkan bagi peternak babi saat ini. Pasalnya, sedikitnya 5.800 ekor babi mati mendadak di 11 kabupaten/kota se-Sumut akibat virus tersebut. Karenanya, sebagai upaya pencegahan penyebaran virus hog cholera tersebut, Dinas Pertanian dan Kelautan (Distanla) Kota Medan menghentikan masuknya ternak babi dari luar ke Medann

Kepala Distanla Kota Medan, Ikhsar Risyad Marbun mengaku sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Sumut untuk meminta agar pemkab dan pemko yang telah terjangkit virus ini agar tidak memasukkan ternak babinya ke Kota Medan. “Itu wewenangnya ada di provinsi, dan kita hanya bisa melakukan pengawasan supaya babi yang dimaksud tidak masuk ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada di Kota Medan. Kami sudah perintahkan petugas kita agar selalu mengawasi hewan yang masuk ke RPH,” kata Ikhsar kepada Sumut Pos, Rabu (13/11).

Sedangkan untuk babi-babi yang dikandangkan di Kota Medan, Ikhsar mengatakan, semuanya telah dilakukan pemeriksaan. Hasilnya, Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Medan tidak menemukan adanya babi yang terjangkit virus hog cholera. “Sudah kita periksa semuanya, yang di Simalingkar, di Tangguk Bongkar dan di tempat-tempat lainnya, negatif hog cholera. Tapi begitu pun, kita sudah instruksikan secara langsung maupun lewat kecamatan agar menanam bangkai babinya bila ada yang mati,” ujarnya.

Disebutkan Ikhsar, pihaknya sudah menanam ratusan bangkai babi di lima liang besar yang dibuat di bantaran sungai dan Danau Siombak. Selain itu, sesuai dengan instruksi dari Dirjen Peternakan, Pemko Medan juga akan segera membangun posko-posko untuk menangani masalah limbah bangkai babi tersebut. “Kita tinggal menunggu surat dari Pak Plt (Wali Kota), segera kita buat posko untuk menangani ini. Bila ada bangkai yang masuk kembali, akan segera ditangani. Tapi tindak pencegahan juga terus berjalan dengan menyetop masuknya babi dari luar ke Medan,” tandasnya.

Bangkai Babi Mengapung di Sungai Wampu

Sementara, bangkai babi sempat memghebohkan warga yang berada di aliran Sungai Wampu, Kabupaten Langkat, Rabu (13/11). Isra Fansuri, warga yang melihat pertama kali bangkai babi itu.

Pagi itu, sekitar pukul 08.43 WIB, dia hendak menyeberang dengan menggunakan getek dari Kecamatan Bingai, Kabupaten Langkat, menuju kota. Saat itu, perhatiannya tertuju pada tumpukan sampah di tepi Sungai Bingai. Dia melihat seperti ada bangkai mengapung di antara tumpukan sampah itu. “Awalnya, aku tak percaya. Setelah diperhatikan secara seksama, tenyata benar yang saya lihat itu bangkai babi. Lalu temuan ini kami beritahukan kepada warga dan menjadi heboh,” jelasnya.

Ternyata, tidak Cuma satu saja bangkai babi yang terlihat. Tapi ada tiga lagi bangkai babi yang terbawa arus sungai. Diduga kuat ketiga bangkai babi yang hanyut adalah anak dari babi yang tertahan ditumpukan sampah itu.

Menyikapi temuan ini, Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Langkat, Nasiruddin mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan info tersebut dan berusaha menelusuri temuan ini. Dijelaskanya, sejauh ini pihaknya berusaha mengevakuai bangkai babi itu agar tidak mencemari aliran sungai. Karena masih banyak masyarakat yang menggunakan sungai untuk keperluan sehari-hari.

Dengan banyaknya temuan bangkai babi yang dibuang ke sungai di beberapa titik di Sumatera Utara, dikatakan Nasiruddin, pihaknya jauh hari sudah memberikan penyuluhan kepada peternak. Agar setiap bangkai hewan ternak apapun itu mesti ditanam dan jangan dibuang sembarangan.

Apalagi dibuang ke aliran sungai yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. “Jauh hari kita terus melakukan sosialisasi kepada peternak apapun itu, agar setiap hewan ternak yang mati sebaiknya ditanam daan jangan dibuang sembarangan,” tegasnya.

