MEDAN, SUMUTPOS.CO – Densus 88 Anti Teror menemukan fakta baru terkait Rabbial Muslim Nasution (RMN) alias Dedek , pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Rabu pagi. Penarik ojek online berusia 24 tahun itu diduga terpapar paham radikal dari istrinya bernama Dewi Anggraeni alias DA. Diketahui, Dewi secara intens mengunjungi napi teroris (napiter) di Lapas Wanita Kelas II Medan. Terkuak pula rencana untuk melakukan aksi teror di Bali.
KAROPENMAS Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, istri pelaku bom bunuh diri telah diamankan Rabu (13/11) malam. Dalam pemeriksaan diketahui, Dewi lebih dulu terpapar paham radikal dibanding suaminya RMN. “Patut diduga DA ini yang membuat suaminya memiliki paham radikal,” ungkapnya.
Petugas juga melakukan penggeledahan di rumah Dewi. Namun belum ditemukan adanya bahan peledak. Hanya ditemukan senjata tajam dan sejumlah buku catatan. “Dari penyelidikan Densus 88 Anti Teror diketahui DA sangat aktif di media sosial,” paparnya.
Peran Dewi tidak hanya itu. Densus 88 Anti Teror juga mendeteksi adanya aktivitas yang intens dari Dewi untuk berkunjung ke Lapas Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan. Dari hasil pemeriksaan diketahui Dewi sering mengunjungi napiter (napi teroris) berinisial I. Mereka juga intens chatting via facebook. “Sampai terakhir diamankan tadi malam, masih ada komunikasi (antara D dengan I) di medsos,” terang Dedi.
Dari hasil pemeriksaan, Dewi dan narapidana terorisme itu sedang menyusun rencana melakukan aksi teror di Bali, beberapa waktu ke depan. Kini polisi sedang menyelidiki lebih lanjut asal jaringan D dan I.
Berdasarkan pengalaman pemberantasan terorisme selama ini, lanjut Dedi, bentuk komunikasi serupa D dan I ini bukanlah gerakan lone wolf, melainkan gerakan yang terorganisasi kelompok teror. “Ini masih didalami dulu, siapa pemimpin daripada kelompok ini. Apakah ada penyandang dananya, apakah ada yang memiliki keahlian untuk merakit bom?” kata Dedi.
Terlebih lagi, bom bunuh diri yang digunakan RMN terbilang memiliki rangkaian yang cukup sulit. Hal ini membuat dugaan bahwa terdapat jaringan teroris lama di balik bom bunuh diri itu.
Hingga saat ini jenis dan perakit bom yang meledak di Mapolrestabes Medan belum diketahui. Dedi mengakui bahwa daya ledaknya lumayan besar, namun belum bisa dipastikan laboratorium apakah ini high explosive atau low explosive. “Tunggu dari labfor kalau ini,” jelasnya.
Polisi Buru Guru Spiritual Pelaku
Wakapolda Sumut Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto menyatakan, polisi tengah memburu imam atau guru spritual pelaku. Sebab disinyalir berperan mempengaruhi pelaku dalam melakukan aksinya. “Saat ini kita masih mengejar sosok yang disebut imamnya. Kita sudah mengantongi identitasnya,” ujar Wakapolda Sumut Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto di Markas Brimob Polda Sumut, Kamis (14/11).
Kata Mardiaz, berdasarkan hasil keterangan Dewi, istri pelaku, ada kelompok-kelompok pengajian. Akan tetapi belum bisa diduga sebagai pelaku. “Saat ini kita masih melakukan pengembangan, kami mohon kepada rekan wartawan sabar menunggu. Tim di lapangan termasuk dari Inafis dan Labfor masih bekerja,” ungkapnya.
Keterangan mertua pelaku, pelaku sebelumnya tidak terlihat menganut paham radikal. “Namun dalam waktu 6 bulan saja sudah berubah,” ucap Mardiaz.
