29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sempat tak Boleh Audisi karena Cacat

Muhammad Bangun Harahap, Peserta Indonesia Idol yang Gagal ke Jakarta

Karena banyak yang mengatakan suaranya bagus dan berkualitas, menjadi pengamen dipilihnya untuk menyambung hidup. Dengan keadaan terbatas (cacat), Muhammad Bangun Harahap (25) mencoba peruntungan dalam kontes menyanyi. Melihat dan menyaksikan kesuksesan yang diraih para pemenang, membuat semangatnya terus berkobar untuk tetap mengikuti kontes Indonesia Idol.

Juli Ramadhani Rambe, Medan

Walau tak sampai melangkah ke Jakarta, tetapi kegagalan tersebut bukan membuat dirinya lemah dan hilang semangat. “Saya sadar dengan keadaaan saya yang kekurangan, tetapi saya bangga dengan diri saya, pengamen, cacat, tetapi sudah ketemu langsung dengan Anang Hermansyah, salaman, dan berpelukan,” ungkap Bangun.

Baginya, tidak semua orang dapat ketemu dan salaman langsung dengan artis sekelas Anang. Apalagi, dirinya cacat dan bekerja sebagai pengamen. “Orang normal saja mungkin agak sulit, mungkin karena mereka tidak mau atau apalah. Tetapi saya yang orang biasa yang sehari-harinya di jalan, merasa senang dan bangga,” tambahnya.
Tahun 2010 yang lalu, Bangun yang lahir normal ini sudah mencoba untuk mengikuti pemilihan Indonesia Idol, tetapi belum memasuki registrasi, Bangun sudah disuruh pulang. “Panitia kasihan dengan saya, cacat dan tinggi badan yang tidak memadai, sehingga mereka nyuruh pulang,” tambahnya.

Pengalaman pertama yang tidak menyenangkan tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Malah sebaliknya, melihat kesuksesan yang diraih pemenang Indonesia Idol terdahulu membuat semangatnya kembali berkobar. Bahkan, menurutnya, manajemen dari Indonesia Idol terjun langsung untuk menjaga eksistensi pemenang. “Kelihatannya mereka profesional menjaga artis yang diorbitkannya, biar tetap eksis, jadi semangat. Siapa tahu, jadi pemenang,” ungkapnya di Unimed, akhir pekan lalu.

Semangat yang terus dijaganya, kembali dituangkannya dalam audisi Indonesia Idol 2011 di Medan Selasa (13/12) lalu. Walau mengantre berjam-jam, berdesakan dan haus, tidak membuatnya lelah dan berhenti bermimpi. Terbukti, semangat dan mimpi tersebut membuatnya dapat bertemu dengan Anang Hermansyah, anggota juri Indonesian Idol. Tahap demi tahap seleksi Indonesia Idol dijalaninya dengan semangat. Walau mimpi untuk menjadi sukses untuk sementara terhenti, tetapi bukan berarti mimpinya harus berhenti. “Aku sudah nyanyi di depan Anang, Dhani, dan Nina Taman. Itu saja sudah menjadi kebanggaan kok. Walau ada rasa sedih karena tidak bisa ke Jakarta,” tambah lelaki kelahiran Medan 23 Juli 1986 ini.

Dalam penampilannya di depan dewan juri Indonesian Idol, Bangun tampil seperti biasa dirinya mengamen, dengan membawa ‘perlengkapan perang’ nya berupa gitar kecil (ukulele) dan harmonika, 2 lagu berhasil diperdegarkan ke hadapan dewan juri. “Awalnya grogi, tetapi ketika sudah mulai menyentuh gitar, seperti main biasa, aku anggap dewan juri seperti pelanggan yang sering dengar aku nyanyi,” ungkap anak pertama dari 5 bersaudara ini.

