25.6 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Mencemarkan Nama Kampung, tak Mau Alih Pekerjaan

Menelusuri ‘Markas’ Para Pengemis di Medan (2)

Sambungan dari: Dijuluki Famili 100, Datang dari Batubara

Waktu menunjukkan pukul 19.25 WIB dan suara adzan berkumandang. Dengan niatan menggali informasi soal Famili 100, Sumut Pos pun melakukan salat di Masjid Al Ikhlas di Jalan Medan Estate, Komplek Vetpur.

M Sahbainy Nasution, Medan

Usai salat di Masjid Al Ikhlas, perbincangan mengenai Famili 100 tercipta dengan Abdul Karim (Ketua Masjid Al Ihlas) dan seorang warga Komplek Vetpur bernama Soekarto (bukan termasuk Famili 100). “Mereka tinggal di Komplek Vetpur mengontrak. Tak semuanya berprofesi sebagai pengemis, ada juga yang bekerja sebagai pedagang dan lain,” ujar Abdul Karim.

Kata Abdul, Famili 100 telah menjadikan mengemis sebagai pekerjaan secara turun menurun. Dengan kata lain, dari nenek, uwak, mamak hingga anak.

Keterangan senada dikatakan Soekarto. Kata dia, anak-anak Komplek Vetpur ikut mengemis setelah pulang sekolah. “Tapi yang mengherankan bagi saya, kok orangtuanya memberikan izin ya kepada anak-anaknya untuk mengemis. Kan sudah cukup bapak dan ibunya saja yang mengemis. Ini malah mengemis lebih banyak dilakoni anak-anak mereka,” ucap Soekarto.

Soekarto tidak menampik kalau ia melihat setiap pagi Famili 100 menyewa satu angkot untuk mengangkut mereka. Kemudian, mereka diturunkan di beberapa perempatan lampu merah di Medan seperti di kawasan Padang Bulan, Jalan Sisingamangaraja, dan lainnya.  “Ada macam-macam kerjaan mereka mencari uang. Kadang mereka malu juga bila bertemu dengan kami di jalan saat mengemis. Tapi karena mungkin keenakan pegang uang banyak, rasa malu jadi hilang,” kata dia.

Di tempat terpisah, Kepala Dusun (Kadus) VIII  Pribadi Sitepu, mengaku kalau warga veteran yang tersisa di komplek itu tinggal 15 KK. Kebanyakan para veteran itu sudah meninggal sehingga rumah mereka dikontrakkan. “Di komplek ini harga sewa rumahnya beda-beda, minimal harganya Rp2,5 juta per tahunnya dan hampir 50 persen di komplek ini penyewa. Ya, para pengemis itu ngontrak rumah,” ucapnya.

Pribadi Sitepu mengakui, warga Batubara yang mengemis itu sudah 15 tahun lamanya atau lebih dulu mereka mengemis sebelum dirinya menjadi kepala dusun. “Ada 30 KK yang profesinya seperti ini, “ tambah Pribadi Sitepu lagi.

Menurut Pribadi Sitepu, mereka mengemis karena keenakan dan malas mencari pekerjaan lain. Padahal, warga Batubara tersebut selalu diceramahi agar tidak mengemis lagi. “Sebenarnya mereka sudah mencemarkan kampung ini. Tapi, apa yang mau kita bilang. Mereka mencari makan. Sedangkan kita tak mampu membantu mereka,” ujarnya.

Dirinya mengaku sangat resah dengan keberadaan pengemis itu.  “Padahal kami sudah memberikan sosialisasi dan pengarahan. Dan pernah Dinsos (Dinas Sosial, Red) memberikan mesin dompeng (untuk membersihkan kendaraan, Red) agar mereka bisa berdikari. Tapi, entah kemana mesin itu sekarang,” ucapnya.

Pengakuan yang sama juga diberikan Kepala Desa Dusun VII Medan Estate, Faisal. Kata dia, mereka sudah sering diberikan pembinaan. “Mengemis itu pekerjaan malas bagi manusia yang sehat fisik dan rohaninya. Dalam setiap kegiatan agama sudah kami  nasehati, tapi tak mempan,” kata dia.

Sedangkan Kepala urusan (Kaur) Pemerintah Medan Estate, Percut Seituan Deliserdang Ediwin Pasaribu menyebutkan, dari data e-KTP  pada dusun VIII, jumlah warga yang ada di daerah tersebut 1.576 orang dengan laki-laki 463 dan perempuan 769 orang.

