30 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Kisah Hebatnya Lobi Tim KJRI Jeddah Bebaskan WNI dari Hukuman Mati

Wakil Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Sunarko membenarkan bahwa upaya pembebasan WNI di luar negeri dilakukan pemerintah dengan total. Pria yang pernah terlibat dalam upaya tersebut pada 2012 itu mengaku sempat khawatir kasus 5 Banjar tidak bisa diselesaikan dengan pengampunan.

”Sebab, kasus ini langsung melibatkan lima WNI. Kalaupun berhasil meminta pengampunan, masih mungkin pihak keluarga meminta diyat. Latar belakang mereka kan keluarga yang kurang mampu. Bayangkan, untuk kasus Darsem saja Rp 4,7 miliar. Karena itu, satu hal yang luar biasa, mereka tidak menuntut 1 sen pun,” jelasnya.

Salah satu kunci yang disebut Sunarko bisa mencairkan hati keluarga korban adalah diplomasi makanan. Menurut dia, makanan khas Pakistan seperti roti paratha sering dibawa dalam kunjungan.

”Bukan hanya itu, kami juga sering memasakkan masakan Indonesia untuk mereka. Ya, yang sederhana saja. Misalnya nasi goreng atau mi goreng. Yang jelas, kami terus menunjukkan niat positif kami. Lebaran pun kami berkunjung dan kasih mainan ke anak-anak di keluarga mereka,” ungkapnya.

Semua perhatian itu membuat keluarga Zubair lebih dekat ke staf KJRI Jeddah daripada ke perwakilan pemerintah Pakistan di sana. Suatu saat keluarga pun sempat meminta bantuan untuk mengurus visa tinggal di Makkah kepada KJRI Jeddah.

“Kalau nilainya sebenarnya tak sampai Rp 1 juta. Tapi, pendatang yang mau mengurus visa tinggal pasti sulit. Mereka rupanya lebih memilih meminta bantuan ke kami. Istilahnya, kami sudah dianggap bagian keluarga mereka,” terangnya.

Kunci lainnya dalam upaya tersebut, lanjut Sunarko, pendidikan kepada semua diplomat di sana. Sebagai diplomat, pemindahan tugas bukan hal yang aneh. Karena itu, KJRI di Jeddah pun terus mewariskan pengetahuan dan tugas ke keluarga korban ketika akan dipindah. Hal tersebut termasuk Fadhly yang memang bolak-balik Indonesia–Arab Saudi sebelum ditugaskan tetap pada 2014.

”Jadi, bukan hanya saya atau Fadhly. Banyak diplomat dan staf KJRI yang silih berganti mengunjungi keluarga korban. Saat Fadhly pulang pindah, kami tetap menugaskan staf yang lain untuk berkomunikasi dengan keluarga,” jelasnya.

Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, upaya perlindungan WNI oleh pemerintah dilakukan sejak awal kasus mencuat. Tidak seperti negara lain yang kadang baru bersuara ketika vonis akan dilakukan.

”Dari tahun 2011 kami sudah membebaskan 238 WNI dari hukuman mati. Dari upaya itu, tak sekali pun kami mendapatkan keluhan dari negara terkait. Itu berarti semua upaya kami lakukan dalam koridor aturan di sana dan tak mengganggu kedaulatan hukum mereka,” bebernya.

Kasus tersebut, lanjut Iqbal, tak hanya terjadi di Arab Saudi yang punya sistem pengampunan. Hal itu juga dilakukan dalam membela Waflrida Soik yang terancam hukuman mati di Malaysia. Sejak awal pemerintah pun berusaha keras secara hukum mencari bukti untuk memenangi sidang. Alhasil, bukti bahwa Walfrida masih di bawah umur menyelamatkannya dari hukuman mati.