Di Dairi Sudah 2.200 Ekor Babi Mati

Tidak hanya Kota Medan, Pemkab Dairi juga diminta serius menangani wabah yang menyerang ternak babi di wilayah itu saat ini. Desakan itu disampaikan aliansi pemerhati ternak yang terdiri dari Perkumpulan Petani Organik Dairi (PPODA), Yaysan Petrasa, Asosiasi Peternak Babi (ASPERBA), Yayasan Diakones Pelangi Kasih (YDPK), Perkumpulan Pesada. serta Peternak Mandiri.

Monika Siregar, perwakilan dari YDPK mengatakan, mereka meminta pertanggungjawaban Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup Dairi terkait penanganan ternak babi yang mati, karena tidak sesuai standar dan imbauan yang diberikan sebelumnya kepada para peternak. Mereka juga mendesak Balai Veteriner untuk mengeluarkan informasi yang jelas dan terbaru terkait penyakit ternak babi.

“Kami juga meminta pemerintah mengeluarkan data yang valid dan terbaru terkait jumlah peternak yang merugi dan jumlah ternak babi yang mati dengan metode pendataan, nama peternak, jumlah ternak yang mati, estimasi kerugian materi, dan alamat peternak,” kata Monika.

Selanjutnya, mereka juga meminta pemerintah mengambil langkah nyata dalam pencegahan penyebaran penyakit babi yang menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Dairi.

Aliansi ini juga mendesak pemerintah memberikan bantuan langsung terkait kerugian materi yang dialami para peternak. “Kita mendorong pemerintah memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa mengonsumsi daging babi adalah aman.

Sehingga usaha yang berkaitan dengan ternak babi seperti peternak babi, penjual pakan, rumah makan khas Batak, catering, penjual daging babi memiliki kepastian pasar. Peternak butih solusi konkret dalam penanganan wabah penyakit ternak babi dimaksud,” tandasnya.

Terpisah, Kabid Peternakan di Dinas Pertanian Kabupaten Dairi, Jhon F Manurung kepada wartawan, Rabu (13/11) mengatakan, jumlah babi yang sudah mati di Dairi hingga November 2019 sudah 2.200 ekor. Menurut Jhon, jika dilihat dari jumlah itu telah ada angka penurunan dibanding bulan lalu.

Tetapi katanya, kendala yang mereka hadapi saat ini, orang tidak mau lagi makan daging babi di rumah makan ataupun membeli ternak babi yang sehat. Sehingga kejadian itu sangat merugikan peternak.

“Usaha yang dilakukan peternak, semisal untuk menjual ternak mereka ke luar Sumatera Utara juga tidak laku. Pasalnya, ternak babi dari Sumut sudah ditolak provinsi lain sehingga tidak laku,” ungkap Jhon.

Dia menjelaskan, sebenarnya virus hog cholera ini memang agak ganas. Namun begitu, sebut Manurung, hingga kini belum ada kepastian apa jenis penyakit babi ini, apakah hog cholera atau African Swine Fever (ASF). Ketika ditanya, kenapa hanya terjadi di Sumut, sementara daerah atau provinsi lain tidak terkena? Jhon menjelaskan, sumber penyakit ini diduga berawal dari kapal-kapal yang bersandar di Pelabuhan Belawan. Dimana, sisa makanan dari kapal seperti sosis yang terbawa dari luar negeri sebelum di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sebagian ditampung peternak. “Sehingga ada dugaan, wabah ini dari sisa makanan ringan seperti sosis yang tersisa dari kapal dimaksud, ujar Jhon.

Saat ini wilayah terserang penyakit babi sudah bertambah termasuk Kabupaten Pakpak Bharat dan Karo. Dairi sendiri sudah 17 kecamatan terkena, tinggal Kecamatan Silahisabungan yang belum mudah-mudahanlah aman. Terkait konpensasi, kita belum bisa pastikan apa ada atau tidak terhadap peternak, tandasnya.

462 Ekor Babi Mati di Karo

Kematian ternak babi juga terjadi di Kabupaten Karo. Dalam kurun waktu tiga minggu, sebanyak 462 ekor babi telah mati terserang wabah virus. Kerugian masyarakat peternak, dan pedagang diperkirakan mencapai Rp926.680.000. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, Dinas Pertanian Karo telah membentuk tim.

