27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Mayoritas Fraksi di DPR RI Tolak Pilkada Tanpa Paket

Pandangan Resmi atas Rancangan Undang-undang Pilkada

Usul pemerintah agar pilkada tidak lagi memilih wakil kepala daerah mendapat tentangan dari sejumlah fraksi. Dalam pandangan resmi terhadap draf RUU pilkada, sejumlah fraksi DPR menolak draf insiatif pemerintah yang mengusulkan wakil kepala daerah dipilih dari pejabat karir itu.

“JABATAN kepala daerah adalah jabatan politik. Jabatan politik wilayahnya di kebijakan, sementara karir hanya di teknis. Akan muncul pertanyaan jika kepala daerah absen, bagaimana penggantinya,” kata anggota komisi II dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain dalam pandangan fraksi atas RUU pilkada di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (13/6).

Malik mengatakan, dengan latar belakang pejabat karir, tidak mungkin wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah jika berhalangan. PKB dalam hal ini tidak menolak sistem pemilihan tunggal yang diusulkan pemerintah. Namun, kewenangan menentukan wakil kepala daerah seharusnya tidak bisa diintervensi pemerintah.

“PKB mengusulkan agar dua atau tiga nama calon wakil kepala daerah diusulkan dulu kepada parpol, atau kepala daerah diberi kewenangan memilih wakilnya sendiri,” ujarnya.

Fraksi Partai Golkar juga menunjukkan keberatan atas sistem pemilihan tanpa paket yang diusulkan pemerintah. Anggota Komisi II DPR Azhar Romli saat membacakan pandangan fraksinya, menilai akan muncul problem jika wakil kepala daerah diangkat menggantikan kepala daerah yang berhalangan secara undang-undang. “Wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah belum tentu mencerminkan aspirasi rakyat,” ujar Romli.
Anggota Fraksi Partai Hanura Miriam S. Hariyani saat membacakan pandangan fraksinya juga menolak usul pilkada tanpa paket. Alasan pemerintah bahwa pencalonan dengan paket selama ini kerap berujung perpecahan antara kepala daerah dan wakilnya, tidak bisa menjadi alasan kuat. “Pecah kongsi itu disebabkan tidak ada pembagian tugas yang jelas,” kata Miriam.

Hal ini menjadi tugas perumus RUU pilkada untuk melakukan sinkronisasi dengan RUU pemerintahan daerah yang saat ini dibahas dalam panitia khusus. “Pembagian tugas seharusnya diatur di UU Pemda. Selama ini wakil hanya bertugas seremonial. Ini sangat ironis dan merupakan pemborosan anggaran,” jelasnya. Fraksi Partai Amanat Nasional pun sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Hanura.

Fraksi PDIP, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerindra tidak secara langsung menolak usul pilkada tanpa paket itu. Namun, mereka meminta pemerintah menjelaskan lebih lanjut maksud dan tujuan usul itu. Sementara Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tidak secara langsung menyinggung pasal itu.

Di luar penolakan fraksi atas pasal pilkada tanpa paket, mayoritas fraksi justru sependapat dengan usul pemerintah yang melarang pencalonan kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan incumbent alias petahana. Namun, fraksi meminta Kementerian Dalam Negeri lebih melakukan elaborasi atas pasal tersebut. Sebab, dikhawatirkan, pasal itu berpotensi dibatalkan di Mahkamah Konstitusi jika tidak memiliki landasan yang kuat.

Selesai rapat, Mendagri Gamawan Fauzi mengapresiasi pandangan fraksi-fraksi tersebut. Dia siap memberikan gambaran lebih aktual terkait latar belakang usul pilkada tanpa wakil kepala daerah itu. “Kita akan menyampaikan pengalaman-pengalaman yang ada selama ini,” katanya.
Menurut Gamawan, fakta bahwa 90 persen hubungan kepala daerah dengan wakilnya tidak harmonis memang terbukti. Ini disebabkan pemilihan kepala daerah selalu dilakukan dengan koalisi antar parpol.

