25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Tersinggung Berat Dipanggail Mister Monkey

Jangan nilai isi buku dari sampulnya. Ungkapan itu pas untuk menggambarkan sosok Willie Smits, tokoh lingkungan hidup Indonesia yang mendunia. Warga naturalisasi dari Belanda itu sudah 30 tahun memberdayakan kekayaan alam dan satwa Indonesia. 

MOCHAMAD SALSABYL AD’N, Jakarta

WILLIE Smits hampir tak pernah melewatkan melakukan ritual setiap kali mengunjungi Pusat Primata Schmutzer di Kebun Binatang
Ragunan, Jakarta Selatan.

AKRAB: Tokoh lingkungan hidup yang merupakan warga naturalisasi dari Belanda Willie Smits (kanan)   akrab dengan pemberdayaan kekayaan alam dan satwa di Indonesia.
AKRAB: Tokoh lingkungan hidup yang merupakan warga naturalisasi dari Belanda Willie Smits (kanan) akrab dengan pemberdayaan kekayaan alam dan satwa di Indonesia.

Rabu lalu (11/6), misalnya.  Begitu turun dari taksi dan bersalaman dengan Jawa Pos (Grup Sumut Pos), pria kelahiran Kota Weurt, Belanda, itu tanpa basa-basi langsung masuk ke fasilitas konservasi yang dibangun pada 2002 itu. Langkah gegasnya langsung menuju kandang setiap primata yang ada di sana. “Maaf  saya harus keliling dulu. Kalau mereka melihat saya lewat tapi tidak menemui, mereka bisa marah,” tuturnya.

Benar saja, melihat tubuh jangkung Willie, salah satu satwa langsung bereaksi. Meski dipisahkan kaca tebal, pria yang kini menginjak usia 58 itu tak malu merespons sapaan satwa itu dengan bertingkah mirip binatang.

“Meskipun tidak masuk, cara ini sudah cukup buat menunjukkan rasa sayang pada mereka. Kalau saya masuk nanti tidak boleh keluar sampai satu jam,” imbuhnya.

Acara jalan-jalan keliling kandang itu berlanjut hingga satu jam. Setiap satwa — gorila, siamang, simpanse, orang utan dan lain-lain, tak terlewatkan disambangi Willie. Dia tak lupa  menanyakan kabar mereka kepada petugas yang berjaga.

“Kualitas tempat ini sekarang menurun. Dulu saya dirikan dengan dana USD 7,5 juta sumbangan dari Nyonya Puck Schmutzer. Sekarang jenis makanannya saja tinggal 50-an. Padahal dulu ketika masih saya urus ada 120 jenis makanan untuk hewan di sini,” ucapnya dengan nada sedikit dongkol.

Tak bisa dimungkiri, pembicaraan soal kesejahteraan satwa, terutama golongan primata, merupakan isu paling sensitif  bagi Willie. Hal itu bermula saat dirinya meneliti tumbuhan di Indonesia.

“Saya ini ahli kehutanan dan mikrobiologi. Sejak tahun 80-an sudah keliling untuk meneliti berbagai tumbuhan. Salah satunya, tentang budidaya meranti di Indonesia,” jelas pria bergelar profesor dan dosen tamu di berbagai perguruan tinggi di Indonesia itu.

Penelitian Willie dinilai sukses. Hal itu membuat pemerintah Indonesia tertarik menawari Willie untuk meneliti lebih lanjut budidaya meranti di Wanaruset Samboja, Kalimantan Timur. Gayung bersambut, Willie dengan senang hati menerimanya. Pada 1985, dia mulai bekerja melakukan penelitian.

“Bahkan, sejak itu saya tidak balik lagi ke Belanda. Saya memutuskan untuk pindah ke Indonesia sampai sekarang,” papar ilmuwan yang memperoleh hak kewarganegaraan Indonesia pada 1992 itu.

Pertemuan pertama Willie dengan primata Indonesia terjadi pada 1989. Awalnya karena persoalan sepele. Saat itu dia ditawari seseorang untuk membeli anak orang utan yang sakit-sakitan.

“Dia bilang, mister, mister, monkey… Ada anak orang utan yang matanya sedih sekali. Tapi, saya tidak menggubris tawaran itu. Saya dongkol dibilang seperti itu,” ceritanya.

Malamnya, Willie menemukan bayi primata itu di tempat sampah dalam kondisi lemah tak berdaya. “Mungkin sudah dikira mati. Bayi orang utan itu saya ambil. Saya sempat dikejar orang yang membuang bayi orang utan itu dan disuruh membayar, tapi saya tidak mau,” bilangnya.

