25 C
Medan
Sunday, July 7, 2024

Konservasi Kawasan Hutan Bantu Kurangi Pengangguran dan Atasi Kemiskinan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Industri kehutanan pernah menjadi primadona dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Dari industri kayu gergajian, kayu lapis dan panel, yang semuanya berbahan baku kayu dari hutan alam, mencapai puncak perkembangannya pada pertengahan dekade 1990-an.

Staf Ditjen Binapenta dan PKK Kemenaker, Agus Illa Lami

Perannya kemudian digantikan oleh industri bubur kertas, kertas, paper board, panel, dan kayu gergajian dari hasil hutan tanaman. Aktivitas ini telah menyebabkan degradasi hutan dan ekosistemnya yang merugikan masyarakat sekitar hutan, baik secara sosial, maupun ekonomi.

Bertolak belakang dengan kekayaan hutan yang sudah dieksploitasi, 50 juta masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, justru banyak yang miskin, berpendidikan rendah, serta fasilitas kesehatan dan infrastruktur yang terbatas. Kondisi ini juga menyebabkan daerah sekitarnya rentan mengalami banjir dan kekeringan. Dua kondisi ekstrem yang akan mengganggu keberlanjutan pembangunan maupun aktivitas pada berbagai sektor ekonomin

Hal ini pun menjadi perhatian Staf Ditjen Binapenta dan PKK Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Agus Illa Lami. Kepada Sumut Pos di Kota Medan, Jumat (15/1), dia mengatakan, karena itu kawasan hutan yang sudah terdegradasi perlu direhabilitasi. Kawasan hutan yang masih tersisa juga perlu dilindungi kelestariannya. Baik rehabilitasi maupun konservasi, sebenarnya bisa disinergikan dengan upaya perluasan kesempatan kerja. Selain mengurangi pengangguran, juga membantu keberlanjutan pembangunan berbagai sektor pada jangka panjang.

“Konservasi kawasan hutan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menargetkan penyediaan layanan dasar dan perlindungan sosial dengan target 40 persen rumah tangga miskin dan rentan memiliki aset produktif, satu di antaranya melalui pembaruan kawasan hutan untuk masyarakat,” ungkap Agus.

Lebih lanjut Agus mengatakan, tutupan hutan ditargetkan dapat dipertahankan pada luas 45-46 juta hektare hutan primer serta hutan yang memiliki Indeks Jasa Lingkungan Tinggi (IJLT) pada luas minimal 65 juta hektare. Sedangkan, area restorasi lahan gambut ditargetkan seluas 1,5-2 juta hektare.

“Konservasi merupakan kata lain dari melestarikan atau mempertahankan tutupan pada hutan atau kawasan hutan. Upaya ini bisa dilakukan, satu di antaranya melalui budidaya tanaman di bawah tegakan,” jelasnya.

Melalui mekanisme ini, menurutnya, masyarakat bisa tetap memperoleh manfaat ekonomi dari ada kawasan hutan. Namun di sisi lain, hutan juga bisa tetap dijaga kelestariannya.

“Umbi porang merupakan satu komoditi yang bisa dikembangkan dalam mendukung hal ini,” imbuh Agus.

Prospek ekonomi pengembangan komoditi ini, lanjut Agus, bisa digambarkan dalam sebuah ilustrasi. Dengan asumsi satu kilogram berisi sekitar 200 butir dan masing-masing akan menghasilkan 2 kilogram, setelah ditanam 2 musim maka akan dihasilkan sebanyak 400 kilogram atau senilai Rp3.200.000, bila harganya Rp8.000 per kilogram. Pada luasan satu hektare yang membutuhkan bibit 250 kilogram, berarti hasilnya kurang lebih sekitar Rp800.000.000.

“Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam penyiapan dan pengolahan tanah serta beberapa kali pemupukan dan pemeliharaan tanaman sekitar 5 orang per hektare. Bila kegiatannya pada satu unit manajemen kawasan hutan seluas 5.000 hektare saja, akan terserap sekitar 15 ribu tenaga kerja,” bebernya.

Dia juga menjelaskan, langkah lain melalui zonasi dengan membagi kawasan hutan atas zona budidaya dan zona lindung. Masyarakat membudidayakan tanaman perkebunan bernilai ekonomi tinggi, semisal kopi pada zona yang diperbolehkan untuk itu, diiringi kewajiban memelihara zona atau kawasan yang tetap sepenuhnya dipertahankan sebagai hutan.

“Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa bekerja sama dengan kelompok-kelompok tani dalam skema kemitraan atau shareholding pengelolaan hutan desa. Padat karya dalam pekerjaan ini bisa menyerap ribuan warga desa sekitar hutan yang masih menganggur,” pungkas Agus. (mag-1/saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Industri kehutanan pernah menjadi primadona dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Dari industri kayu gergajian, kayu lapis dan panel, yang semuanya berbahan baku kayu dari hutan alam, mencapai puncak perkembangannya pada pertengahan dekade 1990-an.

Staf Ditjen Binapenta dan PKK Kemenaker, Agus Illa Lami

Perannya kemudian digantikan oleh industri bubur kertas, kertas, paper board, panel, dan kayu gergajian dari hasil hutan tanaman. Aktivitas ini telah menyebabkan degradasi hutan dan ekosistemnya yang merugikan masyarakat sekitar hutan, baik secara sosial, maupun ekonomi.

Bertolak belakang dengan kekayaan hutan yang sudah dieksploitasi, 50 juta masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, justru banyak yang miskin, berpendidikan rendah, serta fasilitas kesehatan dan infrastruktur yang terbatas. Kondisi ini juga menyebabkan daerah sekitarnya rentan mengalami banjir dan kekeringan. Dua kondisi ekstrem yang akan mengganggu keberlanjutan pembangunan maupun aktivitas pada berbagai sektor ekonomin

Hal ini pun menjadi perhatian Staf Ditjen Binapenta dan PKK Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Agus Illa Lami. Kepada Sumut Pos di Kota Medan, Jumat (15/1), dia mengatakan, karena itu kawasan hutan yang sudah terdegradasi perlu direhabilitasi. Kawasan hutan yang masih tersisa juga perlu dilindungi kelestariannya. Baik rehabilitasi maupun konservasi, sebenarnya bisa disinergikan dengan upaya perluasan kesempatan kerja. Selain mengurangi pengangguran, juga membantu keberlanjutan pembangunan berbagai sektor pada jangka panjang.

“Konservasi kawasan hutan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menargetkan penyediaan layanan dasar dan perlindungan sosial dengan target 40 persen rumah tangga miskin dan rentan memiliki aset produktif, satu di antaranya melalui pembaruan kawasan hutan untuk masyarakat,” ungkap Agus.

Lebih lanjut Agus mengatakan, tutupan hutan ditargetkan dapat dipertahankan pada luas 45-46 juta hektare hutan primer serta hutan yang memiliki Indeks Jasa Lingkungan Tinggi (IJLT) pada luas minimal 65 juta hektare. Sedangkan, area restorasi lahan gambut ditargetkan seluas 1,5-2 juta hektare.

“Konservasi merupakan kata lain dari melestarikan atau mempertahankan tutupan pada hutan atau kawasan hutan. Upaya ini bisa dilakukan, satu di antaranya melalui budidaya tanaman di bawah tegakan,” jelasnya.

Melalui mekanisme ini, menurutnya, masyarakat bisa tetap memperoleh manfaat ekonomi dari ada kawasan hutan. Namun di sisi lain, hutan juga bisa tetap dijaga kelestariannya.

“Umbi porang merupakan satu komoditi yang bisa dikembangkan dalam mendukung hal ini,” imbuh Agus.

Prospek ekonomi pengembangan komoditi ini, lanjut Agus, bisa digambarkan dalam sebuah ilustrasi. Dengan asumsi satu kilogram berisi sekitar 200 butir dan masing-masing akan menghasilkan 2 kilogram, setelah ditanam 2 musim maka akan dihasilkan sebanyak 400 kilogram atau senilai Rp3.200.000, bila harganya Rp8.000 per kilogram. Pada luasan satu hektare yang membutuhkan bibit 250 kilogram, berarti hasilnya kurang lebih sekitar Rp800.000.000.

“Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam penyiapan dan pengolahan tanah serta beberapa kali pemupukan dan pemeliharaan tanaman sekitar 5 orang per hektare. Bila kegiatannya pada satu unit manajemen kawasan hutan seluas 5.000 hektare saja, akan terserap sekitar 15 ribu tenaga kerja,” bebernya.

Dia juga menjelaskan, langkah lain melalui zonasi dengan membagi kawasan hutan atas zona budidaya dan zona lindung. Masyarakat membudidayakan tanaman perkebunan bernilai ekonomi tinggi, semisal kopi pada zona yang diperbolehkan untuk itu, diiringi kewajiban memelihara zona atau kawasan yang tetap sepenuhnya dipertahankan sebagai hutan.

“Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa bekerja sama dengan kelompok-kelompok tani dalam skema kemitraan atau shareholding pengelolaan hutan desa. Padat karya dalam pekerjaan ini bisa menyerap ribuan warga desa sekitar hutan yang masih menganggur,” pungkas Agus. (mag-1/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/