Saat terpilih, mayoritas kepala daerah dengan wakilnya memilih pecah kongsi karena kentalnya kepentingan parpol. “Jika kepala daerah bermasalah, bisa dilakukan pemilihan kembali. Bukan wakilnya yang menggantikan,” ujarnya. (bay/c2/agm/jpnn)

Pandangan Resmi atas Rancangan Undang-undang Pilkada

Usul pemerintah agar pilkada tidak lagi memilih wakil kepala daerah mendapat tentangan dari sejumlah fraksi. Dalam pandangan resmi terhadap draf RUU pilkada, sejumlah fraksi DPR menolak draf insiatif pemerintah yang mengusulkan wakil kepala daerah dipilih dari pejabat karir itu.

“JABATAN kepala daerah adalah jabatan politik. Jabatan politik wilayahnya di kebijakan, sementara karir hanya di teknis. Akan muncul pertanyaan jika kepala daerah absen, bagaimana penggantinya,” kata anggota komisi II dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain dalam pandangan fraksi atas RUU pilkada di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (13/6).

Malik mengatakan, dengan latar belakang pejabat karir, tidak mungkin wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah jika berhalangan. PKB dalam hal ini tidak menolak sistem pemilihan tunggal yang diusulkan pemerintah. Namun, kewenangan menentukan wakil kepala daerah seharusnya tidak bisa diintervensi pemerintah.

“PKB mengusulkan agar dua atau tiga nama calon wakil kepala daerah diusulkan dulu kepada parpol, atau kepala daerah diberi kewenangan memilih wakilnya sendiri,” ujarnya.

Fraksi Partai Golkar juga menunjukkan keberatan atas sistem pemilihan tanpa paket yang diusulkan pemerintah. Anggota Komisi II DPR Azhar Romli saat membacakan pandangan fraksinya, menilai akan muncul problem jika wakil kepala daerah diangkat menggantikan kepala daerah yang berhalangan secara undang-undang. “Wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah belum tentu mencerminkan aspirasi rakyat,” ujar Romli.
Anggota Fraksi Partai Hanura Miriam S. Hariyani saat membacakan pandangan fraksinya juga menolak usul pilkada tanpa paket. Alasan pemerintah bahwa pencalonan dengan paket selama ini kerap berujung perpecahan antara kepala daerah dan wakilnya, tidak bisa menjadi alasan kuat. “Pecah kongsi itu disebabkan tidak ada pembagian tugas yang jelas,” kata Miriam.

Hal ini menjadi tugas perumus RUU pilkada untuk melakukan sinkronisasi dengan RUU pemerintahan daerah yang saat ini dibahas dalam panitia khusus. “Pembagian tugas seharusnya diatur di UU Pemda. Selama ini wakil hanya bertugas seremonial. Ini sangat ironis dan merupakan pemborosan anggaran,” jelasnya. Fraksi Partai Amanat Nasional pun sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Hanura.

Fraksi PDIP, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerindra tidak secara langsung menolak usul pilkada tanpa paket itu. Namun, mereka meminta pemerintah menjelaskan lebih lanjut maksud dan tujuan usul itu. Sementara Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tidak secara langsung menyinggung pasal itu.

Di luar penolakan fraksi atas pasal pilkada tanpa paket, mayoritas fraksi justru sependapat dengan usul pemerintah yang melarang pencalonan kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan incumbent alias petahana. Namun, fraksi meminta Kementerian Dalam Negeri lebih melakukan elaborasi atas pasal tersebut. Sebab, dikhawatirkan, pasal itu berpotensi dibatalkan di Mahkamah Konstitusi jika tidak memiliki landasan yang kuat.

Selesai rapat, Mendagri Gamawan Fauzi mengapresiasi pandangan fraksi-fraksi tersebut. Dia siap memberikan gambaran lebih aktual terkait latar belakang usul pilkada tanpa wakil kepala daerah itu. “Kita akan menyampaikan pengalaman-pengalaman yang ada selama ini,” katanya.
Menurut Gamawan, fakta bahwa 90 persen hubungan kepala daerah dengan wakilnya tidak harmonis memang terbukti. Ini disebabkan pemilihan kepala daerah selalu dilakukan dengan koalisi antar parpol.

Saat terpilih, mayoritas kepala daerah dengan wakilnya memilih pecah kongsi karena kentalnya kepentingan parpol. “Jika kepala daerah bermasalah, bisa dilakukan pemilihan kembali. Bukan wakilnya yang menggantikan,” ujarnya. (bay/c2/agm/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/