25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Malam Tiba, Kaum Perempuan pun Tak Keluar Rumah

095554_322901_bok_masjid

TUNISIA, SUMUTPOS.CO- SEBAGAI negara terkecil di Afrika Utara, Tunisia justru memiliki banyak situs Islam bersejarah. Sebagian besar di antaranya berada di Kota Kairouan. Berikut laporan wartawan Jawa Pos WAHYU DWI FINTARTO yang berkunjung ke sana akhir bulan lalu.

——
Begitu minibus yang mengantarkan saya dan rombongan berhenti, bangunan kukuh seperti benteng terlihat di depan kami. Jam digital di gadget Android saya saat itu menunjukkan pukul 09.00. Tetapi, saat kami turun dari minibus, terik matahari langsung menerpa. Untungnya, angin lumayan kencang dan udara musim semi saat itu tidak sampai membuat kami kepanasan.

Bangunan mirip benteng tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari tembok kota tua di Kairouan. Itulah kota Islam pertama di Afrika Utara. Pernah menjadi ibu kota kebudayaan Islam (Islamic Cultural Capital), saat ini Kairouan masuk dalam situs UNESCO World Heritage. Atas undangan Tunisia Tourism Board dan Qantas Airways, saya dan lima wartawan lain dari Indonesia mendapat kesempatan berkunjung ke kota tersebut.

Kairouan atau al-Qairawan merupakan ibu kota Provinsi Kairouan. Dari Kota Tunis, ibu kota Tunisia, Kairouan hanya berjarak sekitar 120 kilometer di sebelah selatan dan dapat dicapai tidak sampai satu setengah jam dengan mobil atau minibus.

Kebetulan, dari Kota Tunis yang berada di utara, kami melakukan perjalanan dan menginap dulu di Sousse atau Soussa, kota pantai di timur Tunisia. Dari Sousse, perjalanan darat ke Kairouan yang berjarak sekitar 50 kilometer itu hanya memakan waktu tidak sampai sejam.

Berada di wilayah pedalaman dengan kondisi alam yang kering, Kairouan menjadi salah satu kota terpenting di Tunisia. Kekhalifahan Islam merebut wilayah Tunisia dari kekuasaan Romawi pada awal abad ke-7. Di bawah Dinasti Aghlabiyah (Aghlabid), pemerintahan Islam di bawah Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, Iraq, Kairouan selanjutnya dibangun dan dijadikan ibu kota pemerintahan.

Kini setelah lebih dari 1.300 tahun, Kairouan menjadi destinasi wisata dan ziarah. Selain warga Tunisia yang 95 persen dari sekitar 10,8 juta penduduknya merupakan muslim Suni, banyak umat Islam dari negara-negara sekitar dan belahan dunia lain yang datang.

“Kairouan adalah kota suci muslim Tunisia,” tutur Oussama Ben Yedder, tour guide yang mendampingi kami. Turis dari Eropa dan Asia biasanya juga singgah ke kota itu saat berkunjung ke negara di timur Aljazair dan barat laut Libya tersebut.

Bangunan dengan tembok mirip benteng setinggi 1,9 meter yang kami kunjungi saat itu merupakan salah satu warisan terpenting dan merupakan bagian dari Kota Kairouan. Itulah Masjid Agung Kairouan atau Masjid Jami’ al-Qairawan al-Kabir. Penduduk setempat dan warga Tunisia sering menyebutnya Masjid Sidi-Uqba atau Masjid Uqba. Penyebutan itu disesuaikan dengan nama pendirinya, yakni Uqba Ibn Nafi.

Masjid yang dibangun pada 670 M atau 50 Hijriah tersebut merupakan salah satu warisan paling kuno dan prestisius di Maghribi. Sebagai masjid pertama di Afrika Utara, Masjid Sidi-Uqba dianggap masterpiece arsitektur dan seni Islam. “Saat ini Masjid Sidi-Uqba tercatat sebagai masjid tertua di Afrika,” jelas Oussama.

Masjid Sidi-Uqba, sebagaimana masjid-masjid lain di beberapa kota di Tunisia, menjadi bagian penting medina (kota tua warisan sejarah Arab Islam). Berlokasi di timur laut medina Kairouan, Masjid Sidi-Uqba terletak di Distrik Houmat al-Jami. Dinding salah satu bagian atau sisi masjid menyatu dengan tembok medina.