Itulah orang utan pertama yang dirawat Willie hingga sembuh. Sejak itu, dia sering mendapatkan laporan orang utan yang telantar dan mengadopsinya. Akhirnya, pada 1991, bersama teman penelitinya, Peter Karsono, Willie mendirikan Balikpapan Orangutan Society (BOS), cikal bakal dari Balikpapan Orangutan Survival Foundation dan The Borneo Orangutan Survival Foundation.

“Selama 3,5 tahun pertama, BOS dibiayai dari uang sumbangan siswa yang peduli tentang nasib orang utan yang merana. Setiap siswa mendonasikan Rp 1.000 untuk biaya operasional perawatan sekitar 80 ekor orang utan,” bebernya.

Namun, lantaran primata yang diurus semakin banyak, Willie dkk pun semakin kewalahan. Bahkan, pada 1998 BOS nyaris gulung tikar karena tak kuat membiayai perawatan ratusan orang utan yang telantar akibat kebakaran hutan.

Beruntung, kondisi itu diliput tim National Geographic dan menayangkannya di jaringan televisi internasional, hingga akhirnya Willie pun bisa bernapas lega karena bebannya berkurang.

Tidak hanya dengan BOS, Willie kemudian juga mendirikan Gibbon Foundation Indonesia, yayasan yang menangani konservasi satwa dan lingkungan. Berkat kegigihannya itu, dia lalu diminta untuk menjadi staf ahli menteri kehutanan.

“Sekarang yang menjadi musuh utama orang utan adalah pohon sawit. Sebab, hanya karena uang, para pemilik modal menghancurkan habitat orang utan. Itu ruginya justru besar,” celetuknya.

Tidak hanya satwa, Willie juga memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui tanaman. Uniknya, ide menyejahterakan rakyat melalui tanaman itu didapat dari kearifan lokal suku Minahasa, Sulawesi Utara.

“Saya dapat ide itu dari mas kawin orang Minahasa. Untuk menikah, pria Minahasa harus memberikan mas kawin berupa enam pohon aren. Awalnya, saya pikir nggak mungkin mas kawin semurah itu. Tapi, kata mereka,  masa kawin pohon aren itu bisa menghidupi keluarga. Saat itu tahun 80-an saya mulai menanam aren dan mulai mempelajari tanaman tersebut,” ungkapnya.

Berdasar penelitiannya, Willie baru tahu bahwa pohon aren sangat bermanfaat. Mulai gulanya sampai setiap bagiannya bisa dimanfaatkan. “Gula aren itu lebih sehat dari gula tebu. Juga bisa dipakai bahan bioethanol,” ujarnya.

Dari penelitian itu, Willie kembali mendirikan Yayasan Masaran untuk mengembangkan potensi pohon aren. Menurut dia, tanaman itu bahkan bisa menghilangkan ketergantungan bangsa ini pada bahan bakar minyak (BBM). “Kita bisa manfaatkan ini menjadi bahan bakar alternatif. Sudah saya rumuskan sehingga Indonesia kelak menjadi negara swasembada energi. Makanya, omongan Indonesia negara kaya itu bukan omong kosong,” jelasnya.

Pernyataannya itu dibuktikan pada 2007 saat Willie mendirikan pabrik gula aren dengan memanfaatkan energi panas sisa dari proyek geothermal Pertamina sebagai program CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Dengan cara begitu pabrik itu bisa menghemat penebangan pohon untuk kayu bakar.

“Saya terus mencari orang yang mau investasi tapi bukan hanya mau untungnya sendiri saja. Melainkan, juga untuk menyejahterakan rakyat,” terangnya.

Meski lebih separo hidupnya didedikasikan untuk negara ini, Willie masih sering mendapat perlakuan yang kurang simpatik. Sebagai warga naturalisasi, dia sering mendapat sindiran dari orang-orang pribumi. Banyak yang masih merasa Willie sebagai orang asing yang mau mengambil untung sendiri. Salah satu hal yang paling tidak dia sukai adalah panggilan mister.

“Tolong jangan panggil saya mister. Panggil saja Pak Willie. Saya ini juga orang Indonesia,” tegasnya.

Menurut dia panggilan itu terasa seperti diskriminasi kepada warga naturalisasi. Padahal, dia merasa sudah merelakan semua jaminan dan asuransinya sebagai warga Belanda untuk menjadi WNI.

“Saya nggak suka itu. Di sini kan bhinneka tunggal ika. Meski berbeda-beda tapi tetap satu. Saya tulus  menjadi orang Indonesia. Lihat hati orangnya dong,” tandas dia.

Dari semangat itulah dia terus berusaha melindungi satwa dan kekayaan alam Indonesia. Pasalnya, mereka adalah kaum minoritas yang perlu dilindungi haknya. “Prinsip bhinneka tunggal ika kan yang mayoritas melindungi minoritas, yang minoritas menghormati mayoritas. Kalau orang utan, satwa lain, dan lingkungan sebagai minoritas tak dilindungi, mereka akan terus tergusur,” tandasnya. (*/ari)

Jangan nilai isi buku dari sampulnya. Ungkapan itu pas untuk menggambarkan sosok Willie Smits, tokoh lingkungan hidup Indonesia yang mendunia. Warga naturalisasi dari Belanda itu sudah 30 tahun memberdayakan kekayaan alam dan satwa Indonesia. 