Data yang diperoleh Sumut Pos dari Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Selasa (12/11), ada empat kecamatan yang terdampak virus, diantaranya Kecamatan Lau Baleng, Mardinding, Kabanjahe, dan Simpang Empat. “Desa Lau Baleng sebanyak 440 ekor, Desa Perbulan Kecamatan Lau Baleng ada 3 ekor. Desa Nang Belawan, Kecamatan Simpang Empat 1 ekor. Sementara, Lau Cimba, dan Kampung Dalam, Kecamatan Kabanjahe ditemukan 3 ekor yang mati mendadak. Sedangkan di Desa Lau Pengulu, Kecamatan Mardinding ada 15 ekor” ujar Kadis Pertanian Karo, Metehsa Karo-Karo.

Terkait penyebab kematian babi di Karo, kata Metehsa Karo-Karo, dari hasil uji laboratorium Balai Veteriner Medan, menunjukan indikasi ke arah adanya penyakit African Swine Fever (ASF), namun masih indikasi. Hasil yang sudah pasti dari uji lab menyatakan positif terhadap hog cholera.

“Disinfektan masih terus kami lakukan. Semalam di kecamatan terdampak terbanyak, yaitu Lau Baleng dan Mardinding. Kami imbau masyarakat agar tidak membeli babi dari luar daerah, karena kesehatannya tidak terjamin. Mengonsumsi daging babi sehat tetap aman bagi kesehatan manusia,” imbuhnya.

Ditegaskan Metehsa, saat ini tim sedang melakukan penyemprotan dengan disinfektan yang tersisa. “Jumlah disinfektan yang kita miliki sudah sangat terbatas. Kita berharap Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi segera memberi bantuan disinfektan. Dengan demikian kita akan terus melakukan penyemprotan,” harapnya.

Berikan Efek Jera

Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumatera Utara, Zeira Salim Ritonga mendesak Kepolisian segera menindak dan mengungkap tuntas pelaku pembuangan bangkai babi ke sungai di beberapa daerah di Sumatera Utara. Ini penting dilakukan supaya memberi efek jera bagi siapapun yang ingin melakukan tindakan serupa ke depan.

“Tidak hanya kepolisian, saya kira ini PR (pekerjaan rumah) kita bersama supaya peristiwa ini dapat diminimalisir. Terlebih bagi warga yang berkeinginan melakukan tindakan yang sama, sehingga dapat menjadi efek jera,” kata Zeira Salim Ritonga menjawab wartawan, Rabu (13/11).

Pihaknya pun mendorong agar Pemprovsu mengambil langkah kongkrit dan cepat untuk mengatasi masalah penyakit hog cholera yang menjangkit ternak babi di Sumut, termasuk merebaknya bangkai babi yang dibuang ke sungai dan menyebar ke daerah. Sebab hal ini meresahkan masyarakat dan mencemari lingkungan.

“Harus ada juga koordinasi dengan pemkab setempat untuk mengambil langkah agar sungai-sungai tidak tercemar bangkai babi. Babi yang dibuang ke sungai itu akan menjadi penyakit, takutnya menyebar ke mana-mana, bukan hanya manusia tapi juga hewan-hewan lain dan merusak ekosistem sekitarnya. Dinas Lingkungan Hidup juga harus bergerak, jangan diam saja, anggarannya besar dan tidak terpakai,” katanya seraya mengapresiasi tim khusus yang telah dibentuk kepolisian guna mengusut kematian babi tersebut.

Atas kejadian ini, Komisi B DPRD Sumut berencana memanggil Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut untuk dimintai klarifikasi, baik soal virus kolera babi maupun kasus pembuangan bangkai babi ke sungai. “Karena sudah meresahkan masyarakat, kita ingin minta klarifikasi.