Area Masjid Sidi-Uqba memiliki empat sisi yang ukurannya tidak sama. Bagian timur memiliki panjang 127,6 meter atau lebih panjang ketimbang sisi barat (125,2 meter). Bagian selatan area masjid (78 meter) juga lebih panjang daripada sisi utara (72,7 meter). Masjid itu memiliki total luas area sekitar 9 ribu meter persegi.

Di sisi utara area masjid itu, terdapat sebuah menara yang berdiri di tengah-tengah tembok. Menara setinggi 31,5 meter tersebut tak memiliki akses masuk dari luar. Akses masuk hanya bisa dicapai dari dalam. “Menara itu dibangun di era Aghlabid. Saat ini menara tersebut merupakan (menara masjid) yang tertua yang masih berdiri di dunia,” terang Oussama.

Menara tersebut terdiri atas tiga tingkat. Di bagian paling atas, terdapat sebuah kubah kecil. Seperti sebagian bangunan lain di dalam kompleks masjid, menara itu dibangun dari batu susun yang berasal dari puing-puing peninggalan Romawi yang terdapat di sekitar atau di dekat lokasi tersebut. Selain tempat menyerukan azan, menara itu menjadi tempat pemantau. Dari kejauhan, menara tunggal tersebut terlihat seperti mercusuar di pantai atau di laut.

Setelah memasuki salah satu gerbang masjid yang terbuat dari kayu tebal berukir, perhatian saya tertuju ke halaman masjid yang cukup lapang. Bahkan, lebih luas jika dibandingkan dengan bagian dalam masjid yang digunakan untuk salat.

Berukuran sekitar 65 x 50 meter, halaman masjid itu memiliki empat sisi. Di setiap sisi, terdapat satu serambi yang beratap lengkung dan memiliki dua baris tiang. Lantainya menggunakan batu-batu granit yang ditata sedemikian rupa, sedangkan tiang-tiang dan pilar di halaman maupun bagian utama masjid terbuat dari marmer.

Ada sembilan gerbang atau pintu masuk di seluruh area masjid. Enam buah di antaranya secara langsung terhubung dengan halaman masjid. Dua buah berada di sisi timur dan barat ruangan yang digunakan untuk salat. Satu lainnya merupakan pintu menuju ruang salat khusus (maqsura) bagi para pejabat dan tokoh penting yang berada di bagian terdepan.

Pada saat-saat tertentu, halaman masjid juga dipakai untuk salat. “Terutama saat Ramadan. Saat itu, jamaah membeludak hingga mencapai 7 ribu orang. Jadi, halaman masjid dipenuhi jamaah untuk berbuka puasa dan menunaikan salat (wajib maupun tarawih),” ungkap Glouia Khaled, komisioner regional tourism of Kairouan, yang menyambut di halaman masjid beberapa saat setelah kami tiba.

Banyak bagian di dalam masjid yang sangat menarik diperhatikan. Setelah menunaikan salat sunah, saya mencoba mengamati seluruh bagian dalam masjid tersebut. Sangat banyak pilar yang menopang. Pilar-pilar itu membentuk lorong yang sekaligus juga berfungsi sebagai pembatas atau saf salat. Seluruh lantai tertutup karpet. Ruang salat bagi perempuan dibuat terpisah agak ke belakang di bagian barat.

Di tengah-tengah bagian selatan tembok masjid, terdapat mihrab yang terbuat dari marmer. Mihrab itu memiliki panjang sekitar 2 meter; lebar 1,6 meter; dan tinggi 4,5 meter. Sejumlah pustaka menulis, dekorasi dan ornamen di mihrab masjid tersebut berasal dari awal era perkembangan Islam. Dibuat pada 862″863, tempat imam itu disebut-sebut sebagai contoh mihrab tertua di dunia.

Di sebelah kanan mihrab, terdapat sebuah mimbar dari teak wood yang, konon, diimpor dari India. Dilengkapi 11 anak tangga, mimbar tersebut memiliki panjang 3,93 meter dan tinggi 3,31 meter. Banyak ukiran, pahatan, serta ornamen yang menghiasi mimbar yang digunakan setiap salat Jumat maupun salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) itu. Sebagian pihak menyebut mimbar tersebut dibuat para perajin di Kairouan, tetapi beberapa peneliti menyatakan didatangkan dari Baghdad.

