LIMA warga negara Indonesia (WNI) terpidana mati kasus 5 Banjar bebas setelah mendapatkan pengampunan dari keluarga korban. Hal itu merupakan hasil kerja hebat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi.
————
Laporan Mochamad Salsabyl Ad’n, Jakarta
———–
KEKUATAN dan keteguhan Indonesia di pentas diplomasi tengah diuji. Tekanan bertubi-tubi datang terkait rencana pemerintah melakukan eksekusi mati gelombang kedua terhadap para terpidana mati. Karena mayoritas adalah warga negara asing, negara asal terpidana mati itu ramai-ramai menyuarakan protes.
Penarikan duta besar Brasil dan pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahwa Indonesia punya utang budi terkait bantuan tsunami Aceh sehingga dua warganya harus diampuni adalah contoh insiden diplomatik yang muncul.
Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, negara-negara asal terpidana mati tersebut tidak seharusnya bersikap seperti itu. Indonesia, meski sering mengupayakan pembebasan WNI yang kena vonis mati di luar negeri, tidak pernah bersikap demikian.
”Setiap upaya yang kita lakukan selalu menghormati hukum positif yang ada di sana,” katanya.
”Seperti yang dilakukan tim KJRI Jeddah dalam membebaskan lima terpidana mati kasus pembunuhan,” lanjutnya.
Perjuangan KJRI Jeddah dalam membebaskan lima terpidana mati atas kasus 5 Banjar memang luar biasa. Tidak hanya membebaskan semua terpidana mati dari hukuman mati, mereka juga tak membayar diyat sepeser pun. Bahkan, keluarga besar korban kini memiliki hubungan yang sangat baik dengan KJRI.
Fadhly Ahmad, pejabat fungsi konsuler KJRI Jeddah, mengisahkan liku-liku dirinya bersama tim memperjuangkan pengampunan untuk terpidana mati kasus 5 Banjar.
Kasus 5 Banjar sempat menarik perhatian sangat besar di Arab Saudi pada 2006. Saat itu lima TKI ilegal asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, melakukan pembunuhan berencana yang cukup keji terhadap imigran Pakistan Zubair bin Hafiz Ghul Muhammad.
Lima TKI tersebut adalah Saiful Mubarok, Samani bin Muhammad, Muhammad Mursidi, Ahmad Zizi Hartati, dan Abdul Aziz Supiyani. Mereka membunuh Zubair, lalu menyemen tubuh korban untuk menghilangkan jejak. Muhammad Daham Arifin, WNI pemilik rumah yang menjadi lokasi pembunuhan, juga sempat menjadi terdakwa atas kasus itu.
Namun, dia tidak divonis mati karena tak ikut membunuh. Ketika peristiwa terjadi, dia sedang membeli semen. ”Alasan mereka membunuh katanya kesal sering diperas korban. Di sana kan mereka WNI ilegal yang masuk menggunakan visa umrah,” jelas Fadhly.
Sejak kasus itu diungkap polisi, KJRI Jeddah langsung melakukan pendampingan. Mulai memberikan pengacara dalam persidangan sampai meminta pengampunan kepada keluarga korban. ”Ternyata, pada 2009 lima TKI asal Banjarmasin itu divonis mati. Itu bertepatan dengan masa ketika saya mulai bertugas di KJRI Jeddah,” terangnya.
Mulai 2009 Fadhly ditugasi menemani atasannya ke rumah keluarga korban di daerah Ji’ranah, Kota Makkah. Mengapa dia yang dipilih? Sebab, pria kelahiran Manado tersebut pernah tiga tahun hidup di Pakistan ketika menempuh pendidikan S-2. Itu membuat Fadhly lumayan fasih berbicara bahasa Urdu dan mengerti budaya Pakistan.
”Selain saya, diajak satu staf lain yang mengerti bahasa Urdu karena dia menikah dengan orang Pakistan,” kenangnya.
Meski staf baru, Fadhly sudah mendapatkan tugas berat untuk mendekati keluarga korban. Sesuatu yang sulit karena mereka pasti berat memaafkan 5 Banjar yang telah membunuh Zubair dengan keji.
Sebelum menjalankan tugas, Fadhly mendapatkan beberapa arahan dari para seniornya. Salah satunya adalah tidak mengungkit apa pun soal kasus pembunuhan tersebut. ”Memang, keluarga ataupun staf KJRI sudah tahu sama tahu bahwa tujuan kami meminta pengampunan. Tapi, kami sama sekali tidak mengungkit soal itu,” ungkapnya.