25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Nikmati Sumatera Utara dari Atas Awan

Mendaki Puncak Tertinggi di Sumut, Gunung Sibuatan (3/Habis)

Malam pun tiba, sarung tangan, jaket, kaus kaki, dan pakaian tebal sudah melekat ke tubuh. Tapi, suhu yang mencapai 15 derajat celcius dan kecepatan angin yang tinggi, membuat hal itu seakan tak berfungsi. Kami merapatkan diri ke api unggun. Menambah baranya dengan ranting pohon perdu; berharap kehangatan dari sana.

GUNUNG: Anggota tim Kompas USU saat berada  Gunung Sibuatan, beberapa waktu lalu.
GUNUNG: Anggota tim Kompas USU saat berada di Gunung Sibuatan, beberapa waktu lalu.

M Sahbainy Nasution, Medan

Jarum jam pun terus bergeser. Jarum pendek dan jarum panjang menunjuk angka 12. Artinya, pukul 00.00 WIB telah tiba. Pergantian tahun. Selamat datang 2013!

Sebagian tim Kompas USU tidak membiarkan momen itu terlewat begitu saja. Mereka berteriak, memanggil anggota tim yang berada di dalam tenda. Semuanya keluar. Pandangan semaunya pun mengarah ke Danau Toba. Bentangan air maha luas itu tampak begitu indah. Ratusan kembang api menyala di sana; di atas danau itu.

Penulis dan anggota tim Kompas USU seakan kehilangan kata. Dalam balutan dingin, pemandangan kembang api di atas danau, membangkitkan semangat. Berkobar. Memanas.

Keesokan harinya, pagi sekali kami sudah melepas sleeping bag. Tidak ada pendaki yang mau kehilangan indahnya sunrise di Gunung Sibuatan. Apalagi cuaca di hari pertama 2013 itu cukup baik. Nun di ufuk timur, di balik pegunungan yang membalut Danau Toba, matahari pagi muncul perlahan-lahan.
Setelah itu, kami bersiap menuju puncak tertinggi. Tempat kami beristirahat dan menikmati malam pergantian tahun berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (m dpl), sementara puncak tertinggi Gunung Sibuatan adalah 2.457 m dpl.

Sekitar 45 menit perjalanan kami sampailah di puncak tertinggi dengan menandai batu hitam (pilar) yang besarnya sekitar 1,5 meter. Walau jauh terpencil, tapi pilar Gunung Sibuatan tak luput jua dari aksi vandalisme. “Makumba” tertulis dengan sengaja pada pilar itu. Entah apa artinya.

Dari pilar setinggi 2 meter di puncak itu, keindahan makin nyata. Posisi kami sangat jelas berada di atas awan. Menatap ke arah barat tampak pegunungan Leuser. Di timur, terlihat hamparan Danau Toba dan Pulau Samosir. Di utara terlihat Gunung Sibayak, Gunung Barus, dan Gunung Sinabung. Dan di selatan, terlihat pantai barat Sumatera dan Samudera Hindia.

Setelah puas melihat keindahan panorama tersebut, kami bergegas untuk kembali ke tempat perkemahan untuk mempersiapkan turun kebawah. Pukul 09.00 WIB setelah sarapan pagi, kami bergegas turun dari gunung nan indah ini.

Sebelum turun, kami tidak luput dari doa untuk keselamatan. Perjalanan turun cenderung lebih gampang dan cepat. Kami hanya butuh 5 jam untuk mencapai Desa Naga Lingga. Tim pun tidak dibagi tiga lagi, Kami turun dengan rombongan besar. Rintangan yang sangat terasa adalah kabut, ya, kami memang berada di atas awan. Kami tak boleh mengaggap sepele soal kabut tersebut. Kadang, menurut pengalaman tim Kompas USU, kabut bisa menyebabkan anggota kelompok tersesat.

Sekitar jam 13.00 WIB tim beristirahat. Kami memilih makan siang di hutan lumut. Di sinilah tawa, canda, dan curahan hati kami torehkan sambil makan roti seadanya. Kurang lebih 15 menit istrahat, kami kembali berjalan. Sekitar 14.20 WIB, kami sampai di kawasan hutan hujan teropis. Hujan pun hadir. Sepanjang perjalanan turun, tim Kompas USU, emlakukan pembersihan. Sampah-sampah yang ditemukan langsung dikumpulkan. Gunung Sibuatan memang harus dipelihara, baik keindahan alamnya maupun kebersihannya.

Tak lama kemudian, kami masuki hutam rimba. Sebuah sungai kami tuju. Membersihkan diri dari peluh. Setelah itu, pintu rimba terlewati, Desa Naga Lingga pun dicapai. Kami mulai jalan perlahan. Menikmati keramahan desa itu. Menyaksikan wajah-wajah cerita dari anak-anak yang asyik bermain di jalan desa.