Tidak ada yang tahu pasti mana yang benar di antara cerita tersebut. “Yang jelas, itu adalah mimbar tertua di dunia Islam. Dibuat pada abad ke-9, mimbar tersebut dibuat dan dipasang pada era Aghlabid,” jelas Oussama.

Mimbar tersebut bahkan sejak awal hingga kini tetap berada di sebelah kanan mihrab dan selama lebih dari seribu tahun tidak pernah dipindahkan. Saat ini mimbar tersebut ditempatkan di dalam atau diproteksi panel kaca.

Di dekat mimbar, terdapat maqsura. Ruang khusus itu memiliki panjang 8 meter dan lebar 6 meter. Para pejabat dan tokoh penting tidak perlu berdesakan atau bercampur dengan jamaah lain untuk menunaikan salat. Dibuat pada paro pertama abad ke-11, maqsura dilengkapi dinding pemisah dari kayu berukir setinggi 2,8 meter.

Saya juga melihat, di dekat pilar-pilar masjid, terdapat tempat air cukup besar. Sejumlah cawan dan cangkir ditempatkan dalam wadah di sampingnya. Itu sengaja disediakan untuk jamaah. “Silakan minum. Lebih enak dan segar pakai cawan,” tutur seorang penjaga masjid sambil mengambilkan salah satu bejana dari tanah liat tersebut dan menyerahkannya kepada saya.

Setelah melihat seluruh bagian masjid, saya keluar. Jarum jam telah menunjuk pukul 10.30. Meski saat itu hari Jumat, belum ada jamaah salat yang datang. Salat Jumat berlangsung pukul 13.00 hingga pukul 14.00. Karena itu, masjid masih dibuka untuk wisatawan atau peziarah.

Khaled mengungkapkan, Masjid Sidi-Uqba menjadi salah satu tujuan utama wisatawan dan peziarah saat berkunjung ke Kairouan. “Setiap tahun sekitar 260 ribu turis dan peziarah datang ke Kairouan. Mereka pun selalu datang ke sini,” katanya. Jumlah wisatawan itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk Kairouan yang saat ini berkisar 160 ribu jiwa.

Kabarnya, ada sebagian kalangan di Tunisia yang beranggapan bahwa berziarah ke Masjid Sidi-Uqba memiliki nilai spiritual yang sama penting dengan ziarah ke Tanah Suci. Konon, ada keyakinan bahwa tujuh kali berziarah ke masjid itu (akan mendapat pahala?) setara dengan sekali ziarah atau umrah ke Masjidilharam di Makkah. Wallahu ‘alam.

Di kalangan muslim Tunisia, Kairouan dianggap sebagai kota suci keempat setelah Makkah, Madinah, dan Al-Quds (Jerusalem). Ada banyak tempat religius dan spiritual yang biasa dikunjungi peziarah dan wisatawan.

Kairouan juga pernah digunakan sebagai lokasi syuting film Indiana Jones: Raiders of the Lost Ark saat setting adegan yang menggambarkan suasana jalan di Kota Kairo, Mesir.

Dari Masjid Sidi-Uqba, setelah singgah sebentar di sebuah objek wisata lain, minibus yang membawa saya dan rombongan menuju “Masjid Tukang Cukur”. Bangunan di dalam kota tua itu sesungguhnya merupakan makam Sidi Sahab yang dibangun pada abad ke-7. Tokoh yang punya nama asli Abu Zama al-Balaui tersebut merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Al-Balaui disebut-sebut pernah menjadi tukang cukur Nabi.

Saat datang dan menetap di Kairouan, konon, dia menyimpan tiga helai rambut janggut Nabi. Setelah wafat, al-Balaui dimakamkan di kompleks tersebut. Pada abad ke-17, dibangun masjid dan sejumlah fasilitas lain di dalam kompleks itu. Dari situlah nama “Masjid Tukang Cukur” bermula dan diabadikan hingga kini. “Di kompleks tersebut saat ini juga terdapat madrasah atau pesantren maupun tempat pengajaran Alquran,” kata Oussama.

Setelah makan siang dengan agak bergegas di restoran La Kasbah Hotel, hotel berbintang lima di sisi lain kota tua, saya dan seorang rekan meminta izin untuk berpisah. Dengan diantar sopir minibus, kami kembali ke Masjid Tukang Cukur untuk mengikuti salat Jumat. Kami beruntung karena belum banyak jamaah yang datang. Azan baru berkumandang pukul 13.00 dan dilanjutkan dengan khotbah. Salat Jumat berakhir pukul 14.00.