Kemarin kita tahu bahwa penyakit ini tidak menular ke manusia dan mereka juga bilang sudah ambil langkah vaksinasi, tapi memang anggarannya tidak ada. Tapi mereka sudah melakukan antisipasi. Saya kira karena ini sudah mengganggu, harus ada langkah kongkret Pemprovsu melalui Dinas Peternakan,” katanya. (map/bam/rud/deo/prn)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Virus Hog Cholera menjadi momok yang menakutkan bagi peternak babi saat ini. Pasalnya, sedikitnya 5.800 ekor babi mati mendadak di 11 kabupaten/kota se-Sumut akibat virus tersebut. Karenanya, sebagai upaya pencegahan penyebaran virus hog cholera tersebut, Dinas Pertanian dan Kelautan (Distanla) Kota Medan menghentikan masuknya ternak babi dari luar ke Medann

Kepala Distanla Kota Medan, Ikhsar Risyad Marbun mengaku sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Sumut untuk meminta agar pemkab dan pemko yang telah terjangkit virus ini agar tidak memasukkan ternak babinya ke Kota Medan. “Itu wewenangnya ada di provinsi, dan kita hanya bisa melakukan pengawasan supaya babi yang dimaksud tidak masuk ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada di Kota Medan. Kami sudah perintahkan petugas kita agar selalu mengawasi hewan yang masuk ke RPH,” kata Ikhsar kepada Sumut Pos, Rabu (13/11).

Sedangkan untuk babi-babi yang dikandangkan di Kota Medan, Ikhsar mengatakan, semuanya telah dilakukan pemeriksaan. Hasilnya, Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Medan tidak menemukan adanya babi yang terjangkit virus hog cholera. “Sudah kita periksa semuanya, yang di Simalingkar, di Tangguk Bongkar dan di tempat-tempat lainnya, negatif hog cholera. Tapi begitu pun, kita sudah instruksikan secara langsung maupun lewat kecamatan agar menanam bangkai babinya bila ada yang mati,” ujarnya.

Disebutkan Ikhsar, pihaknya sudah menanam ratusan bangkai babi di lima liang besar yang dibuat di bantaran sungai dan Danau Siombak. Selain itu, sesuai dengan instruksi dari Dirjen Peternakan, Pemko Medan juga akan segera membangun posko-posko untuk menangani masalah limbah bangkai babi tersebut. “Kita tinggal menunggu surat dari Pak Plt (Wali Kota), segera kita buat posko untuk menangani ini. Bila ada bangkai yang masuk kembali, akan segera ditangani. Tapi tindak pencegahan juga terus berjalan dengan menyetop masuknya babi dari luar ke Medan,” tandasnya.

Bangkai Babi Mengapung di Sungai Wampu

Sementara, bangkai babi sempat memghebohkan warga yang berada di aliran Sungai Wampu, Kabupaten Langkat, Rabu (13/11). Isra Fansuri, warga yang melihat pertama kali bangkai babi itu.

Pagi itu, sekitar pukul 08.43 WIB, dia hendak menyeberang dengan menggunakan getek dari Kecamatan Bingai, Kabupaten Langkat, menuju kota. Saat itu, perhatiannya tertuju pada tumpukan sampah di tepi Sungai Bingai. Dia melihat seperti ada bangkai mengapung di antara tumpukan sampah itu. “Awalnya, aku tak percaya. Setelah diperhatikan secara seksama, tenyata benar yang saya lihat itu bangkai babi. Lalu temuan ini kami beritahukan kepada warga dan menjadi heboh,” jelasnya.

Ternyata, tidak Cuma satu saja bangkai babi yang terlihat. Tapi ada tiga lagi bangkai babi yang terbawa arus sungai. Diduga kuat ketiga bangkai babi yang hanyut adalah anak dari babi yang tertahan ditumpukan sampah itu.

Menyikapi temuan ini, Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Langkat, Nasiruddin mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan info tersebut dan berusaha menelusuri temuan ini. Dijelaskanya, sejauh ini pihaknya berusaha mengevakuai bangkai babi itu agar tidak mencemari aliran sungai. Karena masih banyak masyarakat yang menggunakan sungai untuk keperluan sehari-hari.

Dengan banyaknya temuan bangkai babi yang dibuang ke sungai di beberapa titik di Sumatera Utara, dikatakan Nasiruddin, pihaknya jauh hari sudah memberikan penyuluhan kepada peternak. Agar setiap bangkai hewan ternak apapun itu mesti ditanam dan jangan dibuang sembarangan.

Apalagi dibuang ke aliran sungai yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan. “Jauh hari kita terus melakukan sosialisasi kepada peternak apapun itu, agar setiap hewan ternak yang mati sebaiknya ditanam daan jangan dibuang sembarangan,” tegasnya.