Awalnya, niat mengikuti audisi ini untuk menyenangkan orangtua, terutama sang bunda yang mengharapkan dirinya untuk mencoba. Tetapi setengah perjalanan, mimpi untuk dapat memberikan yang terbaik kepada orangtua menjadi niatnya. “Kami sekeluarga syukur diberi rezeki, belum banyak tapi ada. Aku ingin memberikan yang lebih, biar orangtua dapat merasakan hidup yang lebih enak,” tambahnya.

Semangat sang bunda juga terlihat dalam antusias sang ibu yang mengantar dan menemani Bangun ke lokasi audisi, baik saat audisi terbuka hingga ketemu juri. “Mamak terus menemani aku, bahkan dibawakan makanan untuk makan siang, jadi aku tetap semangat,” ujarnya.

Diakuinya, kegagalan ini bukan hanya dirinya yang sedih, tetapi sang bunda dan teman seperjuangannya dalam mengamen juga ikut sedih, karena mereka yakin bahwa suara Bangun berkualitas. Bahkan, sang teman yang bernama Hendrik rela tidak mengamen untuk mendukung Bangun dengan membawakan gendang. “Bukan hanya lagu pop yang aku bisa, terkadang dan sering aku nyanyikan lagu dangdut, ni baca tulisan di gitar aku, Kpj dut,” ujarnya sambil menunjukkan gitar kesayangannya.

Keahliannya dalam menyanyi didapatkannya secara otodidak, tidak ada les musik atau belajar secara khusus. Karena sering bernyanyi di depan umum, mengingat kerjanya sebagai pengamen, secara tidak langsung melatih dirinya. Bahkan untuk saat ini, ada sekitar ratusan lagu yang sudah dihapal. “Karena mengamen aku jadi pintar nyanyi, kalau les atau sekolah musik tidak mungkin karena tidak ada biaya,” tambahnya.

Selain mengamen kegiatn lain yang dilakoninya adalah sebagai penjual koran, Posmetro Medan (grup Sumut Pos). Menjual koran dilakoninya dari pagi hingga siang hari di lampu merah Pulo Brayan. Saat matahari sudah tenggelam, mengamen menjadi kerjaan lanjutannya, tidak hanya di simpang lampu merah Pulo Brayan, tetapi juga di warkop Elizabeth di Jalan H Misbah, Jalan Pandu dan tempat lainnya. Bahkan dengan mengamen bisa membawa dirinya ke Aceh. “Ikut bus ke Aceh untuk mengamen, gratis, jalan-jalan dan dapat uang,” ungkapnya sambil tertawa.

Cacat kaki pada dirinya, disadarinya akan membuatnya tidak dapat bergerak seperti orang normal pada umumnya. “Aku berguru di jalan, sehingga aku menyadari keadaan aku. Kekurangan aku ini juga yang membuat aku menghargai setiap orang dan tetes keringat yang aku keluarkan,” tambahnya.

Kecelakaan yang merenggut kesempurnaan pada dirinya dianggap sebagai cobaan dan tanggung jawab sebagai seorang abang, yang harus menjaga adik. “Kecelakaan ini terjadi saat aku kelas 4 SD, waktu menyeberang, adikku ketinggalan di belakang. Jadi aku balik untuk jemput adikku, saat itu ada mobil yang nabrak, hingga aku sakit panas. Awalnya orangtua anggap sakit panas karena kecelakaan, tetapi lama kelamaan, kakiku sebelah kiri jadi mengecil, sehingga membuat aku sulit untuk berjalan,” ungkapnya.

Menyadari perekonomian keluarga yang tidak memadai, Bangun bersikeras bangkit. Walau awalnya sulit untuk berjalan, tetapi melalui bantuan tongkat, akhirnya dia bisa berjalan. “Sejak 2005 yang lalu aku sudah lepas tongkat, tetapi jalannya jadi sedikit lebih timpang,” tambahnya.

