25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Bencana Alam di jembatan Sidua-dua Parapat, Geolog : Bangun Benteng Longsor

LONGSOR: Personel polisi bersama warga menyaksikan pembersihan material longsor di Jembatan Sidua-dua, beberapa hari lalu.

SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Tidak ada yang dapat memprediksi kapan longsor bakal kembali menerjang Jembatan Sidua-dua alias Kembar di Parapat, Nagori Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun. Tapi yang pasti, sedikitnya longsor sudah delapan kali memutus jalan lintas Siantar-Parapat dalam kurun waktu sepekan. Apa penyebab berulangnya longsor di jembatan itu?

AHLI GEOLOGI senior Sumatera Utara, Jonathan Tarigan menyebut, ada tiga faktor yang mempengaruhinya. Faktor pertama, batuan di daerah Sibaganding merupakan batuan lepas yang mudah bergeser dengan tekanan tertentu. Misalnya hujan deras. Faktor kedua, tutupan tanahnya yang kehilangan ikatan, misalnya oleh perakaran. Faktor ketiga, tingginya curah hujan.

“Memang tidak setiap curah hujan tinggi bisa memicu longsor. Pada saat tertentu saja ketika memang cukup besar sehingga bisa memicu longsor. Tapi itu dia, batuannya batuan lepas, tanahnya tak ada ikatan, dan hujan deras,” kata Jonathan yang juga Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut ini, kemarin.

Dengan situasi demikian, menurutnya yang harus dilakukan pertama kali adalah memetakan terlebih dahulu, daerah mana saja yang longsor. Kedua, membuatn

benteng yang bisa memperlambat atau mencegah terjadinya longsor.

“Kalau tidak dibuat, bagaimana kita bisa tahu di mana saja daerah rawan longsor itu? Lalu antisipasi apa, upaya pencegahan apa yang harus dibuat. Benteng salahsatu solusi,” katanya.

Stakeholder Masih Petakan Masalah

Terpisah, para pemangku kepentingan di Sumatera Utara baru akan menggelar rapat teknis membahas tindakan mengurangi bencana (mitigasi) secara umum di wilayah Parapat pada pekan depan. Selain itu, secara khusus untuk titik longsor di Jalan Lintas Siantar-Parapat, baru akan dibentuk tim terpadu dalam upaya mencari penyebab berikut solusi atas bencana alam tersebut.

Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi antarstakeholder di Sumut menyikapi peristiwa bencana alam yang menyelimuti daerah ini secara keseluruhan, di Kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Senin (14/1). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut menjadi leading sector dalam rakor yang dibuka Sekdaprovsu, R Sabrina. Pertemuan tertutup itu dihadiri pihak BBPJN II, Dishub Sumut, Polda Sumut, Badan Geologi, BMKG dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

“Salah satu poin dalam rakor yakni, kita akan melakukan rencana aksi minggu depan. Yang akan dilakukan masing-masing OPD (organisasi perangkat daerah) baik provinsi dan kabupaten/kota bersama instansi vertikal. Ini akan jadi pedoman kita bersama. Apakah rencana aksi dalam membahas mitigasi pada saat siaga darurat sebelum bencana, tanggap darurat dan paskabencana. Serta jika diperlukan pendanaan lebih lanjut, kita akan lanjutkan ke Kemenkeu atau Kementerian PUPR,” kata Kepala BPBD Sumut, Riadil Akhir Lubis kepada wartawan usai rakor tersebut.

Diakuinya, akan segera dibentuk tim terpadu terkhusus penanganan longsor Jembatan Sidua-dua, seraya diminta kepada masing-masing OPD untuk melakukan supervisi. “Tim terdiri dari lintas sektoral nantinya. Dan akan bersinergi dengan tim ahli Kemen PUPR yang sudah turun sebelumnya. Kepada seluruh kepala daerah juga diminta untuk dapat mengatur tata ruang wilayahnya. Lakukan audit kebencanaan sehingga ke depan lebih mudah melakukan upaya antisipasinya,” katanya.