Di Dairi Sudah 2.200 Ekor Babi Mati

Tidak hanya Kota Medan, Pemkab Dairi juga diminta serius menangani wabah yang menyerang ternak babi di wilayah itu saat ini. Desakan itu disampaikan aliansi pemerhati ternak yang terdiri dari Perkumpulan Petani Organik Dairi (PPODA), Yaysan Petrasa, Asosiasi Peternak Babi (ASPERBA), Yayasan Diakones Pelangi Kasih (YDPK), Perkumpulan Pesada. serta Peternak Mandiri.

Monika Siregar, perwakilan dari YDPK mengatakan, mereka meminta pertanggungjawaban Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup Dairi terkait penanganan ternak babi yang mati, karena tidak sesuai standar dan imbauan yang diberikan sebelumnya kepada para peternak. Mereka juga mendesak Balai Veteriner untuk mengeluarkan informasi yang jelas dan terbaru terkait penyakit ternak babi.

“Kami juga meminta pemerintah mengeluarkan data yang valid dan terbaru terkait jumlah peternak yang merugi dan jumlah ternak babi yang mati dengan metode pendataan, nama peternak, jumlah ternak yang mati, estimasi kerugian materi, dan alamat peternak,” kata Monika.

Selanjutnya, mereka juga meminta pemerintah mengambil langkah nyata dalam pencegahan penyebaran penyakit babi yang menjangkau seluruh wilayah Kabupaten Dairi.

Aliansi ini juga mendesak pemerintah memberikan bantuan langsung terkait kerugian materi yang dialami para peternak. “Kita mendorong pemerintah memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa mengonsumsi daging babi adalah aman.

Sehingga usaha yang berkaitan dengan ternak babi seperti peternak babi, penjual pakan, rumah makan khas Batak, catering, penjual daging babi memiliki kepastian pasar. Peternak butih solusi konkret dalam penanganan wabah penyakit ternak babi dimaksud,” tandasnya.

Terpisah, Kabid Peternakan di Dinas Pertanian Kabupaten Dairi, Jhon F Manurung kepada wartawan, Rabu (13/11) mengatakan, jumlah babi yang sudah mati di Dairi hingga November 2019 sudah 2.200 ekor. Menurut Jhon, jika dilihat dari jumlah itu telah ada angka penurunan dibanding bulan lalu.

Tetapi katanya, kendala yang mereka hadapi saat ini, orang tidak mau lagi makan daging babi di rumah makan ataupun membeli ternak babi yang sehat. Sehingga kejadian itu sangat merugikan peternak.

“Usaha yang dilakukan peternak, semisal untuk menjual ternak mereka ke luar Sumatera Utara juga tidak laku. Pasalnya, ternak babi dari Sumut sudah ditolak provinsi lain sehingga tidak laku,” ungkap Jhon.

Dia menjelaskan, sebenarnya virus hog cholera ini memang agak ganas. Namun begitu, sebut Manurung, hingga kini belum ada kepastian apa jenis penyakit babi ini, apakah hog cholera atau African Swine Fever (ASF). Ketika ditanya, kenapa hanya terjadi di Sumut, sementara daerah atau provinsi lain tidak terkena? Jhon menjelaskan, sumber penyakit ini diduga berawal dari kapal-kapal yang bersandar di Pelabuhan Belawan. Dimana, sisa makanan dari kapal seperti sosis yang terbawa dari luar negeri sebelum di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sebagian ditampung peternak. “Sehingga ada dugaan, wabah ini dari sisa makanan ringan seperti sosis yang tersisa dari kapal dimaksud, ujar Jhon.

Saat ini wilayah terserang penyakit babi sudah bertambah termasuk Kabupaten Pakpak Bharat dan Karo. Dairi sendiri sudah 17 kecamatan terkena, tinggal Kecamatan Silahisabungan yang belum mudah-mudahanlah aman. Terkait konpensasi, kita belum bisa pastikan apa ada atau tidak terhadap peternak, tandasnya.

462 Ekor Babi Mati di Karo

Kematian ternak babi juga terjadi di Kabupaten Karo. Dalam kurun waktu tiga minggu, sebanyak 462 ekor babi telah mati terserang wabah virus. Kerugian masyarakat peternak, dan pedagang diperkirakan mencapai Rp926.680.000. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, Dinas Pertanian Karo telah membentuk tim.

