Penggarapan lukisan tersebut bukan tanpa halangan. Sebab, saat proses finishing tiba-tiba kondisi kesehatan Haris drop. Karena itu, pelukis yang pernah menggelar pameran di empat benua tersebut harus menjalani perawatan di rumah sakit. Selama seminggu dia diopname dan tidak ada yang tahu, kecuali keluarga.
”Baru setelah ditanya pihak Setneg, saya bilang sedang tidak enak badan. Maka, hebohlah orang istana. Mereka lalu membesuk saya di rumah,” ungkap pelukis yang pernah bergabung dengan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia ”Kepribadian Apa” itu.
Lukisan tersebut akhirnya selesai sesuai jadwal. Hasilnya terbilang mirip. Hanya terdapat sedikit perbedaan pada warna tubuh pemanah, yakni lebih cerah jika dibandingkan dengan aslinya. Selain itu, detail revisi lengan pemanah tak terlihat. ”Tingkat kemiripannya, kalau bisa saya katakan, sekitar 85 persen dari aslinya,” tambahnya.
Terlepas dari perannya sebagai pelukis pertama yang diminta secara resmi oleh istana untuk mereproduksi lukisan Henk Ngantung, Haris memang lebih dahulu dikenal sebagai pelukis hiperealis. Bisa dibilang lukisannya sangat mirip dengan aslinya. Bahkan, Mikke menyebut lukisan Haris mengalahkan cetakan digital printing dan fotografi.
Hal itu terlihat pada lukisan-lukisan yang kini dipamerkan di Visma Art Gallery dan Balai Pemuda Surabaya. Objek lukisannya menarik. Dia senang menggambar sosok-sosok bayi serta potret tokoh-tokoh ternama yang dirajah di wajah ataupun bagian tubuh lain. Misalnya, pada lukisan berjudul Three Dog Knight, dia menampilkan sosok bayi dengan tato memenuhi tubuh.
”Tato saya gambarkan sebagai luka dari proses kehidupan dan hal itu dialami rakyat kecil yang saya analogikan dengan bayi,” paparnya.
Dia juga menceritakan hal unik saat penggarapan karya-karya yang berhubungan dengan bayi. Kesenangannya melukis bayi itu tidak terlepas dari kebiasaannya membesuk bayi yang baru lahir di rumah sakit. Dia senang melihat keunikan ekspresi bayi tersebut.
”Bayi-bayi itu unik, aneh, dan lucu. Terlebih karakteristik wajah hingga ekspresinya saat menangis, tersenyum, dan aktivitas alamiah mereka,” jelasnya.
Karena itu, ketika terjun sebagai pelukis, pria kelahiran 3 April 1956 tersebut memakai model bayi asli untuk objek lukisannya. Untuk itu, dia mesti memotretnya terlebih dahulu. Kemudian, dari foto tersebut, dia menggunakan proses digital printing untuk membuat sketsa. Setelah itu, sketsa baru dipoles semirip mungkin dengan aslinya.
Saking seringnya memotret bayi, di kalangan tetangganya di Cibubur, Haris lebih dikenal sebagai tukang foto bayi daripada pelukis realis. Tak heran bila kemudian banyak ibu yang menginginkan anak masing-masing difoto untuk dijadikan model lukisan Haris.
”Ini contohnya,” ujar Haris sambil memperlihatkan galeri ratusan foto bayi di smartphone-nya.
Selain bayi, Haris juga dikenal dengan lukisan masterpiece Garuda Pancasila yang digambar dengan beragam citra. Bagi Haris, Garuda Pancasila sebagai lambang negara bukanlah hal yang tidak boleh dikreasi. Dia sendiri sering mengimajinasikan garuda sesuai citra yang diinginkannya. Hasilnya, terwujud lukisan Garuda Pancasila dengan bentuk yang berbeda-beda.
Kebebasan itulah yang ingin diwujudkan Haris di setiap karyanya. Dia tidak peduli orang mengklasifikasikannya ke aliran realis, simbolis, ataupun surealis. Begitu pula dengan citra sebagai pelukis bayi. ”Ya, suatu saat nanti saya akan membuat sesuatu yang baru dan lepas dari image bayi,” ucapnya. (*/c11/ari)