Menurut dia, aturan tata ruang yang tidak terkontrol selama ini, membuat masyarakat menjadi korban bila terjadi bencana alam. Karenanya ke depan, Pemprovsu berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya bermukim di area rawan bencana alam seperti di pinggir sungai, lereng gunung dan tebing.

“Ini yang ke depan akan kita tingkatkan, tata ruang terhadap daerah-daerah rawan bencana. Kita pun berupaya bagaimana penanggulangan bencana ini bisa masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah, sehingga ada kesadaran soal kebencanaan sejak dini,” katanya.

Secara umum pembahasan dalam rakor tersebut terhadap potensi bencana alam di daerah-daerah rawan bencana di Sumut. Termasuk penanganan banjir bandang dan longsor di Ulu Pungkut, Madina, Nias, Toba Samosir dan daerah lainnya. “Khusus di Jembatan Sidua-dua, dugaan sementara kita adanya aktivitas pertanian dan perkebunan yang bisa dikatakan sebagai penyebab bencana alam. Tapi kita tak bisa simpulkan dulu, dan baru sebatas menduga. Masing-masing OPD kita juga sudah memberikan analisis terhadap longsor di sana,” kata mantan Kepala Bappeda Sumut itu.

“Pak gubernur sudah instruksikan lagi semua kepala daerah untuk antisipasi bencana dan menata ulang tata ruang wilayah masing-masing. Berikut perintah untuk membuat tim terpadu bersama lintas sektoral atas longsor di Jembatan Sidua-dua,” imbuh dia.

Gubsu: Relokasi Warga

Terpisah, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan, upaya prioritas yang penting dilakukan menyikapi kesiapsiagaan bencana alam dengan merelokasi warga yang bermukim di daerah aliran sungai, lereng gunung maupun tebing-tebing. “Jadi nanti kita akan lakukan relokasi kepada rakyat-rakyat kita yang masih tinggal di wilayah itu. Dan itu sudah ada disiapkan anggaran untuk kebencanaan oleh pemerintah,” katanya.

Terkhusus longsor di Jembatan Sidua-dua, Edy menegaskan, bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sudah merusak ekosistem hutan lindung agar dilakukan proses hukum. Termasuk soal dugaan adanya aktivitas liar pertanian pada kawasan hutan negara di hulu sungai dari aliran jembatan tersebut.

“Kalau itu hutan lindung tidak boleh ditanami yang lain. Pertanyaan itu yang jawabannya sudah kalian (wartawan) tahu,” pungkasnya.

Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, meminta Polres Simalungun dan Dinas Kehutanan setempat, mengusut tuntas dugaan perusakan kawasan hutan lindung Parapat. Kawasan hutan lindung tersebut, diduga digunakan untuk perkebunan. “Pendirian perkebunan di kawasan hutan lindung itu tidak diperbolehkan dan jelas melanggar Undang-undang, serta pelakunya dapat dipidana,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan, Senin (14/1).

Ia mensinyalir, penyebab longsor yang menutupi jembatan Sidua-dua, Desa Sibanganding, Parapat, Kabupaten Simalungun, dikarenakan adanya alih fungsi hutan lindung. “Hal itu, tidak boleh dibiarkan, harus diproses secara hukum untuk memberikan efek jera terhadap pelaku,” tegas Dana.

Warga masyarakat maupun pihak perusahaan swasta, yang menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan perkebunan, adalah pelaku pelanggaran hukum yang sangat berat. Pelakunya, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, yang telah merusak lingkungan tersebut. “Polres Simalungun diharapkan agar secepatnya menemukan pelaku yang membuka perkebunan di pegunungan Parapat,” tandasnya.

Dana menyebut, Walhi sangat memprihatinkan, peristiwa longsor yang terjadi secara berulang-ulang. Tercatat, sudah delapan kali longsor terjadi, dan menutupi badan Jalan Pematang Siantar-Simalungun. Sementara jalan tersebut, menjadi sarana mobilitas utama warga setempat. Hal tersebut, meresahkan warga maupun pengguna jalan lintas Sumatera (Jalinsum), karena merasa tidak nyaman saat melintas karena takut tertimbun longsor. (prn/bbs)

LONGSOR: Personel polisi bersama warga menyaksikan pembersihan material longsor di Jembatan Sidua-dua, beberapa hari lalu.

SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Tidak ada yang dapat memprediksi kapan longsor bakal kembali menerjang Jembatan Sidua-dua alias Kembar di Parapat, Nagori Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun. Tapi yang pasti, sedikitnya longsor sudah delapan kali memutus jalan lintas Siantar-Parapat dalam kurun waktu sepekan. Apa penyebab berulangnya longsor di jembatan itu?

AHLI GEOLOGI senior Sumatera Utara, Jonathan Tarigan menyebut, ada tiga faktor yang mempengaruhinya. Faktor pertama, batuan di daerah Sibaganding merupakan batuan lepas yang mudah bergeser dengan tekanan tertentu. Misalnya hujan deras. Faktor kedua, tutupan tanahnya yang kehilangan ikatan, misalnya oleh perakaran. Faktor ketiga, tingginya curah hujan.

“Memang tidak setiap curah hujan tinggi bisa memicu longsor. Pada saat tertentu saja ketika memang cukup besar sehingga bisa memicu longsor. Tapi itu dia, batuannya batuan lepas, tanahnya tak ada ikatan, dan hujan deras,” kata Jonathan yang juga Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut ini, kemarin.

Dengan situasi demikian, menurutnya yang harus dilakukan pertama kali adalah memetakan terlebih dahulu, daerah mana saja yang longsor. Kedua, membuatn

benteng yang bisa memperlambat atau mencegah terjadinya longsor.

“Kalau tidak dibuat, bagaimana kita bisa tahu di mana saja daerah rawan longsor itu? Lalu antisipasi apa, upaya pencegahan apa yang harus dibuat. Benteng salahsatu solusi,” katanya.

Stakeholder Masih Petakan Masalah

Terpisah, para pemangku kepentingan di Sumatera Utara baru akan menggelar rapat teknis membahas tindakan mengurangi bencana (mitigasi) secara umum di wilayah Parapat pada pekan depan. Selain itu, secara khusus untuk titik longsor di Jalan Lintas Siantar-Parapat, baru akan dibentuk tim terpadu dalam upaya mencari penyebab berikut solusi atas bencana alam tersebut.

Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi antarstakeholder di Sumut menyikapi peristiwa bencana alam yang menyelimuti daerah ini secara keseluruhan, di Kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Senin (14/1). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut menjadi leading sector dalam rakor yang dibuka Sekdaprovsu, R Sabrina. Pertemuan tertutup itu dihadiri pihak BBPJN II, Dishub Sumut, Polda Sumut, Badan Geologi, BMKG dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

“Salah satu poin dalam rakor yakni, kita akan melakukan rencana aksi minggu depan. Yang akan dilakukan masing-masing OPD (organisasi perangkat daerah) baik provinsi dan kabupaten/kota bersama instansi vertikal. Ini akan jadi pedoman kita bersama. Apakah rencana aksi dalam membahas mitigasi pada saat siaga darurat sebelum bencana, tanggap darurat dan paskabencana. Serta jika diperlukan pendanaan lebih lanjut, kita akan lanjutkan ke Kemenkeu atau Kementerian PUPR,” kata Kepala BPBD Sumut, Riadil Akhir Lubis kepada wartawan usai rakor tersebut.

Diakuinya, akan segera dibentuk tim terpadu terkhusus penanganan longsor Jembatan Sidua-dua, seraya diminta kepada masing-masing OPD untuk melakukan supervisi. “Tim terdiri dari lintas sektoral nantinya. Dan akan bersinergi dengan tim ahli Kemen PUPR yang sudah turun sebelumnya. Kepada seluruh kepala daerah juga diminta untuk dapat mengatur tata ruang wilayahnya. Lakukan audit kebencanaan sehingga ke depan lebih mudah melakukan upaya antisipasinya,” katanya.

Menurut dia, aturan tata ruang yang tidak terkontrol selama ini, membuat masyarakat menjadi korban bila terjadi bencana alam. Karenanya ke depan, Pemprovsu berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya bermukim di area rawan bencana alam seperti di pinggir sungai, lereng gunung dan tebing.

