SUMUTPOS.CO – Rencana Jaksa Agung HM Prasetyo mengeksekusi terpidana mati disiapkan diam-diam. Eksekusi mati yang awalnya akan dilakukan 22 Januari, dimajukan menjadi Minggu nanti (18/1).
Rabu (14/1), para terpidana mati dipindahkan dari Lapas Pasir Putih ke tempat isolasi di Lapas Besi. Sebagaimana diketahui, dua lapas itu ada di pulau penjara, Nusakambangan.
Bersama Kuasa Hukum Kedubes Brasil Utomo Karim, Wartawan Jawa Pos, Ilham Wancoko, ikut masuk ke kompleks penjara dengan standar keamanan tertinggi di tanah air itu. Utomo mengantarkan Konselor Kedutaan Besar Brasil Rodrigo Andrade Cordoso yang mengunjungi Marco Archer C Moreira, salah seorang terpidana yang akan diseksekusi.
Rabu, sekitar pukul 17.00 WIB, bersama rombongan dari Kejaksaan Cilacap, Banten, dan Kedubes Brasil, Utomo bersama tim meluncur menuju ke Nusakambangan. Mereka diantar kapal feri milik Kejari Cilacap untuk menyeberang ke Nusakambangan.
Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di Pulau Nusakambangan. Namun, hari sudah gelap. Karena pulau penjara, suasananya sangat-sangat sepi meski malam baru turun. Rombongan langsung menuju Lapas Besi.
Koordinator Aspidum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten Rilke Jeffri Huwae, lalu mengajak rombongan menuju Lapas Pasir Putih. “Kami akan pindahkan Marco. Untuk bicara dengan Marco nanti bisa di Lapas Besi saja,” kata Jeffri. Dia harus menemani karena vonis Marco dijatuhkan di wilayah Kejati Banten.
Jarak Lapas Besi dengan Lapas Pasir Putih sekitar lima kilometer. Meski berdekatan, suasananya sangat berbeda. Di Lapas Besi masih ada sinyal telepon seluler. Di Lapas Pasir Putih sinyal sama sekali tidak ada. Lapas Pasir Putih memang “dilindungi” dengan alat pengacak sinyal atau jammer.
Pagar setinggi 20 meter mengitari Lapas Pasir Putih yang dihuni 259 napi kelas Kakap tersebut. Sedangkan “benteng” Lapas Besi hanya sekitar 3 meter.
Kepala Lapas Pasir Putih Hendra Eka Putranto menyambut perwakilan Kedubes Brasil. Dia lalu mengarahan agar rombongan menunggu. Bertemu dan memindahkan dengan Moreira harus melalui prosedur tertentu.
“Kami harus memasukkan para napi ke kamar masing-masing. Baru kemudian bisa membawa Marco,” kata Hendra.
Kenapa? Menurut Hendra, membawa Moreira yang sudah diketahui teman-temannya sebagai terpidana mati memiliki risiko. Ketika napi seperti dia dipindah, akan timbul kecurigaan adanya eksekusi mati. Dan bila kecurigaan itu muncul, ratusan napi itu bisa melawan.
“Maaf, penjaga jumlahnya terbatas, hanya ada delapan sipir tiap shift. Karena itu kami harus sangat hati-hati,” tuturnya.
Sebagai catatan, di Lapas Pasir Putih ada 21 terpidana mati, 21 terpidana seumur hidup, dan 42 napi kasus terorisme. Termasuk di dalamnya Ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Beberapa tahun lalu, Lapas Pasir Besi sempat dibakar para napi. Penyebabnya, mereka mengamuk ketika salah seorang napi yang dieksekusi mati sebagai bentuk solidaritas.
“Mereka itu kena vonis hukuman mati dan seumur hidup, mereka bisa jadi jauh lebih nekat. Mendengar kabar soal hukuman mati sedikit saja, bisa jadi bahaya untuk sipir. Kalau melawan ratusan napi, tentu bunuh diri namanya,” papar Hendra.
Setelah kondisi aman, Moreira keluar bersama sejumlah sipir. Moreira mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek warna abu-abu. Namun, dia seperti mengenakan celana panjang karena celana pendeknya disambung dengan potongan celana.
Cukup prihatin melihat celana Moreira. Sebab, celana pendek disambung dan kain potongan celana disambung dengan peniti. Dia melakukannya agar tidak kedinginan.
“Mana orang kedutaan besar,” kata Moriera dengan tangan diborgol.
Sesaat kemudian, Cordoso menemui dia. Mereka duduk dan bercakap-cakap menggunakan Bahasa Portugis di ruang tunggu. Percakapan itu hanya berlangsung lima menit. Tidak lama, petugas sipir meminta Moreira untuk masuk ke bus tahanan untuk dipindahkan ke Lapas Besi.
Namun, tiba-tiba Moreira berteriak. “Kalau mau bunuh saya, bunuh saja saya di sini,” tegasnya.
Badannya bergetar dan matanya menunjukkan ketakutan. Dia menendang meja yang ada di depannya. Seperti setengah memohon, dia berulang kali berteriak. “Kill me here. Jangan keluarkan dari penjara ini,” katanya lagi dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Hampir sepuluh menit dia bergeming dari kursi tersebut. Kepala Lapas Hendra langsung membujuknya dengan akan mengembalikannya ke sel semula. Dengan tarikan tangan, akhirnya Moreira mengikuti Kalapas. Namun, begitu menuju ke sel, melasan polisi sudah menunggu. Mereka langsung mengangkat Moreira menuju bus tahanan. Pria dengan potongan rambut mohawk itu berteriak-teriak dan meronta.
“Saya kasihan melihat dia, tapi bagaimana lagi?” ujar Hendra.