Kairouan juga punya julukan “kota dengan tiga ratus masjid”. Saya tidak tahu apakah masjid di Kairouan mencapai 300 buah. Tetapi, dari puncak salah satu bangunan bertingkat, saya dapat melihat pemandangan banyak (ratusan?) kubah putih di seantero kota tua tersebut. Selain di atap masjid, kubah dibangun di bagian atas makam sidi (sebutan untuk tokoh suci atau yang dianggap suci) maupun zaouia (madrasah dan pesantren).

Selain Masjid Sidi-Uqba dan Masjid Tukang Cukur, di Kairouan terdapat Masjid Tiga Pintu yang dibangun pada 866. Sesuai dengan namanya, masjid itu memiliki tiga pintu masuk dengan prasasti ukir kaligrafi. Bangunan bersejarah lain di sana, antara lain, Masjid Ansar (dibangun pada 667, tetapi dirombak total pada 1650) dan Masjid Al Bey (dibangun pada akhir abad ke-17).

Oussama menceritakan, sebagai kota suci, Kairouan memegang teguh tradisi maupun ajaran Islam. Kebanyakan perempuan yang tinggal di kota tersebut mengenakan hijab. Pada masa lampau, komunitas Yahudi juga tinggal di kota itu. Setelah pemeluk Yahudi -yang berjumlah sekitar 5 persen bersama penganut kristiani dan agama lain di seluruh Tunisia- pindah dan bermukim di Jerba, pulau kecil di tenggara negeri itu, saat ini Kairouan merupakan kota muslim Suni.

Warga kota penghasil karpet itu, kata Oussama, dikenal konservatif. Hotel-hotel memang berdiri dan beroperasi di Kairouan.”Tetapi, jangan harap bisa menyaksikan atraksi tari perut seperti yang biasa disuguhkan banyak hotel berbintang di kota-kota lain,” tutur pria yang sudah 10 tahun menggeluti profesi pemandu wisata itu. “Saat malam mulai tiba, kaum perempuan di sini tidak keluar rumah,” lanjutnya. (*)

095554_322901_bok_masjid

TUNISIA, SUMUTPOS.CO- SEBAGAI negara terkecil di Afrika Utara, Tunisia justru memiliki banyak situs Islam bersejarah. Sebagian besar di antaranya berada di Kota Kairouan. Berikut laporan wartawan Jawa Pos WAHYU DWI FINTARTO yang berkunjung ke sana akhir bulan lalu.

——
Begitu minibus yang mengantarkan saya dan rombongan berhenti, bangunan kukuh seperti benteng terlihat di depan kami. Jam digital di gadget Android saya saat itu menunjukkan pukul 09.00. Tetapi, saat kami turun dari minibus, terik matahari langsung menerpa. Untungnya, angin lumayan kencang dan udara musim semi saat itu tidak sampai membuat kami kepanasan.

Bangunan mirip benteng tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari tembok kota tua di Kairouan. Itulah kota Islam pertama di Afrika Utara. Pernah menjadi ibu kota kebudayaan Islam (Islamic Cultural Capital), saat ini Kairouan masuk dalam situs UNESCO World Heritage. Atas undangan Tunisia Tourism Board dan Qantas Airways, saya dan lima wartawan lain dari Indonesia mendapat kesempatan berkunjung ke kota tersebut.

Kairouan atau al-Qairawan merupakan ibu kota Provinsi Kairouan. Dari Kota Tunis, ibu kota Tunisia, Kairouan hanya berjarak sekitar 120 kilometer di sebelah selatan dan dapat dicapai tidak sampai satu setengah jam dengan mobil atau minibus.

Kebetulan, dari Kota Tunis yang berada di utara, kami melakukan perjalanan dan menginap dulu di Sousse atau Soussa, kota pantai di timur Tunisia. Dari Sousse, perjalanan darat ke Kairouan yang berjarak sekitar 50 kilometer itu hanya memakan waktu tidak sampai sejam.

Berada di wilayah pedalaman dengan kondisi alam yang kering, Kairouan menjadi salah satu kota terpenting di Tunisia. Kekhalifahan Islam merebut wilayah Tunisia dari kekuasaan Romawi pada awal abad ke-7. Di bawah Dinasti Aghlabiyah (Aghlabid), pemerintahan Islam di bawah Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, Iraq, Kairouan selanjutnya dibangun dan dijadikan ibu kota pemerintahan.