”Upaya kami juga belum tentu berhasil. Misalnya kasus yang menimpa ke Ruyati pada 2010. Saat itu kami akui sistem perlindungan belum maksimal karena kami tak punya pengacara tetap. Tapi, itu kami jadikan pelajaran untuk memperbaiki sistem. Kami tidak ribut ketika upaya kami gagal,” pungkasnya. (*/c9/ang)

Wakil Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Sunarko membenarkan bahwa upaya pembebasan WNI di luar negeri dilakukan pemerintah dengan total. Pria yang pernah terlibat dalam upaya tersebut pada 2012 itu mengaku sempat khawatir kasus 5 Banjar tidak bisa diselesaikan dengan pengampunan.

”Sebab, kasus ini langsung melibatkan lima WNI. Kalaupun berhasil meminta pengampunan, masih mungkin pihak keluarga meminta diyat. Latar belakang mereka kan keluarga yang kurang mampu. Bayangkan, untuk kasus Darsem saja Rp 4,7 miliar. Karena itu, satu hal yang luar biasa, mereka tidak menuntut 1 sen pun,” jelasnya.

Salah satu kunci yang disebut Sunarko bisa mencairkan hati keluarga korban adalah diplomasi makanan. Menurut dia, makanan khas Pakistan seperti roti paratha sering dibawa dalam kunjungan.

”Bukan hanya itu, kami juga sering memasakkan masakan Indonesia untuk mereka. Ya, yang sederhana saja. Misalnya nasi goreng atau mi goreng. Yang jelas, kami terus menunjukkan niat positif kami. Lebaran pun kami berkunjung dan kasih mainan ke anak-anak di keluarga mereka,” ungkapnya.

Semua perhatian itu membuat keluarga Zubair lebih dekat ke staf KJRI Jeddah daripada ke perwakilan pemerintah Pakistan di sana. Suatu saat keluarga pun sempat meminta bantuan untuk mengurus visa tinggal di Makkah kepada KJRI Jeddah.

“Kalau nilainya sebenarnya tak sampai Rp 1 juta. Tapi, pendatang yang mau mengurus visa tinggal pasti sulit. Mereka rupanya lebih memilih meminta bantuan ke kami. Istilahnya, kami sudah dianggap bagian keluarga mereka,” terangnya.

Kunci lainnya dalam upaya tersebut, lanjut Sunarko, pendidikan kepada semua diplomat di sana. Sebagai diplomat, pemindahan tugas bukan hal yang aneh. Karena itu, KJRI di Jeddah pun terus mewariskan pengetahuan dan tugas ke keluarga korban ketika akan dipindah. Hal tersebut termasuk Fadhly yang memang bolak-balik Indonesia–Arab Saudi sebelum ditugaskan tetap pada 2014.

”Jadi, bukan hanya saya atau Fadhly. Banyak diplomat dan staf KJRI yang silih berganti mengunjungi keluarga korban. Saat Fadhly pulang pindah, kami tetap menugaskan staf yang lain untuk berkomunikasi dengan keluarga,” jelasnya.

Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, upaya perlindungan WNI oleh pemerintah dilakukan sejak awal kasus mencuat. Tidak seperti negara lain yang kadang baru bersuara ketika vonis akan dilakukan.

”Dari tahun 2011 kami sudah membebaskan 238 WNI dari hukuman mati. Dari upaya itu, tak sekali pun kami mendapatkan keluhan dari negara terkait. Itu berarti semua upaya kami lakukan dalam koridor aturan di sana dan tak mengganggu kedaulatan hukum mereka,” bebernya.

Kasus tersebut, lanjut Iqbal, tak hanya terjadi di Arab Saudi yang punya sistem pengampunan. Hal itu juga dilakukan dalam membela Waflrida Soik yang terancam hukuman mati di Malaysia. Sejak awal pemerintah pun berusaha keras secara hukum mencari bukti untuk memenangi sidang. Alhasil, bukti bahwa Walfrida masih di bawah umur menyelamatkannya dari hukuman mati.

”Upaya kami juga belum tentu berhasil. Misalnya kasus yang menimpa ke Ruyati pada 2010. Saat itu kami akui sistem perlindungan belum maksimal karena kami tak punya pengacara tetap. Tapi, itu kami jadikan pelajaran untuk memperbaiki sistem. Kami tidak ribut ketika upaya kami gagal,” pungkasnya. (*/c9/ang)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/