Bocah-bocah yang Menyewakan Payung
“Hari ini baru dapat Rp2 ribu, karena hujannya nggak begitu deras dan yang mau dipayungi juga sedikit. Kalau nggak hujan, aku nyemir sepatu orang. Jadi setelah pulang sekolah, semir sepatu sama payungnya dibawa kemana-mana,” kata Surya Kusuma, bocah usia 12 tahun, Rabu (15/3).
Dengan tubuh menggigil dan wajah pucat, Surya bersama lima temannya mencoba menyibak tirai air yang jatuh dari langit.
Dengan semangat, wajah-wajah ceria bocah miskin ini menunggu siapa saja yang berkenan memakai jasa payung mereka. Kehidupan yang keras tidak mematahkan semangat dan keinginan mereka untuk hidup layak dan menggapai cita-cita yang tinggi.
Guyuran hujan sudah menjadi hal biasa, meski seragam sekolah yang masih melekat di badan juga basah karena tidak sempat diganti siang itu. Bagi mereka hujan merupakan anugerah yang harus disyukuri, karena pada saat itulah bocah-bocah yang masih duduk di bangku sekolah ini mengais rezeki.
“Karena hari mendung dan hujan mulai turun, kami langsung kesini sehabis pulang sekolah. Jadi ada yang nggak sempat ganti seragam. Takutnya, hujan keburu berhenti. Kalau hujannya lama, bisa dapat lebih dari Rp20 ribu per hari,” ujar Surya yang masih duduk dibangku kelas 6 SD di Yayasan Hidayah Cipta Jalan Ayahanda Medan ini.
“Bu mau pakai payungnya?” kata Surya kepada salah seorang wanita saat keluar dari Medan Plaza. Lalu, Surya mengantar ibu itu ketempat parkiran sepeda motor yang letaknya agak jauh dari pusat perbelanjaan tersebut.
“Diantar sampai ketempat parkiran. Biasanya sekali ngantar, mereka ngasi Rp2 ribu, kalau orangnya baik, dikasi Rp5 ribu. Udah biasa kak, hujan-hujanan gini, jadi nggak pernah jatuh sakit,” ungkap Surya lagi.
Sejak ayahnya jatuh sakit, bocah berkulit hitam ini menjadi tulang punggung keluarga. Uang yang diperoleh, kata Surya, sebagian ditabung dan selebihnya dibagi dua dengan ibunya.
“Ayah sudah lama kena strok, jadi nggak narik becak lagi. Kalau ibu jadi tukang cuci dari rumah kerumah. Jadi, harus bantu-bantu ibu juga untuk cari makan. Paling tidak bisa untuk membayar uang sekolah,” urainya.
Surya sendiri setidaknya sudah dua tahun bercengkrama dengan hujan. Pantang baginya untuk meminta-minta atau menjadi pengamen jalanan.
“Awalnya lihat teman kerja begini, habis itu ikut aja. Kawan-kawan di sekolah juga tahu aku kerja seperti ini. Aku nggak mau kalau minta-minta sama orang, malu. Kalau hujannya pagi, kita nggak bisa kerja, karena harus sekolah,” jelasnya.
Begitu juga dengan Bintang, bocah usia sepuluh tahun ini mencari uang dengan menyewakan payung saat hujan turun. Katanya, uang yang diperoleh disimpan untuk membeli sepeda baru. “Kalau saya uangnya disimpan dulu, nanti kalau udah terkumpul banyak, mau beli sepeda baru. Memang hasilnya nggak banyak, tapi mudah-mudahan nanti bisa beli sepeda,” ucap Bintang.
Besar harapan baginya, untuk bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan merubah nasib keluarga untuk tidak berada digaris kemiskinan lagi.
“Aku mau menamatkan sekolah dan membuat orangtua bangga. Biarpun orangtua ku miskin dan hanya kerja serabutan, tapi aku pengen sekolah setinggi-tingginya dan mencari uang yang banyak,” ungkap Bintang dengan wajah polosnya.
Begitu pula dengan, Sandi (15), Fandi (11), Fadil (14), Aulia (13) dan Surya Kusuma (12). Meski terkadang beda penghasilan, namun persahabatan di antara anak-anak ini tetap terjalin dengan baik. “Kami udah biasa sama-sama kerja. Kadang anak-anak lain yang nggak senang kalau kami masuk kewilayah nya marah dan main kasar. Kami nggak mau melawan. Kalau udah begitu, kami menghindar aja,” tambah Aulia. (mag-11)