Di Lapas Besi, Moreira ditempatkan di sel isolasi. Luasnya 30 meter persegi. Di dalamnya tampak ada enam tikar yang siap digunakan. Di sebelah deretan tikar itu terdapat kamar kecil yang hanya disekat tembok setinggi satu meter.
Di sel itu, Moreira kembali berbicara dengan Cordoso. Tidak lama berselang, Moreira diajak ke ruang di sebelah sel. Di ruangan tersebut ternyata digelar sidang kecil. Moreira duduk di tengah ruangan, tata letak ruangan dibuat mirip seperti pengadilan.
“Ini sidang kecil untuk memberitahu terpidana mati. Kalau dia akan dieksekusi, ada surat berita acara yang harus ditandatangani,” kata Jeffri.
Sebisa mungkin permintaan terpidana mati akan dikabulkan. Kecuali mengundurkan jadwal eksekusi. “Jangan minta jadwalnya diundur, tidak mungkin dikabulkan,” kata Jeffri kepada Moreira.
Saat itu, Moreira tidak berbicara sama sekali. Baru setelah sidang, dia menyampaikan keinginan pengacara Utomo Karim. “Tolong datangkan keluarga saya,” kata Utomo menirukan ucapan Moreira.
Utomo menambahkan, yang dimaksud Moreira adalah tantenya yang tinggal di Brasil. Dia rencananya akan tiba di Jakarta pada Sabtu besok. Karena eksekusi biasanya dilakukan tengah malam, sebisa mungkin tante Moreira harus langsung ke Nusakambangan begitu tiba di Indonesia.
Setelah sidang, Moreira kembali ke sel isolasi. Ternyata di sel yang sama, sudah ada Ang Kiem Soei alias Kim Ho terpidana mati warga negara Belanda. Lalu, ada juga Daniel Enemuo asal Nigeria dan Namaona asal Malawi. Diantara keempat terpidana itu, Ang Kiem Soei tampak paling siap. “Ini sudah takdir, mau bagaimana lagi,” ujarnya singkat.
Pilot dan Pemilik Pabrik
Nama Marco Archer Cardoso Moreira disebut Jaksa Agung HM Prasetyo sebagai salah satu dari 6 terpidana mati kasus narkotika yang akan dieksekusi pada tanggal 18 Januari 2015. Prasetyo menyebut Marco merupakan seorang pilot.
“Pekerjaannya pilot. Badannya tinggi besar,” ucap Prasetyo dalam jumpa pers mengumumkan eksekusi mati di Kejagung, Kamis (15/1).
Marco divonis mati karena terbukti menyelundupkan 13,4 kg kokain dan sempat kabur. Dia menyembunyikan kokain itu ke dalam pipa kerangka gantole yang ia simpan di sebuah tas. Dia sempat melarikan diri dengan cara mengelabui petugas di Bandara Soekarno-Hatta pada 2 Agustus 2003. Setelah dua pekan buron, Marco ditangkap di Pulau Moyo, Desa Labuan Aji, Sumbawa pada 16 Agustus 2003.
Atas perbuatannya, Marco lalu diseret ke pengadilan. Marco akhirnya dijatuhi hukuman mati dalam kasus narkotika oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 8 Juni 2004. Kemudian dia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten, tetapi ditolak pada 23 Agustus 2004. Marco lantas mengajukan kasasi ke MA pada 25 Januari 2005. Tetapi, MA tetap menjatuhkan vonis mati kepada Marco.
Setelah itu, ia mengajukan grasi pada 2006 dan ditolak. Atas hal itu, Marco lalu mengajukan grasi kedua kali tapi lagi-lagi ditolak pada April 2008. Ia kini meringkuk di LP Pasir Putih, Nusakambangan.
“Terpidana menyatakan siap melaksanakan apapun putusan hukum karena setiap manusia pasti akan mati,” kata Marco berdasarkan surat pernyataan tertanggal 28 Mei 2012 yang didapat wartawan, Jumat (12/12).
Sedangkan, Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya dibekuk jajaran Polda Metro Jaya pada 8 April 2002. Penangkapan dilakukan setelah pabriknya yang terletak di Jalan Hasyim Ashari, Cipondoh-Ciledug, Tangerang, digerebek polisi. Pabrik beromzet miliaran rupiah per bulan itu memproduksi lebih dari 150 ribu butir ekstasi per hari.
Tak jauh dari lokasi pabrik tersebut, polisi juga menemukan laboratorium pengolah bahan pembuat ekstasi di kawasan Kreo, perbatasan Ciledug. Di sana, ditemukan sebanyak 700 kilogram PMK (bahan pembuat ekstasi) dan peralatan untuk meracik. Ekstasi produksi Ang Kiem dinilai berkualitas nomor wahid. Pil-pil terlarang itu selalu habis terjual dalam hitungan jam. Jaringan distribusinya sudah meluas sampai ke beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia.
Ang Siem Soei yang dijuluki Raja Ekstasi itu dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 13 Januari 2003 karena terbukti memproduksi, menyimpan dan mengedarkan ribuan pil ekstasi. Tak hanya itu, WN Belanda itu juga terbukti mengorganisir sebuah pabrik ekstasi di Cipondoh, Tangerang.
Putusan mati itu dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai M Hatta Ali yang kini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA). Saat itu majelis hakim memutuskan terdakwa Ang Kim Soei terbukti bersalah melakukan berbagai tindak pidana dengan memproduksi psikotropik golongan 1 secara terorganisasi, mengedarkan ekstasi secara terorganisasi, dan tanpa hak memiliki, menyimpan, serta mengedarkan ekstasi secara terorganisasi dan menjatuhkan hukuman mati. Hukuman mati bergeming hingga Presiden Joko Widodo menolak grasi Ang. (idr/jpnn/net/bbs)