Data yang diperoleh Sumut Pos dari Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Selasa (12/11), ada empat kecamatan yang terdampak virus, diantaranya Kecamatan Lau Baleng, Mardinding, Kabanjahe, dan Simpang Empat. “Desa Lau Baleng sebanyak 440 ekor, Desa Perbulan Kecamatan Lau Baleng ada 3 ekor. Desa Nang Belawan, Kecamatan Simpang Empat 1 ekor. Sementara, Lau Cimba, dan Kampung Dalam, Kecamatan Kabanjahe ditemukan 3 ekor yang mati mendadak. Sedangkan di Desa Lau Pengulu, Kecamatan Mardinding ada 15 ekor” ujar Kadis Pertanian Karo, Metehsa Karo-Karo.

Terkait penyebab kematian babi di Karo, kata Metehsa Karo-Karo, dari hasil uji laboratorium Balai Veteriner Medan, menunjukan indikasi ke arah adanya penyakit African Swine Fever (ASF), namun masih indikasi. Hasil yang sudah pasti dari uji lab menyatakan positif terhadap hog cholera.

“Disinfektan masih terus kami lakukan. Semalam di kecamatan terdampak terbanyak, yaitu Lau Baleng dan Mardinding. Kami imbau masyarakat agar tidak membeli babi dari luar daerah, karena kesehatannya tidak terjamin. Mengonsumsi daging babi sehat tetap aman bagi kesehatan manusia,” imbuhnya.

Ditegaskan Metehsa, saat ini tim sedang melakukan penyemprotan dengan disinfektan yang tersisa. “Jumlah disinfektan yang kita miliki sudah sangat terbatas. Kita berharap Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi segera memberi bantuan disinfektan. Dengan demikian kita akan terus melakukan penyemprotan,” harapnya.

Berikan Efek Jera

Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumatera Utara, Zeira Salim Ritonga mendesak Kepolisian segera menindak dan mengungkap tuntas pelaku pembuangan bangkai babi ke sungai di beberapa daerah di Sumatera Utara. Ini penting dilakukan supaya memberi efek jera bagi siapapun yang ingin melakukan tindakan serupa ke depan.

“Tidak hanya kepolisian, saya kira ini PR (pekerjaan rumah) kita bersama supaya peristiwa ini dapat diminimalisir. Terlebih bagi warga yang berkeinginan melakukan tindakan yang sama, sehingga dapat menjadi efek jera,” kata Zeira Salim Ritonga menjawab wartawan, Rabu (13/11).

Pihaknya pun mendorong agar Pemprovsu mengambil langkah kongkrit dan cepat untuk mengatasi masalah penyakit hog cholera yang menjangkit ternak babi di Sumut, termasuk merebaknya bangkai babi yang dibuang ke sungai dan menyebar ke daerah. Sebab hal ini meresahkan masyarakat dan mencemari lingkungan.

“Harus ada juga koordinasi dengan pemkab setempat untuk mengambil langkah agar sungai-sungai tidak tercemar bangkai babi. Babi yang dibuang ke sungai itu akan menjadi penyakit, takutnya menyebar ke mana-mana, bukan hanya manusia tapi juga hewan-hewan lain dan merusak ekosistem sekitarnya. Dinas Lingkungan Hidup juga harus bergerak, jangan diam saja, anggarannya besar dan tidak terpakai,” katanya seraya mengapresiasi tim khusus yang telah dibentuk kepolisian guna mengusut kematian babi tersebut.

Atas kejadian ini, Komisi B DPRD Sumut berencana memanggil Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut untuk dimintai klarifikasi, baik soal virus kolera babi maupun kasus pembuangan bangkai babi ke sungai. “Karena sudah meresahkan masyarakat, kita ingin minta klarifikasi.

Kemarin kita tahu bahwa penyakit ini tidak menular ke manusia dan mereka juga bilang sudah ambil langkah vaksinasi, tapi memang anggarannya tidak ada. Tapi mereka sudah melakukan antisipasi. Saya kira karena ini sudah mengganggu, harus ada langkah kongkret Pemprovsu melalui Dinas Peternakan,” katanya. (map/bam/rud/deo/prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/