Lebih dari 10 tahun, Bangun sudah menjalani hidup sebagai pengamen. Dan dari mengamen, Bangun bisa membantu kedua orangtuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya. (*)

Muhammad Bangun Harahap, Peserta Indonesia Idol yang Gagal ke Jakarta

Karena banyak yang mengatakan suaranya bagus dan berkualitas, menjadi pengamen dipilihnya untuk menyambung hidup. Dengan keadaan terbatas (cacat), Muhammad Bangun Harahap (25) mencoba peruntungan dalam kontes menyanyi. Melihat dan menyaksikan kesuksesan yang diraih para pemenang, membuat semangatnya terus berkobar untuk tetap mengikuti kontes Indonesia Idol.

Juli Ramadhani Rambe, Medan

Walau tak sampai melangkah ke Jakarta, tetapi kegagalan tersebut bukan membuat dirinya lemah dan hilang semangat. “Saya sadar dengan keadaaan saya yang kekurangan, tetapi saya bangga dengan diri saya, pengamen, cacat, tetapi sudah ketemu langsung dengan Anang Hermansyah, salaman, dan berpelukan,” ungkap Bangun.

Baginya, tidak semua orang dapat ketemu dan salaman langsung dengan artis sekelas Anang. Apalagi, dirinya cacat dan bekerja sebagai pengamen. “Orang normal saja mungkin agak sulit, mungkin karena mereka tidak mau atau apalah. Tetapi saya yang orang biasa yang sehari-harinya di jalan, merasa senang dan bangga,” tambahnya.
Tahun 2010 yang lalu, Bangun yang lahir normal ini sudah mencoba untuk mengikuti pemilihan Indonesia Idol, tetapi belum memasuki registrasi, Bangun sudah disuruh pulang. “Panitia kasihan dengan saya, cacat dan tinggi badan yang tidak memadai, sehingga mereka nyuruh pulang,” tambahnya.

Pengalaman pertama yang tidak menyenangkan tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Malah sebaliknya, melihat kesuksesan yang diraih pemenang Indonesia Idol terdahulu membuat semangatnya kembali berkobar. Bahkan, menurutnya, manajemen dari Indonesia Idol terjun langsung untuk menjaga eksistensi pemenang. “Kelihatannya mereka profesional menjaga artis yang diorbitkannya, biar tetap eksis, jadi semangat. Siapa tahu, jadi pemenang,” ungkapnya di Unimed, akhir pekan lalu.

Semangat yang terus dijaganya, kembali dituangkannya dalam audisi Indonesia Idol 2011 di Medan Selasa (13/12) lalu. Walau mengantre berjam-jam, berdesakan dan haus, tidak membuatnya lelah dan berhenti bermimpi. Terbukti, semangat dan mimpi tersebut membuatnya dapat bertemu dengan Anang Hermansyah, anggota juri Indonesian Idol. Tahap demi tahap seleksi Indonesia Idol dijalaninya dengan semangat. Walau mimpi untuk menjadi sukses untuk sementara terhenti, tetapi bukan berarti mimpinya harus berhenti. “Aku sudah nyanyi di depan Anang, Dhani, dan Nina Taman. Itu saja sudah menjadi kebanggaan kok. Walau ada rasa sedih karena tidak bisa ke Jakarta,” tambah lelaki kelahiran Medan 23 Juli 1986 ini.

Dalam penampilannya di depan dewan juri Indonesian Idol, Bangun tampil seperti biasa dirinya mengamen, dengan membawa ‘perlengkapan perang’ nya berupa gitar kecil (ukulele) dan harmonika, 2 lagu berhasil diperdegarkan ke hadapan dewan juri. “Awalnya grogi, tetapi ketika sudah mulai menyentuh gitar, seperti main biasa, aku anggap dewan juri seperti pelanggan yang sering dengar aku nyanyi,” ungkap anak pertama dari 5 bersaudara ini.