Ia pun mengatakan, ada sekitar 30 KK yang berprofesi sebagai pengemis. Artinya, kalau jumlahnya dikomulatifkan, ada ada 120 orang yang mengemis. “Kebanyakan anak-anak yang mengemis. Anak-anak yang minta-minta 60 orang. Saat operasi ada juga yang memakai surat masjid, tapi entah legal atau tidak, kita tak tahu,” jelasnya. (bersambung)

Menelusuri ‘Markas’ Para Pengemis di Medan (2)

Sambungan dari: Dijuluki Famili 100, Datang dari Batubara

Waktu menunjukkan pukul 19.25 WIB dan suara adzan berkumandang. Dengan niatan menggali informasi soal Famili 100, Sumut Pos pun melakukan salat di Masjid Al Ikhlas di Jalan Medan Estate, Komplek Vetpur.

M Sahbainy Nasution, Medan

Usai salat di Masjid Al Ikhlas, perbincangan mengenai Famili 100 tercipta dengan Abdul Karim (Ketua Masjid Al Ihlas) dan seorang warga Komplek Vetpur bernama Soekarto (bukan termasuk Famili 100). “Mereka tinggal di Komplek Vetpur mengontrak. Tak semuanya berprofesi sebagai pengemis, ada juga yang bekerja sebagai pedagang dan lain,” ujar Abdul Karim.

Kata Abdul, Famili 100 telah menjadikan mengemis sebagai pekerjaan secara turun menurun. Dengan kata lain, dari nenek, uwak, mamak hingga anak.

Keterangan senada dikatakan Soekarto. Kata dia, anak-anak Komplek Vetpur ikut mengemis setelah pulang sekolah. “Tapi yang mengherankan bagi saya, kok orangtuanya memberikan izin ya kepada anak-anaknya untuk mengemis. Kan sudah cukup bapak dan ibunya saja yang mengemis. Ini malah mengemis lebih banyak dilakoni anak-anak mereka,” ucap Soekarto.

Soekarto tidak menampik kalau ia melihat setiap pagi Famili 100 menyewa satu angkot untuk mengangkut mereka. Kemudian, mereka diturunkan di beberapa perempatan lampu merah di Medan seperti di kawasan Padang Bulan, Jalan Sisingamangaraja, dan lainnya.  “Ada macam-macam kerjaan mereka mencari uang. Kadang mereka malu juga bila bertemu dengan kami di jalan saat mengemis. Tapi karena mungkin keenakan pegang uang banyak, rasa malu jadi hilang,” kata dia.

Di tempat terpisah, Kepala Dusun (Kadus) VIII  Pribadi Sitepu, mengaku kalau warga veteran yang tersisa di komplek itu tinggal 15 KK. Kebanyakan para veteran itu sudah meninggal sehingga rumah mereka dikontrakkan. “Di komplek ini harga sewa rumahnya beda-beda, minimal harganya Rp2,5 juta per tahunnya dan hampir 50 persen di komplek ini penyewa. Ya, para pengemis itu ngontrak rumah,” ucapnya.

Pribadi Sitepu mengakui, warga Batubara yang mengemis itu sudah 15 tahun lamanya atau lebih dulu mereka mengemis sebelum dirinya menjadi kepala dusun. “Ada 30 KK yang profesinya seperti ini, “ tambah Pribadi Sitepu lagi.

Menurut Pribadi Sitepu, mereka mengemis karena keenakan dan malas mencari pekerjaan lain. Padahal, warga Batubara tersebut selalu diceramahi agar tidak mengemis lagi. “Sebenarnya mereka sudah mencemarkan kampung ini. Tapi, apa yang mau kita bilang. Mereka mencari makan. Sedangkan kita tak mampu membantu mereka,” ujarnya.

Dirinya mengaku sangat resah dengan keberadaan pengemis itu.  “Padahal kami sudah memberikan sosialisasi dan pengarahan. Dan pernah Dinsos (Dinas Sosial, Red) memberikan mesin dompeng (untuk membersihkan kendaraan, Red) agar mereka bisa berdikari. Tapi, entah kemana mesin itu sekarang,” ucapnya.

Pengakuan yang sama juga diberikan Kepala Desa Dusun VII Medan Estate, Faisal. Kata dia, mereka sudah sering diberikan pembinaan. “Mengemis itu pekerjaan malas bagi manusia yang sehat fisik dan rohaninya. Dalam setiap kegiatan agama sudah kami  nasehati, tapi tak mempan,” kata dia.

Sedangkan Kepala urusan (Kaur) Pemerintah Medan Estate, Percut Seituan Deliserdang Ediwin Pasaribu menyebutkan, dari data e-KTP  pada dusun VIII, jumlah warga yang ada di daerah tersebut 1.576 orang dengan laki-laki 463 dan perempuan 769 orang.

Ia pun mengatakan, ada sekitar 30 KK yang berprofesi sebagai pengemis. Artinya, kalau jumlahnya dikomulatifkan, ada ada 120 orang yang mengemis. “Kebanyakan anak-anak yang mengemis. Anak-anak yang minta-minta 60 orang. Saat operasi ada juga yang memakai surat masjid, tapi entah legal atau tidak, kita tak tahu,” jelasnya. (bersambung)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/