26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Tiga Hari Disekap tanpa Makan

Kisah Warga Deli Serdang yang Disandera di Aceh

Aceh seperti tidak pernah diam. Bumi Rencong itu terus bergolak. Ujung-ujung, mereka yang tidak berkepentingan pun menjadi korban, beberapa di antaranya adalah warga Deli Serdang.  Bahkan, ada yang sempat disekap.

Ari Siworo,  Medan

Cerita ini berdasarkan penuturan salah seorang warga Deli Serdang sebut saja namanya, Galung, berusia sekitar 60 tahun, yang bertemu Sumut Pos, Sabtu (14/1) malam. Menurut pria berkulit hitam ini, sekitar beberapa hari lalu lebih tepatnya setelah 1 Januari 2012, salah seorang putranya sebut saja, AK (26) sempat disandera dan disekap oleh kelompok bersenjata di Aceh selama tiga hari. “Oalah, buktinya, anakku disekap kelompok bersenjata. Kalau nggak salah, selama tiga hari dan lokasinya di hutan. Berarti kelompok bersenjata masih ada. Udahlah, jangan ke Aceh lagi,” ungkap Galung.

Tak terlihat rona wajah Galung yang ketakutan atau cemas dan sebagainya. Wajahnya terlihat tenang, begitu pula saat menceritakan kisah anak kelima dari enam putra-putrinya tersebut. Sembari menyulut sebatang rokok, Galung kembali menuturkan, kelompok bersenjata yang menyandera putranya tersebut, secara tiba-tiba mendatangi barak. Di tempat itulah putranya serta 13 orang pekerja bangunan lainnya menginap. Kelompok itu datang dengan menenteng senjata dan melakukan perusakan terhadap barak yang ditempati para pekerja yang keseluruhannya berasal dari Medan dan Deli Serdang.
“Memang katanya, orang-orang bersenjata itu mencari orang Jawa. Entahlah, kenapa orang itu benci sama orang Jawa ya?” keluhnya.

Dari sekelumit perbincangan itu, Minggu (15/1), Sumut Pos menyambangi kediaman Galung. Terlihat Galung mengenakan kemeja putih, dan celana panjang warna krem serta mengenakan sebuah topi Lelaki itu duduk di sebuah kursi plastik di halaman depan rumahnya, tepatnya di bawah sebuah Pohon Seri. Rumah itu terlihat rentah, terbuat dari kayu yang sudah tua.

Halaman rumah yang ditempati Galung, istrinya serta kelima putra-putrinya (anak keduanya tinggal di luar kota) masih tanah. Istrinya sebut saja, Har (57), terlihat tengah menggendong salah seorang cucunya yang tertidur lelap. Sedangkan cucu-cucu Galung dan Har lainnya, tengah asyik bermain di seputaran halaman.

Anak ketiga pasangan Galung dan Har yakni, sebut saja Dan, serta salah seorang menantunya sebut saja Jul, juga tengah duduk-duduk bersama di bawah Pohon Seri di sebuah bangku kayu.

Sayang, Galung tidak memiliki waktu panjang menemani Sumut Pos. Dia harus kembali bekerja. Beruntung, Har, bsai menjadi pecerita yang baik. Dia menuturkan, Ak baru pulang ke rumah mereka lagi pada tanggal 9 Januari 2012 lalu, sekira pukul 20.00 WIB. Ak beserta tiga rekannya menggunakan sebuah mobil rental yang konon merupakan bantuan dari seorang aparat TNI asal Jawa Timur. “Tak bawa apa-apa dia (Ak), gaji pun tidak. Tidak usah bawa gaji, yang penting dia bisa kembali ke rumah sudah syukur Alhamdullillah daripada disandera kelompok bersenjata di Aceh,” ceritanya.

Karena tidak membawa gaji, saat Ak tiba di kediaman mereka, Ak meminta uang untuk membayar ongkos mobil yang mereka tumpangi dari Tapaktuan. “Jadi kami harus jual ayam untuk bayar ongkos mobil itu. Ongkosnya satu orang Rp150 ribu. Sedangkan ketiga teman Ak diantarkan ke rumah mereka masing-masing dengan ongkos yang sama. Untunglah, ada bapak tentara itu yang menolong dan sempat diberi makan di rumahnya di Aceh sana. Anak saya bilang, memang tidak merokok waktu diberi makan di rumah bapak tentara itu. Tapi, nggak apa-apa yang penting sudah selamat,” urai Har.
Tidak itu saja, Har menuturkan kalau perjuangan Ak dan kawan-kawan cukup keras. “Ak dan teman-temannya tidak makan selama tiga hari waktu disekap di hutan. Dari hutan ke Tapaktuan itu, Ak dan teman-temannya jalan kaki. Awalnya mereka 14 orang, saat sudah dibebaskan dari penyenderaan itu, mereka pisah. Ak dengan tiga kawannya dan yang 10 orang lainnya masing-masing,” urainya.