Ia mengharapkan, kepada orang tua agar mengawasi anaknya supaya tidak salah masuk ke kelompok yang berdalihkan agama. Apabila ada kelompok yang menyebarkan paham-paham bertentangan dengan Pancasila, agar diinformasikan kepada polisi atau aparat lainnya.
Informasi dari mertua pelaku, terduga ini pernah bekerja menjadi mitra ojek online. Tetapi belakangan sudah tidak aktif lagi. Hasil penyelidikan dan pengembangan, pihaknya mengamankan istri pelaku bernama Dewi, dan kedua mertua pelaku. “Ketiganya masih diperiksa sebagai saksi,” sebutnya.
“Hasil penggeledahan dari sepeda motor pelaku yang tertinggal di depan Mapolrestabes Medan, ditemukan dua butir peluru kaliber 22,” bebernya.
Mengenai jasad pelaku, Mardiaz mengaku, akan diserahkan kepada keluarga. “Otopsi sudah dilakukan. Akan diserahkan ke keluarga setelah seluruh proses penyelidikan selesai,” pungkasnya.
Terkait hasil deteksi Densus 88 Anti Teror tentang adanya aktivitas yang intens dari Dewi berkunjung ke Lapas Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan, mengunjungi napiter (napi teroris) berinisial I, Sumut Pos melakukan penelusuran mencari identitas wargabinaan kasus terorisme itu. Hasil pencarian dari Google, napiter inisial I mengarah kepada IPS alias I alias TS alias SBS (38). Ia satu-satunya napi yang menjalani hukuman kasus terorisme di Medan.
IPS dipidana setelah ditangkap terkait rencana bom bunuh diri di Istana Negara pada 2016 lalu. Dia bahkan sudah disiapkan sebagai calon eksekutor atau “pengantin” dalam rencana bom bunuh diri di Bali.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur pada 2017 menghukum IPS dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan.
Kepala Lapas Wanita Klas II A Tanjung Gusta, Surta Duma Sihombing, saat dikonfirmasi membenarkan I adalah wargabinaan mereka. I dititipkan oleh Densus 88 Anti Teror untuk menjalani hukumannya di Lapas Tanjung Gusta.
“Orangnya ada (di Lapas Kelas IIA Tanjung Gusta), tapi nggak boleh juga kami ngomong atau infokan apa pun juga. Harus Densus (88),” sebut Surta kepada wartawan di Medan, kemarin.
Ia menyebutkan setelah kejadian bom bunuh di Polrestabes Medan, I tidak ada dijemput atau diperiksa kembali pihak kepolisian di Lapas itu.
Menurut Surta, IPS dipindahkan dari Rutan Mako Brimob, Depok beberapa tahun lalu, pascakerusuhan di Rutan tersebut.”(Setelah kasus) Mako Brimob dulu, dikirim kemari, satu orang saja,” tandasnya.
Brigjen Dedi Prasetyo menambahkan, jumlah terduga teroris yang ditangkap hingga Kamis sore telah bertambah, dari delapan orang menjadi sepuluh orang. Yakni, lima orang di Riau, tiga orang di Banten, satu orang di Bekasi dan satu orang di Jawa Tengah. “Masih diteliti hubungannya dengan aksi di Medan,” ungkapnya.
Penjagaan di Mapolrestabes Super Ketat
Pascaaksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan Rabu (13/11) pagi, penjagaan di kantor polisi tersebut super ketat. Personel yang berjaga di pintu masuk gerbang utama naik menjadi 15 orang. Sebelumnya jumlah personel tak sampai belasan orang.
Para personel yang berjaga dilengkapi senjata laras panjang. Selain itu, ada yang dilengkapi dengan alat metal detektor.
Masyarakat yang hendak masuk wajib melalui pemeriksaan berlapis. Sebelum melewati portal, masyarakat diminta membongkar seluruh isi tasnya di sebuah meja. Setelahnya, pemeriksaan badan. Setelah melewati portal, warga kembali diperiksa menggunakan metal detektor. Kemudian kembali pemeriksaan badan.