Kini setelah lebih dari 1.300 tahun, Kairouan menjadi destinasi wisata dan ziarah. Selain warga Tunisia yang 95 persen dari sekitar 10,8 juta penduduknya merupakan muslim Suni, banyak umat Islam dari negara-negara sekitar dan belahan dunia lain yang datang.

“Kairouan adalah kota suci muslim Tunisia,” tutur Oussama Ben Yedder, tour guide yang mendampingi kami. Turis dari Eropa dan Asia biasanya juga singgah ke kota itu saat berkunjung ke negara di timur Aljazair dan barat laut Libya tersebut.

Bangunan dengan tembok mirip benteng setinggi 1,9 meter yang kami kunjungi saat itu merupakan salah satu warisan terpenting dan merupakan bagian dari Kota Kairouan. Itulah Masjid Agung Kairouan atau Masjid Jami’ al-Qairawan al-Kabir. Penduduk setempat dan warga Tunisia sering menyebutnya Masjid Sidi-Uqba atau Masjid Uqba. Penyebutan itu disesuaikan dengan nama pendirinya, yakni Uqba Ibn Nafi.

Masjid yang dibangun pada 670 M atau 50 Hijriah tersebut merupakan salah satu warisan paling kuno dan prestisius di Maghribi. Sebagai masjid pertama di Afrika Utara, Masjid Sidi-Uqba dianggap masterpiece arsitektur dan seni Islam. “Saat ini Masjid Sidi-Uqba tercatat sebagai masjid tertua di Afrika,” jelas Oussama.

Masjid Sidi-Uqba, sebagaimana masjid-masjid lain di beberapa kota di Tunisia, menjadi bagian penting medina (kota tua warisan sejarah Arab Islam). Berlokasi di timur laut medina Kairouan, Masjid Sidi-Uqba terletak di Distrik Houmat al-Jami. Dinding salah satu bagian atau sisi masjid menyatu dengan tembok medina.

Area Masjid Sidi-Uqba memiliki empat sisi yang ukurannya tidak sama. Bagian timur memiliki panjang 127,6 meter atau lebih panjang ketimbang sisi barat (125,2 meter). Bagian selatan area masjid (78 meter) juga lebih panjang daripada sisi utara (72,7 meter). Masjid itu memiliki total luas area sekitar 9 ribu meter persegi.

Di sisi utara area masjid itu, terdapat sebuah menara yang berdiri di tengah-tengah tembok. Menara setinggi 31,5 meter tersebut tak memiliki akses masuk dari luar. Akses masuk hanya bisa dicapai dari dalam. “Menara itu dibangun di era Aghlabid. Saat ini menara tersebut merupakan (menara masjid) yang tertua yang masih berdiri di dunia,” terang Oussama.

Menara tersebut terdiri atas tiga tingkat. Di bagian paling atas, terdapat sebuah kubah kecil. Seperti sebagian bangunan lain di dalam kompleks masjid, menara itu dibangun dari batu susun yang berasal dari puing-puing peninggalan Romawi yang terdapat di sekitar atau di dekat lokasi tersebut. Selain tempat menyerukan azan, menara itu menjadi tempat pemantau. Dari kejauhan, menara tunggal tersebut terlihat seperti mercusuar di pantai atau di laut.

Setelah memasuki salah satu gerbang masjid yang terbuat dari kayu tebal berukir, perhatian saya tertuju ke halaman masjid yang cukup lapang. Bahkan, lebih luas jika dibandingkan dengan bagian dalam masjid yang digunakan untuk salat.

Berukuran sekitar 65 x 50 meter, halaman masjid itu memiliki empat sisi. Di setiap sisi, terdapat satu serambi yang beratap lengkung dan memiliki dua baris tiang. Lantainya menggunakan batu-batu granit yang ditata sedemikian rupa, sedangkan tiang-tiang dan pilar di halaman maupun bagian utama masjid terbuat dari marmer.

Ada sembilan gerbang atau pintu masuk di seluruh area masjid. Enam buah di antaranya secara langsung terhubung dengan halaman masjid. Dua buah berada di sisi timur dan barat ruangan yang digunakan untuk salat. Satu lainnya merupakan pintu menuju ruang salat khusus (maqsura) bagi para pejabat dan tokoh penting yang berada di bagian terdepan.