MOCHAMAD SALSABYL AD’N, Jakarta

WILLIE Smits hampir tak pernah melewatkan melakukan ritual setiap kali mengunjungi Pusat Primata Schmutzer di Kebun Binatang
Ragunan, Jakarta Selatan.

AKRAB: Tokoh lingkungan hidup yang merupakan warga naturalisasi dari Belanda Willie Smits (kanan)   akrab dengan pemberdayaan kekayaan alam dan satwa di Indonesia.
AKRAB: Tokoh lingkungan hidup yang merupakan warga naturalisasi dari Belanda Willie Smits (kanan) akrab dengan pemberdayaan kekayaan alam dan satwa di Indonesia.

Rabu lalu (11/6), misalnya.  Begitu turun dari taksi dan bersalaman dengan Jawa Pos (Grup Sumut Pos), pria kelahiran Kota Weurt, Belanda, itu tanpa basa-basi langsung masuk ke fasilitas konservasi yang dibangun pada 2002 itu. Langkah gegasnya langsung menuju kandang setiap primata yang ada di sana. “Maaf  saya harus keliling dulu. Kalau mereka melihat saya lewat tapi tidak menemui, mereka bisa marah,” tuturnya.

Benar saja, melihat tubuh jangkung Willie, salah satu satwa langsung bereaksi. Meski dipisahkan kaca tebal, pria yang kini menginjak usia 58 itu tak malu merespons sapaan satwa itu dengan bertingkah mirip binatang.

“Meskipun tidak masuk, cara ini sudah cukup buat menunjukkan rasa sayang pada mereka. Kalau saya masuk nanti tidak boleh keluar sampai satu jam,” imbuhnya.

Acara jalan-jalan keliling kandang itu berlanjut hingga satu jam. Setiap satwa — gorila, siamang, simpanse, orang utan dan lain-lain, tak terlewatkan disambangi Willie. Dia tak lupa  menanyakan kabar mereka kepada petugas yang berjaga.

“Kualitas tempat ini sekarang menurun. Dulu saya dirikan dengan dana USD 7,5 juta sumbangan dari Nyonya Puck Schmutzer. Sekarang jenis makanannya saja tinggal 50-an. Padahal dulu ketika masih saya urus ada 120 jenis makanan untuk hewan di sini,” ucapnya dengan nada sedikit dongkol.

Tak bisa dimungkiri, pembicaraan soal kesejahteraan satwa, terutama golongan primata, merupakan isu paling sensitif  bagi Willie. Hal itu bermula saat dirinya meneliti tumbuhan di Indonesia.

“Saya ini ahli kehutanan dan mikrobiologi. Sejak tahun 80-an sudah keliling untuk meneliti berbagai tumbuhan. Salah satunya, tentang budidaya meranti di Indonesia,” jelas pria bergelar profesor dan dosen tamu di berbagai perguruan tinggi di Indonesia itu.

Penelitian Willie dinilai sukses. Hal itu membuat pemerintah Indonesia tertarik menawari Willie untuk meneliti lebih lanjut budidaya meranti di Wanaruset Samboja, Kalimantan Timur. Gayung bersambut, Willie dengan senang hati menerimanya. Pada 1985, dia mulai bekerja melakukan penelitian.

“Bahkan, sejak itu saya tidak balik lagi ke Belanda. Saya memutuskan untuk pindah ke Indonesia sampai sekarang,” papar ilmuwan yang memperoleh hak kewarganegaraan Indonesia pada 1992 itu.

Pertemuan pertama Willie dengan primata Indonesia terjadi pada 1989. Awalnya karena persoalan sepele. Saat itu dia ditawari seseorang untuk membeli anak orang utan yang sakit-sakitan.

“Dia bilang, mister, mister, monkey… Ada anak orang utan yang matanya sedih sekali. Tapi, saya tidak menggubris tawaran itu. Saya dongkol dibilang seperti itu,” ceritanya.

Malamnya, Willie menemukan bayi primata itu di tempat sampah dalam kondisi lemah tak berdaya. “Mungkin sudah dikira mati. Bayi orang utan itu saya ambil. Saya sempat dikejar orang yang membuang bayi orang utan itu dan disuruh membayar, tapi saya tidak mau,” bilangnya.

Itulah orang utan pertama yang dirawat Willie hingga sembuh. Sejak itu, dia sering mendapatkan laporan orang utan yang telantar dan mengadopsinya. Akhirnya, pada 1991, bersama teman penelitinya, Peter Karsono, Willie mendirikan Balikpapan Orangutan Society (BOS), cikal bakal dari Balikpapan Orangutan Survival Foundation dan The Borneo Orangutan Survival Foundation.