Setelah melewati pintu Desa Naga Lingga, sebagian tim melanjutkan perjalanan ke Desa Aek Popo untuk menunggu bus di sebuah warung masakan Minang. Di tempat inilah kami tak henti-hentinya menceritakan perjalanan yang telah kami lewati. Baru pada pukul 21.00 WIB, bus Sutera yang menjemput kami tiba. Kami pun kembali ke Medan. Tak lupa kami ucapkan syukur karena masih bisa diberi kesempatan untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu. Ya, Gunung Sibuatan. (*)

Mendaki Puncak Tertinggi di Sumut, Gunung Sibuatan (3/Habis)

Malam pun tiba, sarung tangan, jaket, kaus kaki, dan pakaian tebal sudah melekat ke tubuh. Tapi, suhu yang mencapai 15 derajat celcius dan kecepatan angin yang tinggi, membuat hal itu seakan tak berfungsi. Kami merapatkan diri ke api unggun. Menambah baranya dengan ranting pohon perdu; berharap kehangatan dari sana.

GUNUNG: Anggota tim Kompas USU saat berada  Gunung Sibuatan, beberapa waktu lalu.
GUNUNG: Anggota tim Kompas USU saat berada di Gunung Sibuatan, beberapa waktu lalu.

M Sahbainy Nasution, Medan

Jarum jam pun terus bergeser. Jarum pendek dan jarum panjang menunjuk angka 12. Artinya, pukul 00.00 WIB telah tiba. Pergantian tahun. Selamat datang 2013!

Sebagian tim Kompas USU tidak membiarkan momen itu terlewat begitu saja. Mereka berteriak, memanggil anggota tim yang berada di dalam tenda. Semuanya keluar. Pandangan semaunya pun mengarah ke Danau Toba. Bentangan air maha luas itu tampak begitu indah. Ratusan kembang api menyala di sana; di atas danau itu.

Penulis dan anggota tim Kompas USU seakan kehilangan kata. Dalam balutan dingin, pemandangan kembang api di atas danau, membangkitkan semangat. Berkobar. Memanas.

Keesokan harinya, pagi sekali kami sudah melepas sleeping bag. Tidak ada pendaki yang mau kehilangan indahnya sunrise di Gunung Sibuatan. Apalagi cuaca di hari pertama 2013 itu cukup baik. Nun di ufuk timur, di balik pegunungan yang membalut Danau Toba, matahari pagi muncul perlahan-lahan.
Setelah itu, kami bersiap menuju puncak tertinggi. Tempat kami beristirahat dan menikmati malam pergantian tahun berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (m dpl), sementara puncak tertinggi Gunung Sibuatan adalah 2.457 m dpl.

Sekitar 45 menit perjalanan kami sampailah di puncak tertinggi dengan menandai batu hitam (pilar) yang besarnya sekitar 1,5 meter. Walau jauh terpencil, tapi pilar Gunung Sibuatan tak luput jua dari aksi vandalisme. “Makumba” tertulis dengan sengaja pada pilar itu. Entah apa artinya.

Dari pilar setinggi 2 meter di puncak itu, keindahan makin nyata. Posisi kami sangat jelas berada di atas awan. Menatap ke arah barat tampak pegunungan Leuser. Di timur, terlihat hamparan Danau Toba dan Pulau Samosir. Di utara terlihat Gunung Sibayak, Gunung Barus, dan Gunung Sinabung. Dan di selatan, terlihat pantai barat Sumatera dan Samudera Hindia.

Setelah puas melihat keindahan panorama tersebut, kami bergegas untuk kembali ke tempat perkemahan untuk mempersiapkan turun kebawah. Pukul 09.00 WIB setelah sarapan pagi, kami bergegas turun dari gunung nan indah ini.

Sebelum turun, kami tidak luput dari doa untuk keselamatan. Perjalanan turun cenderung lebih gampang dan cepat. Kami hanya butuh 5 jam untuk mencapai Desa Naga Lingga. Tim pun tidak dibagi tiga lagi, Kami turun dengan rombongan besar. Rintangan yang sangat terasa adalah kabut, ya, kami memang berada di atas awan. Kami tak boleh mengaggap sepele soal kabut tersebut. Kadang, menurut pengalaman tim Kompas USU, kabut bisa menyebabkan anggota kelompok tersesat.

Sekitar jam 13.00 WIB tim beristirahat. Kami memilih makan siang di hutan lumut. Di sinilah tawa, canda, dan curahan hati kami torehkan sambil makan roti seadanya. Kurang lebih 15 menit istrahat, kami kembali berjalan. Sekitar 14.20 WIB, kami sampai di kawasan hutan hujan teropis. Hujan pun hadir. Sepanjang perjalanan turun, tim Kompas USU, emlakukan pembersihan. Sampah-sampah yang ditemukan langsung dikumpulkan. Gunung Sibuatan memang harus dipelihara, baik keindahan alamnya maupun kebersihannya.

Tak lama kemudian, kami masuki hutam rimba. Sebuah sungai kami tuju. Membersihkan diri dari peluh. Setelah itu, pintu rimba terlewati, Desa Naga Lingga pun dicapai. Kami mulai jalan perlahan. Menikmati keramahan desa itu. Menyaksikan wajah-wajah cerita dari anak-anak yang asyik bermain di jalan desa.

Setelah melewati pintu Desa Naga Lingga, sebagian tim melanjutkan perjalanan ke Desa Aek Popo untuk menunggu bus di sebuah warung masakan Minang. Di tempat inilah kami tak henti-hentinya menceritakan perjalanan yang telah kami lewati. Baru pada pukul 21.00 WIB, bus Sutera yang menjemput kami tiba. Kami pun kembali ke Medan. Tak lupa kami ucapkan syukur karena masih bisa diberi kesempatan untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu. Ya, Gunung Sibuatan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/