“Ini yang ke depan akan kita tingkatkan, tata ruang terhadap daerah-daerah rawan bencana. Kita pun berupaya bagaimana penanggulangan bencana ini bisa masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah, sehingga ada kesadaran soal kebencanaan sejak dini,” katanya.

Secara umum pembahasan dalam rakor tersebut terhadap potensi bencana alam di daerah-daerah rawan bencana di Sumut. Termasuk penanganan banjir bandang dan longsor di Ulu Pungkut, Madina, Nias, Toba Samosir dan daerah lainnya. “Khusus di Jembatan Sidua-dua, dugaan sementara kita adanya aktivitas pertanian dan perkebunan yang bisa dikatakan sebagai penyebab bencana alam. Tapi kita tak bisa simpulkan dulu, dan baru sebatas menduga. Masing-masing OPD kita juga sudah memberikan analisis terhadap longsor di sana,” kata mantan Kepala Bappeda Sumut itu.

“Pak gubernur sudah instruksikan lagi semua kepala daerah untuk antisipasi bencana dan menata ulang tata ruang wilayah masing-masing. Berikut perintah untuk membuat tim terpadu bersama lintas sektoral atas longsor di Jembatan Sidua-dua,” imbuh dia.

Gubsu: Relokasi Warga

Terpisah, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan, upaya prioritas yang penting dilakukan menyikapi kesiapsiagaan bencana alam dengan merelokasi warga yang bermukim di daerah aliran sungai, lereng gunung maupun tebing-tebing. “Jadi nanti kita akan lakukan relokasi kepada rakyat-rakyat kita yang masih tinggal di wilayah itu. Dan itu sudah ada disiapkan anggaran untuk kebencanaan oleh pemerintah,” katanya.

Terkhusus longsor di Jembatan Sidua-dua, Edy menegaskan, bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sudah merusak ekosistem hutan lindung agar dilakukan proses hukum. Termasuk soal dugaan adanya aktivitas liar pertanian pada kawasan hutan negara di hulu sungai dari aliran jembatan tersebut.

“Kalau itu hutan lindung tidak boleh ditanami yang lain. Pertanyaan itu yang jawabannya sudah kalian (wartawan) tahu,” pungkasnya.

Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, meminta Polres Simalungun dan Dinas Kehutanan setempat, mengusut tuntas dugaan perusakan kawasan hutan lindung Parapat. Kawasan hutan lindung tersebut, diduga digunakan untuk perkebunan. “Pendirian perkebunan di kawasan hutan lindung itu tidak diperbolehkan dan jelas melanggar Undang-undang, serta pelakunya dapat dipidana,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan, Senin (14/1).

Ia mensinyalir, penyebab longsor yang menutupi jembatan Sidua-dua, Desa Sibanganding, Parapat, Kabupaten Simalungun, dikarenakan adanya alih fungsi hutan lindung. “Hal itu, tidak boleh dibiarkan, harus diproses secara hukum untuk memberikan efek jera terhadap pelaku,” tegas Dana.

Warga masyarakat maupun pihak perusahaan swasta, yang menjadikan kawasan hutan sebagai kawasan perkebunan, adalah pelaku pelanggaran hukum yang sangat berat. Pelakunya, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, yang telah merusak lingkungan tersebut. “Polres Simalungun diharapkan agar secepatnya menemukan pelaku yang membuka perkebunan di pegunungan Parapat,” tandasnya.

Dana menyebut, Walhi sangat memprihatinkan, peristiwa longsor yang terjadi secara berulang-ulang. Tercatat, sudah delapan kali longsor terjadi, dan menutupi badan Jalan Pematang Siantar-Simalungun. Sementara jalan tersebut, menjadi sarana mobilitas utama warga setempat. Hal tersebut, meresahkan warga maupun pengguna jalan lintas Sumatera (Jalinsum), karena merasa tidak nyaman saat melintas karena takut tertimbun longsor. (prn/bbs)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/