“Selama 3,5 tahun pertama, BOS dibiayai dari uang sumbangan siswa yang peduli tentang nasib orang utan yang merana. Setiap siswa mendonasikan Rp 1.000 untuk biaya operasional perawatan sekitar 80 ekor orang utan,” bebernya.

Namun, lantaran primata yang diurus semakin banyak, Willie dkk pun semakin kewalahan. Bahkan, pada 1998 BOS nyaris gulung tikar karena tak kuat membiayai perawatan ratusan orang utan yang telantar akibat kebakaran hutan.

Beruntung, kondisi itu diliput tim National Geographic dan menayangkannya di jaringan televisi internasional, hingga akhirnya Willie pun bisa bernapas lega karena bebannya berkurang.

Tidak hanya dengan BOS, Willie kemudian juga mendirikan Gibbon Foundation Indonesia, yayasan yang menangani konservasi satwa dan lingkungan. Berkat kegigihannya itu, dia lalu diminta untuk menjadi staf ahli menteri kehutanan.

“Sekarang yang menjadi musuh utama orang utan adalah pohon sawit. Sebab, hanya karena uang, para pemilik modal menghancurkan habitat orang utan. Itu ruginya justru besar,” celetuknya.

Tidak hanya satwa, Willie juga memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui tanaman. Uniknya, ide menyejahterakan rakyat melalui tanaman itu didapat dari kearifan lokal suku Minahasa, Sulawesi Utara.

“Saya dapat ide itu dari mas kawin orang Minahasa. Untuk menikah, pria Minahasa harus memberikan mas kawin berupa enam pohon aren. Awalnya, saya pikir nggak mungkin mas kawin semurah itu. Tapi, kata mereka,  masa kawin pohon aren itu bisa menghidupi keluarga. Saat itu tahun 80-an saya mulai menanam aren dan mulai mempelajari tanaman tersebut,” ungkapnya.

Berdasar penelitiannya, Willie baru tahu bahwa pohon aren sangat bermanfaat. Mulai gulanya sampai setiap bagiannya bisa dimanfaatkan. “Gula aren itu lebih sehat dari gula tebu. Juga bisa dipakai bahan bioethanol,” ujarnya.

Dari penelitian itu, Willie kembali mendirikan Yayasan Masaran untuk mengembangkan potensi pohon aren. Menurut dia, tanaman itu bahkan bisa menghilangkan ketergantungan bangsa ini pada bahan bakar minyak (BBM). “Kita bisa manfaatkan ini menjadi bahan bakar alternatif. Sudah saya rumuskan sehingga Indonesia kelak menjadi negara swasembada energi. Makanya, omongan Indonesia negara kaya itu bukan omong kosong,” jelasnya.

Pernyataannya itu dibuktikan pada 2007 saat Willie mendirikan pabrik gula aren dengan memanfaatkan energi panas sisa dari proyek geothermal Pertamina sebagai program CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Dengan cara begitu pabrik itu bisa menghemat penebangan pohon untuk kayu bakar.

“Saya terus mencari orang yang mau investasi tapi bukan hanya mau untungnya sendiri saja. Melainkan, juga untuk menyejahterakan rakyat,” terangnya.

Meski lebih separo hidupnya didedikasikan untuk negara ini, Willie masih sering mendapat perlakuan yang kurang simpatik. Sebagai warga naturalisasi, dia sering mendapat sindiran dari orang-orang pribumi. Banyak yang masih merasa Willie sebagai orang asing yang mau mengambil untung sendiri. Salah satu hal yang paling tidak dia sukai adalah panggilan mister.

“Tolong jangan panggil saya mister. Panggil saja Pak Willie. Saya ini juga orang Indonesia,” tegasnya.

Menurut dia panggilan itu terasa seperti diskriminasi kepada warga naturalisasi. Padahal, dia merasa sudah merelakan semua jaminan dan asuransinya sebagai warga Belanda untuk menjadi WNI.

“Saya nggak suka itu. Di sini kan bhinneka tunggal ika. Meski berbeda-beda tapi tetap satu. Saya tulus  menjadi orang Indonesia. Lihat hati orangnya dong,” tandas dia.

Dari semangat itulah dia terus berusaha melindungi satwa dan kekayaan alam Indonesia. Pasalnya, mereka adalah kaum minoritas yang perlu dilindungi haknya. “Prinsip bhinneka tunggal ika kan yang mayoritas melindungi minoritas, yang minoritas menghormati mayoritas. Kalau orang utan, satwa lain, dan lingkungan sebagai minoritas tak dilindungi, mereka akan terus tergusur,” tandasnya. (*/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/