Pada saat-saat tertentu, halaman masjid juga dipakai untuk salat. “Terutama saat Ramadan. Saat itu, jamaah membeludak hingga mencapai 7 ribu orang. Jadi, halaman masjid dipenuhi jamaah untuk berbuka puasa dan menunaikan salat (wajib maupun tarawih),” ungkap Glouia Khaled, komisioner regional tourism of Kairouan, yang menyambut di halaman masjid beberapa saat setelah kami tiba.

Banyak bagian di dalam masjid yang sangat menarik diperhatikan. Setelah menunaikan salat sunah, saya mencoba mengamati seluruh bagian dalam masjid tersebut. Sangat banyak pilar yang menopang. Pilar-pilar itu membentuk lorong yang sekaligus juga berfungsi sebagai pembatas atau saf salat. Seluruh lantai tertutup karpet. Ruang salat bagi perempuan dibuat terpisah agak ke belakang di bagian barat.

Di tengah-tengah bagian selatan tembok masjid, terdapat mihrab yang terbuat dari marmer. Mihrab itu memiliki panjang sekitar 2 meter; lebar 1,6 meter; dan tinggi 4,5 meter. Sejumlah pustaka menulis, dekorasi dan ornamen di mihrab masjid tersebut berasal dari awal era perkembangan Islam. Dibuat pada 862″863, tempat imam itu disebut-sebut sebagai contoh mihrab tertua di dunia.

Di sebelah kanan mihrab, terdapat sebuah mimbar dari teak wood yang, konon, diimpor dari India. Dilengkapi 11 anak tangga, mimbar tersebut memiliki panjang 3,93 meter dan tinggi 3,31 meter. Banyak ukiran, pahatan, serta ornamen yang menghiasi mimbar yang digunakan setiap salat Jumat maupun salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) itu. Sebagian pihak menyebut mimbar tersebut dibuat para perajin di Kairouan, tetapi beberapa peneliti menyatakan didatangkan dari Baghdad.

Tidak ada yang tahu pasti mana yang benar di antara cerita tersebut. “Yang jelas, itu adalah mimbar tertua di dunia Islam. Dibuat pada abad ke-9, mimbar tersebut dibuat dan dipasang pada era Aghlabid,” jelas Oussama.

Mimbar tersebut bahkan sejak awal hingga kini tetap berada di sebelah kanan mihrab dan selama lebih dari seribu tahun tidak pernah dipindahkan. Saat ini mimbar tersebut ditempatkan di dalam atau diproteksi panel kaca.

Di dekat mimbar, terdapat maqsura. Ruang khusus itu memiliki panjang 8 meter dan lebar 6 meter. Para pejabat dan tokoh penting tidak perlu berdesakan atau bercampur dengan jamaah lain untuk menunaikan salat. Dibuat pada paro pertama abad ke-11, maqsura dilengkapi dinding pemisah dari kayu berukir setinggi 2,8 meter.

Saya juga melihat, di dekat pilar-pilar masjid, terdapat tempat air cukup besar. Sejumlah cawan dan cangkir ditempatkan dalam wadah di sampingnya. Itu sengaja disediakan untuk jamaah. “Silakan minum. Lebih enak dan segar pakai cawan,” tutur seorang penjaga masjid sambil mengambilkan salah satu bejana dari tanah liat tersebut dan menyerahkannya kepada saya.

Setelah melihat seluruh bagian masjid, saya keluar. Jarum jam telah menunjuk pukul 10.30. Meski saat itu hari Jumat, belum ada jamaah salat yang datang. Salat Jumat berlangsung pukul 13.00 hingga pukul 14.00. Karena itu, masjid masih dibuka untuk wisatawan atau peziarah.

Khaled mengungkapkan, Masjid Sidi-Uqba menjadi salah satu tujuan utama wisatawan dan peziarah saat berkunjung ke Kairouan. “Setiap tahun sekitar 260 ribu turis dan peziarah datang ke Kairouan. Mereka pun selalu datang ke sini,” katanya. Jumlah wisatawan itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan penduduk Kairouan yang saat ini berkisar 160 ribu jiwa.