Jul istri Ak, yang saat itu memegangi putri keduanya Andini (1) berulang-ulang mengucapkan syukur. “Syukur bisa selamat Bang. Waktu pulang itu, Bang Ak untung masih bawa pakaian. Karena waktu kelompok-kelompok bersenjata itu mengobrak-abrik barak mereka, Ak langsung menyelamatkan pakaiannya. Syukurnya pun handphone Bang Ak masih ada. Kalau yang lain, semua Hpnya diambil sama kelompok bersenjata itu,” papar ibu dari Amelia (4) dan Andini (1).

Ak sendiri, masih sempat menghubungi pihak keluarga melalui ponselnya, pada tanggal 2 Januari 2012, sekitar pukul 20.00 WIB. “Tapi setelah tanggal 2 itu, tidak ada kontak lagi,” katanya.

Lalu, kemana Ak? Jul sang istri sedikit tersenyum. Ak sudah tidak di rumah lagi karena pergi merantau ke Labuhan batu Selatan. Akhirnya, Sumut Pos meminta nomor ponsel Ak yang bisa dihubungi.

Saat Ak dikonfirmasi, Ak membenarkan hal itu. Mereka disekap oleh puluhan orang yang membawa senjata. “Wah, orangnya banyak gitu dan bawa senjata. Mana berani kami melawan. Tapi kalau misalnya cuma tiga orang, kami nggak takut. Pasti kami lawan. Kawanku saja, ada yang dipukul pakai pistol. Kami nggak berani melihat, saat kawanku itu dihajar salah seorang kelompok bersenjata itu. Setelah itu, kami dibawa dengan berjalan kaki ke hutan. Nggak tahu entah dimana,” akunya.

Ak juga membenarkan, dia dan ke-14 temannya tidak diberi makan selama tiga hari. “Nggak makan kami selama disekap itu,” katanya.
Bagaimana mereka bisa lolos? Ak menuturkan, pihak kelompok bersenjata meminta tebusan kepada pemborong yang membawa Ak dan teman-temannya ke Meulaboh.

“Kami membuat rumah milik adm PTPN. Pemborongnya etnis Tionghoa. Kelompok bersenjata itu, minta tebusan. Nggak tahu berapa. Setelah itu lah kami dilepaskan dari hutan. Kami belum nyampe ke Kota Meulabohnya. Kami di  Kampung Nelayan. Sudah masuk wilayah Meulaboh memang,” cerita pria kelahiran 17 Mei 2985 tersebut.

Sayang, belum sempat berbincang panjang, hubungan harus terputus karena ponsel Ak kehabisan daya. “Lowbat batere Hpku,” katanya. Tak berapa lama terdengar suara tut, tut, tut…. (*)

Kisah Warga Deli Serdang yang Disandera di Aceh

Aceh seperti tidak pernah diam. Bumi Rencong itu terus bergolak. Ujung-ujung, mereka yang tidak berkepentingan pun menjadi korban, beberapa di antaranya adalah warga Deli Serdang.  Bahkan, ada yang sempat disekap.

Ari Siworo,  Medan

Cerita ini berdasarkan penuturan salah seorang warga Deli Serdang sebut saja namanya, Galung, berusia sekitar 60 tahun, yang bertemu Sumut Pos, Sabtu (14/1) malam. Menurut pria berkulit hitam ini, sekitar beberapa hari lalu lebih tepatnya setelah 1 Januari 2012, salah seorang putranya sebut saja, AK (26) sempat disandera dan disekap oleh kelompok bersenjata di Aceh selama tiga hari. “Oalah, buktinya, anakku disekap kelompok bersenjata. Kalau nggak salah, selama tiga hari dan lokasinya di hutan. Berarti kelompok bersenjata masih ada. Udahlah, jangan ke Aceh lagi,” ungkap Galung.

Tak terlihat rona wajah Galung yang ketakutan atau cemas dan sebagainya. Wajahnya terlihat tenang, begitu pula saat menceritakan kisah anak kelima dari enam putra-putrinya tersebut. Sembari menyulut sebatang rokok, Galung kembali menuturkan, kelompok bersenjata yang menyandera putranya tersebut, secara tiba-tiba mendatangi barak. Di tempat itulah putranya serta 13 orang pekerja bangunan lainnya menginap. Kelompok itu datang dengan menenteng senjata dan melakukan perusakan terhadap barak yang ditempati para pekerja yang keseluruhannya berasal dari Medan dan Deli Serdang.
“Memang katanya, orang-orang bersenjata itu mencari orang Jawa. Entahlah, kenapa orang itu benci sama orang Jawa ya?” keluhnya.

Dari sekelumit perbincangan itu, Minggu (15/1), Sumut Pos menyambangi kediaman Galung. Terlihat Galung mengenakan kemeja putih, dan celana panjang warna krem serta mengenakan sebuah topi Lelaki itu duduk di sebuah kursi plastik di halaman depan rumahnya, tepatnya di bawah sebuah Pohon Seri. Rumah itu terlihat rentah, terbuat dari kayu yang sudah tua.