Awalnya, niat mengikuti audisi ini untuk menyenangkan orangtua, terutama sang bunda yang mengharapkan dirinya untuk mencoba. Tetapi setengah perjalanan, mimpi untuk dapat memberikan yang terbaik kepada orangtua menjadi niatnya. “Kami sekeluarga syukur diberi rezeki, belum banyak tapi ada. Aku ingin memberikan yang lebih, biar orangtua dapat merasakan hidup yang lebih enak,” tambahnya.

Semangat sang bunda juga terlihat dalam antusias sang ibu yang mengantar dan menemani Bangun ke lokasi audisi, baik saat audisi terbuka hingga ketemu juri. “Mamak terus menemani aku, bahkan dibawakan makanan untuk makan siang, jadi aku tetap semangat,” ujarnya.

Diakuinya, kegagalan ini bukan hanya dirinya yang sedih, tetapi sang bunda dan teman seperjuangannya dalam mengamen juga ikut sedih, karena mereka yakin bahwa suara Bangun berkualitas. Bahkan, sang teman yang bernama Hendrik rela tidak mengamen untuk mendukung Bangun dengan membawakan gendang. “Bukan hanya lagu pop yang aku bisa, terkadang dan sering aku nyanyikan lagu dangdut, ni baca tulisan di gitar aku, Kpj dut,” ujarnya sambil menunjukkan gitar kesayangannya.

Keahliannya dalam menyanyi didapatkannya secara otodidak, tidak ada les musik atau belajar secara khusus. Karena sering bernyanyi di depan umum, mengingat kerjanya sebagai pengamen, secara tidak langsung melatih dirinya. Bahkan untuk saat ini, ada sekitar ratusan lagu yang sudah dihapal. “Karena mengamen aku jadi pintar nyanyi, kalau les atau sekolah musik tidak mungkin karena tidak ada biaya,” tambahnya.

Selain mengamen kegiatn lain yang dilakoninya adalah sebagai penjual koran, Posmetro Medan (grup Sumut Pos). Menjual koran dilakoninya dari pagi hingga siang hari di lampu merah Pulo Brayan. Saat matahari sudah tenggelam, mengamen menjadi kerjaan lanjutannya, tidak hanya di simpang lampu merah Pulo Brayan, tetapi juga di warkop Elizabeth di Jalan H Misbah, Jalan Pandu dan tempat lainnya. Bahkan dengan mengamen bisa membawa dirinya ke Aceh. “Ikut bus ke Aceh untuk mengamen, gratis, jalan-jalan dan dapat uang,” ungkapnya sambil tertawa.

Cacat kaki pada dirinya, disadarinya akan membuatnya tidak dapat bergerak seperti orang normal pada umumnya. “Aku berguru di jalan, sehingga aku menyadari keadaan aku. Kekurangan aku ini juga yang membuat aku menghargai setiap orang dan tetes keringat yang aku keluarkan,” tambahnya.

Kecelakaan yang merenggut kesempurnaan pada dirinya dianggap sebagai cobaan dan tanggung jawab sebagai seorang abang, yang harus menjaga adik. “Kecelakaan ini terjadi saat aku kelas 4 SD, waktu menyeberang, adikku ketinggalan di belakang. Jadi aku balik untuk jemput adikku, saat itu ada mobil yang nabrak, hingga aku sakit panas. Awalnya orangtua anggap sakit panas karena kecelakaan, tetapi lama kelamaan, kakiku sebelah kiri jadi mengecil, sehingga membuat aku sulit untuk berjalan,” ungkapnya.

Menyadari perekonomian keluarga yang tidak memadai, Bangun bersikeras bangkit. Walau awalnya sulit untuk berjalan, tetapi melalui bantuan tongkat, akhirnya dia bisa berjalan. “Sejak 2005 yang lalu aku sudah lepas tongkat, tetapi jalannya jadi sedikit lebih timpang,” tambahnya.

Lebih dari 10 tahun, Bangun sudah menjalani hidup sebagai pengamen. Dan dari mengamen, Bangun bisa membantu kedua orangtuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/