Kabarnya, ada sebagian kalangan di Tunisia yang beranggapan bahwa berziarah ke Masjid Sidi-Uqba memiliki nilai spiritual yang sama penting dengan ziarah ke Tanah Suci. Konon, ada keyakinan bahwa tujuh kali berziarah ke masjid itu (akan mendapat pahala?) setara dengan sekali ziarah atau umrah ke Masjidilharam di Makkah. Wallahu ‘alam.

Di kalangan muslim Tunisia, Kairouan dianggap sebagai kota suci keempat setelah Makkah, Madinah, dan Al-Quds (Jerusalem). Ada banyak tempat religius dan spiritual yang biasa dikunjungi peziarah dan wisatawan.

Kairouan juga pernah digunakan sebagai lokasi syuting film Indiana Jones: Raiders of the Lost Ark saat setting adegan yang menggambarkan suasana jalan di Kota Kairo, Mesir.

Dari Masjid Sidi-Uqba, setelah singgah sebentar di sebuah objek wisata lain, minibus yang membawa saya dan rombongan menuju “Masjid Tukang Cukur”. Bangunan di dalam kota tua itu sesungguhnya merupakan makam Sidi Sahab yang dibangun pada abad ke-7. Tokoh yang punya nama asli Abu Zama al-Balaui tersebut merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Al-Balaui disebut-sebut pernah menjadi tukang cukur Nabi.

Saat datang dan menetap di Kairouan, konon, dia menyimpan tiga helai rambut janggut Nabi. Setelah wafat, al-Balaui dimakamkan di kompleks tersebut. Pada abad ke-17, dibangun masjid dan sejumlah fasilitas lain di dalam kompleks itu. Dari situlah nama “Masjid Tukang Cukur” bermula dan diabadikan hingga kini. “Di kompleks tersebut saat ini juga terdapat madrasah atau pesantren maupun tempat pengajaran Alquran,” kata Oussama.

Setelah makan siang dengan agak bergegas di restoran La Kasbah Hotel, hotel berbintang lima di sisi lain kota tua, saya dan seorang rekan meminta izin untuk berpisah. Dengan diantar sopir minibus, kami kembali ke Masjid Tukang Cukur untuk mengikuti salat Jumat. Kami beruntung karena belum banyak jamaah yang datang. Azan baru berkumandang pukul 13.00 dan dilanjutkan dengan khotbah. Salat Jumat berakhir pukul 14.00.

Kairouan juga punya julukan “kota dengan tiga ratus masjid”. Saya tidak tahu apakah masjid di Kairouan mencapai 300 buah. Tetapi, dari puncak salah satu bangunan bertingkat, saya dapat melihat pemandangan banyak (ratusan?) kubah putih di seantero kota tua tersebut. Selain di atap masjid, kubah dibangun di bagian atas makam sidi (sebutan untuk tokoh suci atau yang dianggap suci) maupun zaouia (madrasah dan pesantren).

Selain Masjid Sidi-Uqba dan Masjid Tukang Cukur, di Kairouan terdapat Masjid Tiga Pintu yang dibangun pada 866. Sesuai dengan namanya, masjid itu memiliki tiga pintu masuk dengan prasasti ukir kaligrafi. Bangunan bersejarah lain di sana, antara lain, Masjid Ansar (dibangun pada 667, tetapi dirombak total pada 1650) dan Masjid Al Bey (dibangun pada akhir abad ke-17).

Oussama menceritakan, sebagai kota suci, Kairouan memegang teguh tradisi maupun ajaran Islam. Kebanyakan perempuan yang tinggal di kota tersebut mengenakan hijab. Pada masa lampau, komunitas Yahudi juga tinggal di kota itu. Setelah pemeluk Yahudi -yang berjumlah sekitar 5 persen bersama penganut kristiani dan agama lain di seluruh Tunisia- pindah dan bermukim di Jerba, pulau kecil di tenggara negeri itu, saat ini Kairouan merupakan kota muslim Suni.

Warga kota penghasil karpet itu, kata Oussama, dikenal konservatif. Hotel-hotel memang berdiri dan beroperasi di Kairouan.”Tetapi, jangan harap bisa menyaksikan atraksi tari perut seperti yang biasa disuguhkan banyak hotel berbintang di kota-kota lain,” tutur pria yang sudah 10 tahun menggeluti profesi pemandu wisata itu. “Saat malam mulai tiba, kaum perempuan di sini tidak keluar rumah,” lanjutnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/