Halaman rumah yang ditempati Galung, istrinya serta kelima putra-putrinya (anak keduanya tinggal di luar kota) masih tanah. Istrinya sebut saja, Har (57), terlihat tengah menggendong salah seorang cucunya yang tertidur lelap. Sedangkan cucu-cucu Galung dan Har lainnya, tengah asyik bermain di seputaran halaman.

Anak ketiga pasangan Galung dan Har yakni, sebut saja Dan, serta salah seorang menantunya sebut saja Jul, juga tengah duduk-duduk bersama di bawah Pohon Seri di sebuah bangku kayu.

Sayang, Galung tidak memiliki waktu panjang menemani Sumut Pos. Dia harus kembali bekerja. Beruntung, Har, bsai menjadi pecerita yang baik. Dia menuturkan, Ak baru pulang ke rumah mereka lagi pada tanggal 9 Januari 2012 lalu, sekira pukul 20.00 WIB. Ak beserta tiga rekannya menggunakan sebuah mobil rental yang konon merupakan bantuan dari seorang aparat TNI asal Jawa Timur. “Tak bawa apa-apa dia (Ak), gaji pun tidak. Tidak usah bawa gaji, yang penting dia bisa kembali ke rumah sudah syukur Alhamdullillah daripada disandera kelompok bersenjata di Aceh,” ceritanya.

Karena tidak membawa gaji, saat Ak tiba di kediaman mereka, Ak meminta uang untuk membayar ongkos mobil yang mereka tumpangi dari Tapaktuan. “Jadi kami harus jual ayam untuk bayar ongkos mobil itu. Ongkosnya satu orang Rp150 ribu. Sedangkan ketiga teman Ak diantarkan ke rumah mereka masing-masing dengan ongkos yang sama. Untunglah, ada bapak tentara itu yang menolong dan sempat diberi makan di rumahnya di Aceh sana. Anak saya bilang, memang tidak merokok waktu diberi makan di rumah bapak tentara itu. Tapi, nggak apa-apa yang penting sudah selamat,” urai Har.
Tidak itu saja, Har menuturkan kalau perjuangan Ak dan kawan-kawan cukup keras. “Ak dan teman-temannya tidak makan selama tiga hari waktu disekap di hutan. Dari hutan ke Tapaktuan itu, Ak dan teman-temannya jalan kaki. Awalnya mereka 14 orang, saat sudah dibebaskan dari penyenderaan itu, mereka pisah. Ak dengan tiga kawannya dan yang 10 orang lainnya masing-masing,” urainya.

Jul istri Ak, yang saat itu memegangi putri keduanya Andini (1) berulang-ulang mengucapkan syukur. “Syukur bisa selamat Bang. Waktu pulang itu, Bang Ak untung masih bawa pakaian. Karena waktu kelompok-kelompok bersenjata itu mengobrak-abrik barak mereka, Ak langsung menyelamatkan pakaiannya. Syukurnya pun handphone Bang Ak masih ada. Kalau yang lain, semua Hpnya diambil sama kelompok bersenjata itu,” papar ibu dari Amelia (4) dan Andini (1).

Ak sendiri, masih sempat menghubungi pihak keluarga melalui ponselnya, pada tanggal 2 Januari 2012, sekitar pukul 20.00 WIB. “Tapi setelah tanggal 2 itu, tidak ada kontak lagi,” katanya.

Lalu, kemana Ak? Jul sang istri sedikit tersenyum. Ak sudah tidak di rumah lagi karena pergi merantau ke Labuhan batu Selatan. Akhirnya, Sumut Pos meminta nomor ponsel Ak yang bisa dihubungi.

Saat Ak dikonfirmasi, Ak membenarkan hal itu. Mereka disekap oleh puluhan orang yang membawa senjata. “Wah, orangnya banyak gitu dan bawa senjata. Mana berani kami melawan. Tapi kalau misalnya cuma tiga orang, kami nggak takut. Pasti kami lawan. Kawanku saja, ada yang dipukul pakai pistol. Kami nggak berani melihat, saat kawanku itu dihajar salah seorang kelompok bersenjata itu. Setelah itu, kami dibawa dengan berjalan kaki ke hutan. Nggak tahu entah dimana,” akunya.

Ak juga membenarkan, dia dan ke-14 temannya tidak diberi makan selama tiga hari. “Nggak makan kami selama disekap itu,” katanya.
Bagaimana mereka bisa lolos? Ak menuturkan, pihak kelompok bersenjata meminta tebusan kepada pemborong yang membawa Ak dan teman-temannya ke Meulaboh.

“Kami membuat rumah milik adm PTPN. Pemborongnya etnis Tionghoa. Kelompok bersenjata itu, minta tebusan. Nggak tahu berapa. Setelah itu lah kami dilepaskan dari hutan. Kami belum nyampe ke Kota Meulabohnya. Kami di  Kampung Nelayan. Sudah masuk wilayah Meulaboh memang,” cerita pria kelahiran 17 Mei 2985 tersebut.

Sayang, belum sempat berbincang panjang, hubungan harus terputus karena ponsel Ak kehabisan daya. “Lowbat batere Hpku,” katanya. Tak berapa lama terdengar suara tut, tut, tut…. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/