Selanjutnya, warga didata dan ditanya tujuannya ke Mapolrestabes. Usai didata dan diperiksa, warga diarahkan menuju tempat yang mereka tuju, dengan diberikan tanda pengenal berupa badge. Sementara, wartawan belum diperkenankan masuk.
“Untuk media belum bisa masuk, kalau untuk keperluan membuat SKCK silakan masuk. Tapi harus melewati pemeriksaan dan menunjukkan berkas yang hendak diurus,” ujar salah seorang personel yang bertugas, Kamis (14/11)
Wakapolda Sumut Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto mengakui, pihaknya meningkatkan pengamanan terhadap markas komando, baik di tingkat Polda, Polres maupun Polsek. Para personel bersiaga untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.
“Untuk pengamanan sudah bertahun-tahun dilakukan. Namun Polri kan juga ada pelayanan publik, mulai dari pengurusan SKCK, SIM, hingga laporan polisi ke Satreskrim. Sehingga kalau diterapkan pengamanan ketat seperti di hotel bintang lima, tentu akan menghambat pelayanan kita,” kata Mardiaz.
Aksi Terorisme Sudah Berkurang
Berkaitan dengan upaya deradikalisasi yang berjalan selama ini, pemerintah belum melihat perlu ada perubahan pola. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyebut, deradikalisasi berjalan seperti biasa. “Bukan dievaluasi deradikalisasinya, ditingkatkan (kualitasnya),” ungkap Mahfud.
Mahfud menyebutkan bahwa deradikalisasi bukan perkara sederhana. Butuh proses dan tidak bisa dilakukan begitu saja. “Kalau tindakan melanggar hukum ya dibawa ke hukum, kalau tindakan ideologis dibawa ke wacana, kalau tindakan ujaran kebencian dibawa ke KUHP kan gitu,” terang mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
Saat ini, lanjut Mahfud, aksi terorisme sudah berkurang. Secara kuantitaf, dia menyebutkan bahwa kondisi itu merupakan kabar baik. “Artinya jumlah teror 2017 dan 2018 itu lebih tinggi dari 2019,” ungkap dia. Selain itu, menurut Mahfud, kinerja aparat kepolisian dalam mengungkap kasus terorisme berjalan baik.
Melalui langkah-langkah antisipasi yang dilakukan, banyak terduga teroris ditangkap sebelum mereka beraksi. Karena itu, dia membantah kejadian di Medan merupakan kebobolan. “Kalau tidak diantisipasi pasti lebih banyak,” kata dia. “Yang tertangkap-tangkap itu kan punya rencana semua,” tambah dia.
Pria yang juga pernah dipercaya sebagai menteri pertahanan itu menyampaikan bahwa antisipasi aksi terorisme tidak pernah berhenti dilakukan. Namun demikian, satu atau dua aksi yang terjadi tidak lantas bisa disebut sebagai kebobolan. “Antisipasi ada, ketika ada peristiwa. Itu jadi pembuka untuk ambil (terduga teroris) yang lain,” imbuhnya.
Sebelumnya, RMN yang mengenakan jaket berlogo ojek online melakukan bom bunuh diri di halaman Mapolrestabes Medan, Rabu pagi. Pelaku meninggal dunia di tempat dengan kondisi mengenaskan. Enam orang luka ringan. Empat orang merupakan personel Polri, satu orang pekerja PHL, sedangkan seorang lainnya masyarakat biasa.
Hasil olah TKP, pria berjaket ojek online itu berinisial RMN, usia 24 tahun. RMN yang berstatus pelajar/mahasiswa itu lahir di Kota Medan, 11 Agustus 1995. Berdasarkan data catatan kependudukan, RMN tinggal di bilangan Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan. (gus/ris/idr/syn/jpg)